Tak berlebihan jika masyarakat—khususnya di perkotaan—terbiasa mengkonsumsi makanan berkadar lemak atau kolesterol tinggi. Dalam jangka panjang timbul fl ek-fl ek di pembuluh darah, termasuk pembuluh darah penis, perlemakan hati, dan obesitas.
Itulah salah satu pemicu disfungsi ereksi—dulu dikenal sebagai impotensi. Disfungsi ereksi dimengerti sebagai ketidakmampuan seorang pria mempertahankan ereksi sampai terjadinya penetrasi ketika bersanggama dalam 3 bulan terakhir. Akibat gangguan itu keharmonisan sebuah rumah tangga terancam.
Saya menemukan banyak kasus disfungsi ereksi pada orang-orang yang gemuk. Banyak faktor mengapa pria obesitas mengalami gangguan disfungsi ereksi. Antara lain lantaran tingginya hormon estrogen sehingga menekan hormon testosteron. Boleh jadi secara psikis juga kurang percaya diri. “Burung” orang yang gemuk cenderung melesak ke dalam, sehingga kurang percaya diri. Inilah yang menimbulkan stres dan akhirnya muncul gangguan disfungsi ereksi. Jumlah melonjak
Dari tahun ke tahun jumlah penderita gangguan disfungsi ereksi terus meningkat. Tak ada data pasti jumlah penderita gangguan disfungsi ereksi. Itu terkait dengan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang cenderung tertutup. Namun, pengalaman di klinik yang saya kelola, peningkatannya berkisar 10—20% per tahun. Dilihat dari kelompok umur, kasus disfungsi ereksi pada pria berumur lebih dari 40 tahun mencapai 39%; 50 tahun, 50%.
Penyebabnya memang sangat kompleks. Faktor psikis seperti stres berkepanjangan atau kasus suami yang terus di bawah tekanan istri mencapai 40—50%. Disfungsi ereksi akibat faktor psikis dapat terjadi temporer atau permanen. Terjadi temporer artinya hanya sewaktu-waktu. Misalnya, seorang pria yang bekerja terlampau lelah, takut atau marah kepada pasangannya. Biasanya disfungsi ereksi yang disebabkan oleh hal-hal semacam itu hanya bersifat sesaat.
Yang terjadi terus-menerus biasanya merupakan kelainan jiwa neurosis. Berbagai hal memicu timbulnya kelainan itu. Contoh kebencian atau takut di bawah sadar kepada wanita. Sementara kasus disfungsi ereksi akibat faktor medis seperti kelainan pembuluh darah sebagai dampak diabetes melitus dan hipertensi mencapai 50—60%.
Kebiasaan buruk
Perubahan hormonal menjelang andropause juga memicu timbulnya disfungsi ereksi. Yang juga andil terhadap gangguan itu adalah kelelahan akibat bekerja berat terus-menerus tanpa diimbangi istirahat yang cukup. Kebiasan buruk antara lain merokok, minuman keras, dan mengkonsumsi narkoba pendorong lainnya.
Disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi 2, primer dan sekunder. Seorang dewasa yang semula mampu berereksi, tetapi kemudian mengalami disfungsi ereksi disebut disfungsi ereksi sekunder. Ketidakmampuan ereksi yang dialami seseorang sejak lahir—ini sangat jarang terjadi—disebut disfungsi ereksi primer.
Melihat begitu banyaknya penyebab gangguan itu pengobatan disfungsi ereksi tak dapat digeneralisir. Harus dicari dulu penyebabnya. Misalnya, bila penyebabnya obesitas, bobot tubuh harus dibuat ideal dulu. Umumnya disfungsi sesaat akibat tekanan psikis tak membutuhkan pengobatan tertentu. Setelah penyebab—misalnya stres—teratasi, disfungsi ereksi pun dengan sendirinya berakhir.
Khas Indonesia
Langkah preventif sebetulnya jauh lebih murah ketimbang kuratif. Dengan hidup sehat, menjauhi kebiasaan buruk, mengelola stres dengan baik ereksi Anda sampai umur 80 tahun tetap bagus. Soal penggunaan tanaman obat untuk mengatasi disfungsi ereksi seperti purwoceng atau sanrego saya sangat setuju. Sudah seharusnya kita kembangkan. Cina lebih dulu mengembangkan kekayaan alamnya sebagai afrodisiak.
Mengapa kita harus memanfaatkan afrodisiak asing sementara tanaman afrodisiak kita sangat beragam? Toh belum tentu yang dari mancanegara lebih baik. Sekali-kali kita bisa mengeluarkan afrodisiak “made in Indonesia”. Mengapa kita mesti kalah dengan ginseng korea? Kita juga punya pasak bumi, purwoceng, atau pulai. Jika dikemas baik dengan dosis tepat setelah mengalami uji farmakologi, saya yakin tanaman obat itu bisa diterima konsumen.
Lagi pula penggunaan tanaman sebagai afrodisiak sangat meminimalisir efek samping. Sayangnya, masyarakat kita masih malu-malu menggunakan obat tradisional. Oleh karena itu saya bermimpi suatu saat di Indonesia mempunyai rumah sakit khusus obat tradisional. Untuk menghilangkan kesan “kurang modern” dan menumbuhkan gengsi konsumen, dokter yang bertugas harus mengantongi brevet. Itu setelah menempuh sederet pelatihan di bidang pengobatan tradisional.
Dengan memanfaatkan tanaman obat, harga obatobatan dipastikan jauh lebih murah dan terjangkau. Selain itu pendirian rumah sakit tradisional pada akhirnya juga menggerakkan roda perekonomian.*** Penulis adalah ginekolog dan konsultan seks di Jakarta.
Dokter atau Sinshe?
