Wednesday, March 5, 2025

Agus Riyanto: Omzet Besar Berkat Koi

Rekomendasi

Omzet Agus Riyanto berniaga ikan koi mencapai Rp75 juta sebulan.

Trubus — Gemercik air jernih dari mata air menjadi berkah bagi warga Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Agus Riyanto memanfaatkan air bersih dari kaki Gunung Kelud itu untuk beternak ribuan ikan koi. Warga Nglegok berusia 54 tahun itu memilih ikan koi sebagai sandaran hidup sejak 1997. Dua puluh tahun kemudian, ayah 2 anak itu menikmati omzet Rp30 juta—Rp75 juta per bulan dari budidaya ikan hias itu.

Kini jumlah total ikannya mencapai ratusan ribu ekor, termasuk 30 indukan. Setiap bulan ia menjual minimal 500 ikan berukuran 25 cm atau berumur sekitar 4 bulan. Dengan harga Rp50.000 per ikan, ia omzetnya paling sedikit Rp25 juta sebulan. Kalau ditotal dengan penjualan ikan besar kelas koleksi, omzetnya Rp30 juta—Rp75 juta sebulan. Pembeli datang dari berbagai daerah.

Kelas kontes

Kini Agus memasarkan ikan koi sampai ke Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Kegigihan Agus menjadikan koi salah satu produk unggulan Blitar. Pehobi dari berbagai daerah kerap datang ke lokasi Agus Koi Center—demikian ia menamai tempatnya. Mereka betah melihat-lihat sembari bersantai sebelum memboyong ikan yang mereka sukai.

Kolam pamer ikan kelas koleksi di kediaman Agus
Riyanto. (Dok. Trubus)

Udara Nglegok yang sejuk dan gemericiknya air membuat siapa saja betah berlama-lama di sana. Agus memang mempersilakan semua pehobi datang, berbagi pengetahuan, atau sekadar berbincang santai. “Kalau saya di rumah silakan datang saja,” ujarnya. Obrolan santai itu sekaligus menjadi ajang membagi ilmu memelihara koi yang baik kepada calon pehobi. Maklum, Agus tidak sembarangan menjual koi kelas koleksi yang ukuran panjangnya lebih dari 60 cm.

Ia memastikan calon pembeli memiliki pengetahuan cukup tentang koi dan sistem pemeliharaannya. Itu mencakup ukuran kolam, kedalaman air, sistem penyaringan, atau jenis pakan. Tujuannya memastikan bahwa ikan mampu hidup dengan baik di tangan kolektor. “Bukan saja kasihan ikannya, tetapi lebih kasihan lagi pembeli yang sudah jauh-jauh datang, repot-repot membawa, malah kemudian ikannya mati,” tutur Agus.

Itu sebabnya Agus melayani semua pertanyaan pembeli. Bahkan, setelah ikan dipelihara di kolam milik pembeli, ia dengan senang hati melayani pertanyaan mereka. Menurut Agus, koi menghendaki air dengan tingkat keasaman netral mendekati basa. Untuk itu, “Sistem penyaringan memerlukan perhatian khusus,” katanya. Ia menyarankan pengendapan dan penyaringan berlapis agar air benar-benar bebas dari pengotor yang bisa meracuni koi.

Ketua Blitar Koi Club (BKC) itu mencontohkan besarnya pengaruh kualitas air terhadap warna ikan. Menurut Agus di Jepang, warna koi lebih cerah lantaran kualitas air di sana benar-benar terjaga. Itu sebabnya setelah ikan dari Jepang dibawa ke Indonesia, warnanya perlahan meredup akibat perbedaan kualitas air yang tidak sebaik di Negeri Sakura itu. Agus mewanti-wanti kualitas air lantaran itu hal terpenting dalam pemeliharaan.

Bangkit

Selain membudidayakan koi, Agus
Riyanto meraih banyak prestasi. (Dok. Trubus)

Kini Agus memang mahir membudidayakan koi. Padahal, sebelumnya ia tidak pernah membudidayakan ikan bertubuh silindris itu. Kiprahnya membudidayakan koi bermula pada 1997. Saat itu krisis finansial menerpa tanah air dan Agus terkena imbas. Meskipun waktu itu ia hanya bekerja serabutan, perlambatan ekonomi membuatnya kesulitan. Ia lantas mencari alternatif mata pencaharian yang bisa menjadi sandaran hidup.

Menyadari tingginya kualitas air di tanah kelahirannya itu, Agus coba-coba membudidayakan koi. Ia memilih ikan hias itu lantaran, “Harga jualnya menggiurkan. Apalagi waktu itu di sini masih minim pelaku budidayanya,” kata Agus. Dalam debut pertamanya, dengan modal hanya Rp350.000, Agus meminjam tempat 2.800 m² milik seorang teman. Di sana ia membuat 4 petak kolam tanah masing-masing berukuran 700 m².

