Upaya meningkatkan citarasa kopi.
Kedai kopi itu berdiri di tempat terpencil, di Desa Petung, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lokasinya di kaki Gunung Merapi. Meski bukan di pusat kota, kedai itu selalu ramai. Di bawah kabut yang turun setiap pagi dan sore, kedai itu menyajikan kopi hangat yang cocok dinikmati ketika udara sejuk. Tidak hanya pria dewasa, remaja 20 tahunan pun datang untuk berbincang sambil menyeruput kopi.
Harap mafhum, kedai yang buka sejak 2012 itu menyajikan kopi dari tanaman yang tumbuh di sekitarnya. “Kopi yang disediakan berasal dari kebun kopi di kaki Gunung Merapi,” ujar Sumijo, pemilik kedai itu. Menurut Sumijo kopi dari lahan yang sering terkena abu vulkanik itu mempunyai citarasa dan aroma lembut. Karakter tanah tempat tanaman tumbuh mempengaruhi aroma buah kopi.
Jaga kualitas
Menurut Sumijo tanah berpasir menghasilkan biji kopi beraroma kuat, sebaliknya tanah liat membuat aroma lembut. “Selain jenis tanah, kualitas biji kopi juga dipengaruhi oleh cara budidaya, panen, dan pascapanen,” ujar Sumijo. Perlakuan pascapanen seperti pengolahan biji dan teknik penyajian pun mempengaruhi aroma kopi. Sumijo yang menanam kopi turun-temurun sejak 1992 itu hanya memupuk dengan bahan organik.
“Sejak dulu orang tua saya selalu meggunakan pupuk organik,” ujar Sumijo. Ia membenamkan pupuk kandang sapi yang terfermentasi sempurna di kebun kopi seluas 1 ha miliknya. Ia membenamkan pupuk pertama pada 1—3 bulan sebelum menanam dengan dosis 10—20 kg per lubang tanam. Pemupukan selanjutnya 2 kali setahun pada awal musim hujan dan awal musim kemarau.
Menurut Sumijo, “Awal hujan pada Oktober dan awal kemarau pada Juli, tapi sekarang cuaca sering berubah sehingga pemupukan pun menyesuaikan.” Dosis pupuk tergantung umur tanaman. Saat tanaman berumur 1—5 tahun ia memberikan 5 kg kompos per tanaman, sedangkan untuk tanaman berumur 5 tahun, ia memberikan 10 kg per tanaman. Selain itu Sumijo juga memangkas untuk membentuk tajuk lebih kekar sehingga tidak mudah patah atau roboh.
Ia memangkas 3 kali, yaitu saat tanaman setinggi 120 cm, 140 cm, dan 180 cm. Petani kopi itu memangkas batang utama dan cabang primer. “Cabang primer yang tidak menghasilkan buah harus dipotong. Biasanya cabang itu mengarah ke pohon induk,” ujarnya. Sumijo juga menyeleksi biji kopi sebelum panen. Menurut peneliti pascapanen kopi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Edi Suharyanto, citarasa kopi berawal dari pemilihan buah kopi saat panen.
Fermentasi kopi
Petani mendapatkan biji kopi terbaik ketika tanaman berumur produktif antara 5–15 tahun dan buah matang sempurna. Itu sebabnya Sumijo hanya memanen buah yang matang sempurna berwana merah ranum. Menurut Sumijo kopi robusta memerlukan waktu 5 bulan dari berbunga hingga matang sempurna, sedangkan arabika hanya 3 bulan. Ia menjual hasil panen ke Koperasi Kopi Merapi untuk diproses menjadi bubuk.
Koperasi yang berdiri pada 2002 itu untuk menampung hasil panen dan mengolah buah kopi menjadi bubuk. Ada 2 macam pengolahan, yaitu cara basah dan semibasah. Pengolahan basah memerlukan waktu lebih lama lantaran ada proses perendaman selama 24—168 jam (1—7 hari). Perendaman itu bertujuan memfermentasi buah kopi. Menurut karyawan koperasi, Juanto, fermentasi biji kopi robusta membuat aromanya mirip dengan arabika.
Pria kelahiran Sleman 11 Januari 1987 itu mengatakan, fermentasi kopi robusta menghasilkan aroma biji kopi mirip dengan arabika, yaitu lebih masam. Fermentasi juga dapat meningkatkan aroma dan citarasa kopi sehingga meningkatkan harga jual. Koperasi kopi merapi menjual robusta bubuk hasil fermentasi Rp160.000 per kg, sedangkan tanpa fermentasi Rp100.000—Rp120.000 per kg. (Ian Purnama Sari)