Berapa jumlah penderita disfungsi ereksi di Indonesia? Penulis pernah meneliti kasus disfungsi ereksi di Jakarta. Penelitian selama 3 bulan itu melibatkan 20 dokter, 20 sinshe, dan 8.628 pasien yang dipilih secara teknik bola salju. Hasilnya, disfungsi ereksi diderita oleh 6,64% dari seluruh penderita yang ke dokter. Sedangkan data dari sinshe sangat mengejutkan: 49,81% (1.666/3.345).
Dari hasil itu sulit memperkirakan penderita disfungsi ereksi. Mungkin frekuensi disfungsi ereksi yang kompromistis untuk Jakarta minimal adalah 6,64% (disfungsi berat) dan maksimal 49,81% (disfungsi ereksi ringan, sedang, dan berat).
Tertarik sinshe
Yang menarik, penderita disfungsi ereksi yang pergi ke sinshe jauh lebih tinggi daripada ke dokter. Berdasar analisis sosial kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut. Pertama, mungkin penderita disfungsi ereksi lebih suka pengobatan noninvasif sebab pengobatan para dokter cenderung banyak yang bersifat invasif. Kedua, pengobatan nonmedis lebih populer karena diiklankan secara intensif. Sedangkan pengobatan medis dilarang diiklankan.
Ketiga, pengobatan nonmedis lebih terjangkau oleh masyarakat. Keempat, karena lebih terjangkau, penderita yang baru saja mengalami disfungsi ereksi atau mengalami disfungsi ereksi sementara akan “berhasil sembuh” cukup dengan pengobatan ala kadarnya. Meskipun keberhasilan pengobatan nonmedis kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh faktor kebetulan.
Sembuhnya berbagai keluhan ringan itu mengangkat nama pengobatan nonmedis. Itu tercermin pada data yang diakui oleh para penderita. Penderita yang datang pada pengobatan nonmedis, umumnya pada saat mereka pertama kali merasa potensi seksnya berkurang.
Kondisi itu sebenarnya tanpa pengobatan pun kemungkinan besar akan sembuh sendiri. Apalagi dengan pengobatan dipegang atau dipijat tangan wanita, atau diberi jamu-jamu dari berbagai tumbuhan atau bagianbagian tubuh binatang yang diyakini bisa menyembuhkan (memberi sugesti).
Yang benar, mungkin penderita sembuh sendiri. Dengan demikian tampak bias, hasil pengobatan nonmedis mempunyai keberhasilan cukup tinggi. Sebaliknya yang datang ke dokter menunjukkan, mereka mengobati sendiri atau berusaha dengan pengobatan nonmedis tetapi gagal. Ini yang benar-benar merupakan disfungsi ereksi sebenarnya (menetap dan berat).
Berbeda
Oleh karena itu hasil penelitian yang mungkin menggambarkan prevalensi disfungsi ereksi masyarakat Jakarta adalah yang didapat dari praktek sinshe yaitu sebesar 49,81%. Namun, semua angka-angka itu belum bisa digeneralisasi untuk berbagai daerah-daerah di Indonesia. Selain defi nisi berbeda, letak geografi s, budaya, dan problem sosial lain mungkin juga sama sekali berbeda. Itu mempengaruhi prevalensi.
Ada bukti yang konon hanya bersifat anekdot. Perbedaan rasial, etnis, dan budaya dalam persepsi dan level penerimaan kepuasan seksual akan mempengaruhi prevalensi disfungsi ereksi. Apa yang disebut sebagai anekdot oleh negara-negara barat mungkin sekali merupakan kenyataan di negara kita yang multietnis dan multibudaya. Oleh karena itu berapa prevalensi untuk masyarakat Indonesia di berbagai daerah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian pendahuluan mengenai prevalensi disfungsi ereksi (DE) dilakukan di beberapa kecamatan di berbagai Kabupaten yakni Boyolali, Kendal, Kudus, Jepara, Klaten, Semarang, Pekalongan, Kotamadya Purwokerto, dan Kotamadya Semarang. Pada penelitian ini 8 mahasiswa Fakultas Kedokteran, mendatangi dan menyusuri rumah-rumah penduduk secara acak di kabupaten, kecamatan, dan desa.
Mereka melakukan anamnesis (riwayat orang sakit dan penyakitnya, red) untuk menjaring prevalensi disfungsi ereksi. Dari 920 responden yang berhasil diwawancarai, hasilnya bervariasi tergantung sosial budaya seksual masyarakat. Misalnya, Kabupaten Boyolali menduduki peringkat disfungsi ereksi paling rendah (35,83%). Sedangkan Kabupaten Semarang menduduki peringkat tertinggi yaitu 73,34%.
Dari 8 kabupaten total penderita DE 43,91%. Terdiri dari DE berat 2,5%; DE sedang dan DE ringan 33,37%. Sedangkan pria normal ada 56,09%. Pada anamnesis yang lebih teliti antara Desa Kedungjaran di Pekalongan dan Kotamadya Semarang, perilaku sosial yang mempengaruhi frekuensi adalah kebiasaan merokok, meminum minuman keras, pergi ke pelacuran atau berhubungan seks sebelum menikah.
Ketaatan beragama sangat mempengaruhi timbulnya disfungsi ereksi. Daerah yang agamis cenderung menganggap seks itu sakral dan lebih diterima apa adanya. Sedangkan daerah yang lebih promiskuitis, akan lebih banyak dijumpai penderita disfungsi ereksi. Kalau data ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Jakarta dengan angka-angka yang berasal dari sinshe angkanya sangat mendekati yaitu 49,81% (1.666/3.345) versus 43,91 (404/920).*** Penulis adalah androlog dan dosen FK Universitas Diponegoro.