Ia membeli 17 ikan koi sepanjang 25 cm dan memeliharanya di dalam kolam-kolam itu. Pria 54 tahun itu menggunakan air dari kanal irigasi sawah. Ia mengalirkan air ke kolam melalui pipa polivinil klorida (PVC) berdiameter 4 inci. Dua bulan berselang, ia menjual kepada pembeli di Malang, Jawa Timur, yang datang ke kolam. Untuk ukuran percobaan perdana, usahanya sukses besar.

Saat itu ia menangguk laba hingga Rp700.000 dari penjualan 10 ikan. Kesuksesan itu semakin memperkuat keyakinannya akan peluang budidaya koi. “Modal kembali, dapat untung, ikan pun masih tersisa. Menguntungkan sekali,” kata Agus. Selanjutnya Dewi Fortuna memihak kepada Agus. Semua jalan terbuka lebar, mulai dari pasokan bibit, pakan, sampai pasar. Selang 7 tahun, ia bisa memiliki tempat sendiri untuk membuat kolam.

Padahal ia pernah melalui prahara. Pada 2000, penyakit menyambangi kolam sehingga Agus merugi lebih dari Rp100 juta. Sudah begitu, dalam kurun 2000—2004, pehobi ikan ramai-ramai terpincut lou han sehingga penjualan koi merosot. Lengkap sudah. Agus Riyanto bagaikan jatuh tertimpa tangga. Ia melihat bahwa sejatinya di balik lesunya penjualan masih terbentang peluang.

Kontes koi memicu munculnya pehobi. (Dok. Trubus)

“Lou han dan koi berbeda segmen. Lou han ikan akuarium, sedangkan koi ikan kolam,” kata pehobi olahraga motor lintas alam itu. Pehobi memandangi lou han dari samping untuk mengagumi coraknya, sementara pehobi koi menikmati pemandangan kelangenannya dari atas. Makanya ia yakin bahwa pehobi koi dan lou han berasal dari kalangan berbeda. Berdasarkan keyakinan itu, Agus pun segera bangkit.

Ia menguras kolam, mengisi dengan air segar, lalu segera memasukkan bibit ikan baru. Namun, ia tidak bisa langsung memperbanyak ikan sesuai keinginan lantaran koceknya nihil. Saat itu Agus mendatangi kantor cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Blitar untuk mengajukan kredit. “Saat itu langsung terpikir BRI sehingga segera saya datangi,” kata Agus. Ia mengajukan pinjaman Rp4 juta pada Bank Rakyat Indonesia.

Omzet fantastis
Meski Agus baru pertama kali mengajukan pinjaman, bank pemerintah itu menyetujui. Tidak lama berselang dana pinjaman cair dan segera ia gunakan untuk memperbaiki kolam, membeli bibit, dan pakan koi. “Kalau tidak berani pinjam, saya tidak bisa berkembang. Padahal, peluang terbentang di depan mata,” ujar anak ke-2 dari 3 bersaudara itu mengungkapkan keyakinannya.

Terbukti dalam waktu singkat pehobi bertubi-tubi menghubungi menanyakan pasokan. Untungnya ia siap sehingga pesanan demi pesanan terlayani. Kolektor papan atas berburu ke luar negeri, sementara kelas menengah banyak mencari alternatif yang harganya lebih terjangkau. Agus pun menjadi tujuan banyak kolektor. Penjualan meningkat sehingga omzetnya semakin berlipat. Pinjaman itu terbayar lunas hanya dalam 7 bulan.

Ginrin, salah satu koi bercorak nongosanke yang
tengah disukai para pehobi. (Dok. Trubus)

Omzet Agus terus menanjak sehingga pada 2004 ia mampu membeli lahan seluas 560 m² di tepi jalan utama pusat Kabupaten Blitar. Lahan itu kini menjadi kediaman sekaligus kolam pamer untuk ikan-ikan kelas koleksi. Selain lahan itu, Agus juga mempunyai lahan lain seluas 420 m², khusus untuk pemijahan. Pria yang aktif menjadi juri berbagai kontes itu memijahkan berbagai corak koi.

Jenis gosanke yang banyak diminati pehobi seperti kohaku, sanke, atau showa menjadi barang wajib. Selain itu ia juga memijahkan jenis-jenis nongosanke seperti kinginrin, utsuri, atau hikari. Maklum, saat ini semakin banyak pehobi terpincut corak nongosanke. Kebanyakan terpesona warnanya yang solid atau mengilap. Untuk mewadahi penggemarnya, sekarang di kontes ada juara untuk corak nongosanke.

Bagi Agus, itu peluang. Teknis budidaya kedua corak itu sama. Pengalaman selama 20 tahun mengasah kemampuannya menjodohkan ikan. Di lahan pemijahan, ikan dipelihara di kolam tanah, sama sekali jauh dari kesan elite. Justru kondisi itu cocok untuk berkembangbiak atau membesarkan anakan. (Argohartono Arie Raharjo)

Previous article
Next article
- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Meningkatkan Produktivitas dan Kesehatan: Unsoed Teliti Green Super Rice dan Beras Hitam

Trubus.id–Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Dr. Ir. Suwarto, M.S., mengembangkan varietas unggul padi Green Super Rice (GSR). Menurut...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img