Monday, March 27, 2023

Agar Sawah Kembali Subur

Rekomendasi
Peningkatan produktivitas padi hanya 0,61% pada kurun 2010—2018 lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan produksi pada dekade sebelumnya, 2,76% per tahun.

Trubus — Revolusi Hijau mampu meningkatkan produksi padi dari 1,8 ton per ha menjadi 3,01 ton per ha hanya dalam 14 tahun. Sisi buruknya kesuburan sawah anjlok.

Stagnasi produktivitas padi dalam beberapa tahun terakhir cukup merisaukan. Permintaan beras yang terus melonjak menuntut penambahan produksi berkelanjutan. Masalahnya, tak mudah menggenjot produksi. Secara teoritis, ada dua cara: perluasan lahan dan peningkatan produktivitas. Namun, keduanya juga tidak mudah. Ujung dari hal ini: produksi padi tidak stabil. Salah satu penyebab instabilitas produksi padi adalah degradasi kualitas tanah. Akar masalah ini bermula dari adopsi teknologi Revolusi Hijau akhir 1970-an. Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda.

Lewat adopsi paket usaha tani, produksi padi naik berlipat: dari 1,8 ton per ha jadi 3,01 ton per ha hanya dalam 14 tahun (1970-1984). Dunia berdecak kagum karena Jepang butuh waktu 68 tahun (1880-1948) untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton per ha jadi 3,28 ton per ha. Indonesia pun berswasembada beras pada 1984. Masalahnya, meskipun produksi meningkat, petani tetap miskin. Swasembada beras hanya bertahan hingga 1994. Sejak saat itu hingga kini, impor beras selalu berulang kala produksi turun.

Tanah letih

Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang cepat memunculkan kekaguman, tapi berakhir kekecewaan di kemudian hari. Ini juga terjadi di Filipina, Thailand dan negara-negara Amerika Latin. Banyak studi menyebutkan di balik Revolusi Hijau terselip kepentingan bisnis kotor para korporasi transnasional (Tata, 2000). Paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk (kimia) dan pestisida terus-menerus, telah merusak tanah, lingkungan, dan menciptakan generasi hama/penyakit yang kebal. Varietas unggul rakus hara dan mineral menuntut input hara dan mineral dalam jumlah besar. Varietas-varietas lokal yang pulen dan tak rakus hara tersingkir dan mulai punah.

Dampak paling terasa adalah tanaman kian tidak responsif terhadap pemupukan. Meski takaran diperbesar, produktivitas tak sebanding penambahan input. Berlakulah hukum besi: the law of deminishing return. Dari sisi teknologi, produksi padi saat ini sudah mendekati frontier: rerata 6,4 ton/hektare (Hossain dan Narciso, 2015), kedua tertinggi di wilayah Asia Tenggara setelah China (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 ton/hektar dengan input yang semakin mahal.

Bahan organik tanah terkuras karena seresah panen tidak dikembalikan lagi ke lahan. Intensitas tanam meningkat sehingga waktu antarmusim tanam kian pendek. Akibatnya pelapukan jerami tak sempurna dan mempersulit pengolahan tanah.

Ini menunjukkan, tanah kita sudah jenuh dan keletihan (soil fatique), bahkan sakit. Tanda-tandanya bisa dirunut dari data panjang: periode 1980-1990 produktivitas padi tumbuh rerata 2,76% per tahun. Namun, pada dekade berikutnya pertumbuhannya meluruh: hanya 0,23% pada 1990-2000, 1,36% periode 2000-2010, dan 0,61% rentang 2010-2018. Rentang 1980-1990 produktivitas naik tinggi karena kondisi lahan bagus: lahan mampu menerima teknologi pertanian. Arus balik terjadi setelah itu.

Perlu usaha besar-besaran untuk memulihkan kesuburan tanah. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengembalikan kandungan bahan organik. Stagnasi produktivitas terjadi salah satunya karena kandungan bahan organik tanah terkuras. Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2010), sekitar 73% lahan sawah memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik <2%), 22% memiliki kandungan C-organik sedang (2-3%), dan 4% berkandungan C-organik tinggi (> 3%). Tanah dengan kandungan C-organik < 2% dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit, kelelahan, dan sangat kritis (Simarmata, 2012). Lahan miskin bahan organik membuat fungsi fisik, kimia, dan biologi tanah tak optimal. Perlu input amat mahal.

Organik

Bahan organik tanah terkuras karena seresah panen tidak dikembalikan lagi ke lahan. Intensitas tanam antar waktu kian pendek, plus kebijakan subsidi pupuk yang bias pupuk anorganik, terutama urea dan ZA, memperburuk praktik pemupukan berimbang. Pupuk organik dilupakan. Menyadari hal ini, Presiden SBY mencanangkan go organic pada 2008. Namun, target 2010 meleset karena komitmen rendah. Salah satu yang penting dicatat adalah inisiasi subsidi pupuk organik mulai 2010 senilai Rp300 miliar.

Hasil evaluasi Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 di 8 provinsi atas subsidi pupuk organik menunjukkan ada perbaikan signifikan sifat biologi tanah, kenaikan kandungan C-organik, dan nilai tukar kation. Secara teoritis kesehatan dan kesuburan tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut (Simarmata, 2012). Presiden Jokowi melanjutkan dengan mencanangkan program Indonesia Go Organic pada 2014 dengan membuat percontohan 1000 desa organic. Program ini menguap tak berbekas.

Budidaya organik
memanfaatkan pupuk kandang untuk mengembalikan kesuburan lahan.

Subsidi pupuk anorganik kembali jadi andalan. Untuk mengembalikan kesuburan tanah, perlu gerakan masif memakai pupuk organik. Ada tiga alasan gerakan ini penting. Pertama, kemandirian petani. Pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh petani dari bahan-bahan alam yang melimpah. Mereka tidak tergantung pada pabrik. Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi.

Secara empiris, pupuk organik tidak hanya mengembalikan hara (makro & mikro), tetapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Integrasi tanaman-ternak di Jawa mampu mengurangi pupuk anorganik 25-35%, mendongkrak produktivitas 20-29%, dan di Bali menaikkan pendapatan petani 41,4% (Susila, 2007). Ketiga, keamanan pangan. Banyak riset dan pengalaman petani keracunan akibat pestisida dan pupuk anorganik. Ini tak terjadi pada pertanian organik. (Khudori, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan)

Previous articleTiga Komoditas Satu Biaya
Next articleImpor Ayam
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Tips Menjaga Sapi Perah agar Tetap Produktif

Trubus.id — Memelihara sapi perah harus intensif. Pasalnya banyak tantangan yang dapat membuat produksi susu sapi merosot. Misalnya sapi...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img