
Trubus — Sosok tandovu Vernonia cinerea mirip gulma. Sahlan Djanulu menanamnya di pekarangan rumah seluas 2.500 m². Tentangganya kerap mencibirnya. Bahkan, mereka mengatakan, Sahlan orang gila. Di mata mereka lahan itu menghasilkan keuntungan lebih besar jika ditanami kakao. Namun, warga Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, itu bergeming. Ia tetap memelihara tanaman anggota famili Asteraceae itu.

Sahlan menanam tandovu karena khasiatnya luar biasa. Tanaman itu berfaedah mengatasi gejala influenza dan daya tahan tubuh. “Batuk, bronkhitis, sesak napas, pakai tandovu,” katanya. Sahlan kerap meresepkan tandovu untuk meredakan sinus, polip, dan sakit kepala. “Tandovu cocok dikonsumsi terutama saat masa pandemi seperti sekarang,” katanya. Sahlan menanfaatkan bagian daun tanaman kerabat kenikir itu.
Sahlan memanfaatkannya dengan merebus 30 gram daun hingga mendidih. Pria 60 tahun itu mengonsumsinya sekali sehari. Jenis tanaman obat lain yang tumbuh di pekarangan Sahlan adalah lero untuk mengempiskan benjolan. Sahlan mencontohkan benjolan tumor atau tiroid. Caranya menempelkan kulit batang lero di bagian benjolan. Menurut Sahlan penempelan kulit batang lero menyebabkan benjolan mengempis lalu keluar kotoran dari benjolan.

Ia tidak meresepkan lero untuk obat oral atau konsumi. “Saya rasa lero bisa diminum. Namun, resep turun-temurun hanya memanfaatkan kulitnya untuk obat luar,” kata Sahlan. Ia juga menanam beragam tanaman obat seperti kanuna Cordia myxa, lenggaru Alstonia scholaris, lero Pipturus argenteus, dan kayu inyak Tabernaemontana sphaaerocarpa. Setidaknya terdapat 200 jenis tanaman obat di lahan Sahlan—setelah memperluas, kini lahan menjadi 2 hektare.
Menurut Sahlan kanuna salah satu herba lokal andalan. Ia kerap meresepkan tanaman keluarga Boraginaceae itu untuk mengatasi penyakit tumor, kanker, dan jantung. Sahlan mengatakan, mengolah kanuna dengan merebus 50 gram daun kering atau simplisia. Bisa saja kanuna dikombinasikan dengan herba lain, tetapi kanuna yang utama. Rasa rebusan daun kanuna pahit segar. Adapun konsumsi 2 kali sehari.

Sahlan mempertahankan beragam tanaman obat itu karena kepraktisan. Jika memerlukan penawar sakit, ia tinggal mengambil di pekarangan, tidak perlu menerobos ke hutan. Hutan lindung mengelilingi Desa Pakuli. Jika dilihat dari atas, Desa Pakuli seperti mangkuk. Dinding mangkuk itu berupa hutan, sementara warga tinggal di dasar mangkuk itu. Total luas hutan mencapai 217.991.18 hektare. Sahlan memerlukan waktu 2,5 jam untuk sampai hutan.
Pemanfaatan tanaman obat sudah menjadi adat warga Pakuli. Dalam bahasa Kaili, pakuli bermakna obat. Pemberian nama pakuli karena daerah itu sebagai tempat masyarakat mencari pengobatan. Pengobatan dengan resep tradisional secara turun-temurun warisan leluhur. Sayangnya, kini banyak warga abai pada kekayaan leluhur berupa pengetahuan tanaman obat. Mereka lebih banyak ke rumah sakit—berjarak 30 km dari desanya—ketika sakit. Adapun jarak Pakuli ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, mencapai 50 km.
Padahal, masyarakat Desa Pakuli mengenal profesi topo pakulisi. Dalam bahasa Kaili kata topo bermakna orang, pakulisi berarti obat. Jadi, topo pakulisi semacam tabib atau orang yang memahami khasiat dan resep tanaman obat. Mereka yang mengajarkan pengetahuan tanaman obat kepada keturunannya secara turun-temurun. Keluarga Sahlan termasuk topo pakulisi. Sahlan belajar ilmu pengobatan dari nenek.
“Dulu sebelum ada pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) satu-satunya tempat berobat hanya ke topo pakulisi,” kata Sahlan yang menjadi topo pakulisi atau herbalis sejak 1977 itu. Menurut ayah satu anak itu menjadi topo pakulisi harus paham gejala penyakit, mengetahui khasiat minimal 100 tanaman obat, dan belajar dari topo pakulisi. Di Desa Pakuli kini hanya tinggal Sahlan yang menekuni profesi topo pakulisi.

Putra Sahlan masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, Sahlan boleh dibilang menjadi topo pakulisi terakhir di desa itu. Tanpa penerus, pengetahuan lokal itu terancam punah. Sahlan berharap ilmu pengobatan khas Pakuli tetap lestari. Oleh karena itu, ia membuat kebun tanaman obat. Upaya lainnya dengan mengajarkan ilmu mengenai tanaman obat ke anak asuh di panti asuhan binaannya.
Beberapa anak dewasa membantu mengelola kebun obat. Anak lainnya juga kerap membantu mengolah dan mengemas simplisia. Mereka menjual tanaman obat kering Rp30.000—Rp50.000 per kemasan berbobot 350 gram. Per kemasan sesuai dengan peruntukan mengobati penyakit. Misalnya herba tandovu untuk pilek dan daya tahan tubuh. “Tinggal direbus sebelum konsumsi,” kata Sahlan.

Hasil penjualan tanaman obat itu untuk memenuhi kebutuhan akomodasi panti asuhan dan biaya sekolah anak asuh. “Obat kerap terjual habis terutama ketika pameran ke luar daerah,” kata Sahlan. Menurut ahli etnobotani dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Prof. Dr. Yohanes Purwanto, DEA, pewarisam pengetahuan lokal seperti tumbuhan obat tentu sangat penting untuk melestarikan pengetahuan dan kearifan lokal. Pengetahuan dan kearifan lokal sumber informasi penting untuk penelitian selanjutnya ata ethno-direct sampling.
“Local knowledge atau pengetahuan lokal dan wisdom atau kearifan lokal sangat penting untuk pijakan penelitian selanjutnya,” kata Yohanes. Pewarisan pengetahuan sangat berperan terhadap kelestarian tumbuhan. Bila mengetahui manfaat suatu tumbuhan, maka akan menjaga bahkan membudidayakannya, sehingga tumbuhan itu lestari. (Muhammad Fajar Ramadhan)