ku bimbang akan masa depanku Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan.

Trubus — Willibrordus Surendra Broto Rendra atau sohor dengan W.S. Rendra menumpahkan kegelisahannya dalam puisi Sajak Tangan. Rizal Fahreza, S.P., Yogi Pamungkas Nugroho, atau Andromeda Sindoro hanya beberapa petani yang penuh pergulatan dan menghasilkan. Rizal mengebunkan jeruk yang hampir punahdi Kabupaten Garut, Jawa Barat, Andromeda mengolah susu menjadi es krim, sedangkan Yogi berkebun sayuran di Kediri, Jawa Timur.
Pada edisi Oktober 2017, Majalah Trubus menyajikan topik khas, para pemuda yang bergelut di dunia pertanian. Pada 28 Oktober terdapat peristiwa bersejarah, yakni peringatan hari Sumpah Pemuda. Itulah sebabnya meski jumlah petani muda amat banyak, Majalah Trubus membatasi diri pada 28 petani. Mereka berusia maksimal 35 tahun. Meski muda, pengalaman beragribisnis telah teruji, jatuh-bangun dalam lima tahun terakhir.
Komposisi petani
Kehadiran para petani muda itu juga berdampak bagi masyarakat, antara lain menggerakkan perekonomian, menciptakan lapangan pekerjaan, atau menjadi sumber inspirasi. Keruan saja kemunculan petani muda itu amat kontras dengan hasil Sensus Pertanian 2013, yakni komposisi petani Indonesia yang berumur di bawah 35 tahun hanya 12%. Petani yang berumur 35–45 tahun (26%). Petani yang berumur di atas 45 tahun (62%).
Artinya dominasi petani Indonesia adalah mereka yang tergolong pada usia tua. Pengamat pertanian, Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, M.Si. menuturkan, fakta itu menggambarkan bahwa insentif di bidang pertanian tidak menarik bagi anak muda. Insentif bukan hanya berupa upah, meski upah menjadi indikator utama. Insentif berupa nonupah jauh lebih penting. Bayu mengisahkan, sarjana yang dikirim ke sebuah desa menanyakan, apakah ada akses internet, sinyal, dan listrik.
Menurut Bayu kemunculan para petani muda merupakan awal yang baik. “Itu menunjukkan pertanian sesuatu yang bagus, pertanian itu masa depan bangsa, menarik dan menjanjikan,” kata doktor Ekonomi Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Bayu mengatakan, kita harus punya arah yang pas agar pertanian lebih menarik di mata anak muda. Harus ada daya tarik off farm (di bagian hilir, red) untuk menciptakan lapangan kerja baru.
“Konkretnya mendorong kegiatan off farm di bidang pertanian untuk anak muda, anak muda masuk ke situ, untuk memberikan nilai tambah dan pendapatan,” kata Wakil Menteri Perdagangan pada Kabinet Indonesia Bersatu II itu. Menurut Bayu para petani muda justru menggarap bagian hilir lebih dahulu. Mereka memikirkan pemasaran, kemasan, sortasi, pengolahan, baru kemudian ke hulu atau on farm.

Bayu mencontohkan, petani muda mencari sertifikat organik lebih dahulu. Setelah mengantonginya, mereka menjual beras atau sayuran organik. Jika kita terus bertahan dengan petani lama itu rentan dan bahaya. Sebab, konsumen kini juga berubah. Mereka ingin produk beragam, berkualitas, dan mudah mengakses. “Kita harus mengikuti sejarah, perkembangan peradaban, konsumen yang menentukan, anak muda bisa mengangkat pertanian Indonesia termasuk ketahanan pangan,” kata Bayu.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? “Jangan ganggu. Biarkan mereka menemukan kreativitas dan inovasi. Kekuatan mereka pada keduanya. Jika mereka membutuhkan bantuan baru kita ulurkan tangan. Saya yakin mereka menemukan jalannya sendiri,” kata Bayu. Lihat saja pembina Waringin Agritech, Retnosari Widowati Harjojudanto yang menyelenggarakan pelatihan sistem pertanian organik kapada para pemuda berusia 30 tahun.
Mereka datang dari berbagai daerah seperti Kabupaten Brebes, Cilacap, Magelang, ketiganya di Jawa Tengah, Indramayu, Jawa Barat, dan Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Eno, begitu sapaan cucu Presiden Soeharto, giat menyosialisasikan pertanian organik kepada anak-anak muda agar masyarakat juga bisa menikmati pangan yang sehat. Ia menjalin kerja sama dengan Yayasan Dana sejahtera Mandiri (Damandiri).
Ketua Yayasan Damandiri Subiakto Tjakrawerdaya mengatakan, pelatihan pertanian organik itu bagian dari program desa mandiri lestari. Menurut Subiakto prinsip desa mandiri lestari, yakni gotong royong antarelemen masyarakat, pola pikir dan pola kerja produkstif, inovatif, dan adaptif serta mandiri dalam memanfaatkan sumber daya lokal. I Wayan Supadno di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga banyak memotivasi para petani muda. Ia datang ke berbagai lokasi dan membangkitkan semangat pemuda untuk menjadi petani. Dari mereka yang penuh pergulatan dan menghasilkan, pertanian Indonesia akan bangkit kembali. (Sardi Duryatmo/Peliput: Imam Wiguna)