Di tepi pantai yang minim air tawar warga sukses menerapkan budidaya sayuran dengan hidroponik.
Trubus — Tidak setiap hari warga pesisir Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, bisa menikmati sayuran segar. “Harga di sini lebih mahal ketimbang lauk pauk,” ujar Laela Fitriani, mahasiswi Universitas Brawijaya saat melakukan pengabdian masyarakat di desa itu. Di desa yang berjarak 67 km dari pusat Kota Malang itu, harga sayur-mayur 2 kali lipat harga di kota. Wajar saja sehari-hari warga lebih banyak mengonsumsi hasil laut seperti ikan, cumi-cumi, atau rumput laut.

Kesulitan warga Tambakrejo mengakses sayuran memotivasi kelima mahasiswa Universitas Brawijaya itu menguji coba sistem hidroponik berbasis air laut. Sejatinya cara termudah agar masyarakat pesisir pantai tetap mengonsumsi sayuran adalah membudidayakan sendiri. Masalahnya, luas lahan yang dapat dijadikan pertanian hortikultura hanya 2 ha dengan kapasitas produksi 10 ton. “Tidak mungkin dilakukan budidaya sayuran konvensional,” kata Laela.
Air laut
Mengapa hidroponik? “Banyak keunggulan bertani sayuran secara hidroponik, antara lain menghasilkan sayuran berkualitas dan terukur, harga jual tinggi, serta tidak membutuhkan lahan luas, alias bisa dibuat di halaman rumah,” ujar Adamsyah. Teknik budidaya itu menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan sayuran masyarakat pesisir. Kelebihan lain wilayah itu adalah sinar matahari yang melimpah sejak terbit hingga terbenam.

menunjukkan hidroponik air laut mereka saat
pameran di Universitas Brawijaya.
Itu cocok untuk menanam sayuran, yang kebanyakan tidak menyukai naungan. Masyarakat tidak memanfaatkan talang atau polibag sebagai wadah tanam lantaran terkendala media tanam. Namun, ada masalah lain, yaitu sulitnya memperoleh air tawar yang vital untuk budidaya tanaman. Air melimpah, tapi bentuknya air laut yang mengandung garam. Mereka lantas menerapkan sistem desalinasi atau pemisahan garam dari air asin. Tentu tidak mungkin menggunakan desalinator pabrikan yang mahal dan mengonsumsi daya listrik besar untuk beroperasi.
Laela dan rekan-rekannya lantas menggagas desalinator—peranti untuk menurunkan kadar garam dalam air—sederhana yang beroperasi hanya mengandalkan sinar matahari. Desalinator itu mudah dan murah. Biaya pembuatan per unit hanya Rp700.000. Harga itu terjangkau jika lima warga patungan. Sejak pagi hingga matahari terbenam, desalinator mengubah 1 liter air laut menjadi sekitar 600 ml air tawar dan garam dapur kasar. Satu unit hidroponik memerlukan 1 liter air. Air laut dalam baki plastik (lihat ilustrasi: Buat Sendiri Destilator) menguap lalu naik.

Tutup desalinator menangkap uap itu sehingga kembali mengembun. Desain tutup yang menurun membimbing tetes air itu ke dasar desalinator. Lama-lama hanya garam yang tersisa di baki plastik. Air tawar di dasar desalinator tinggal dialirkan keluar. Menurut pakar hidroponik dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Anas Dinurohman Susila, hasil penyulingan air laut bisa diberikan kepada tanaman karena sifatnya tawar.
“Air hasil destilasi justru netral tanpa kandungan mineral atau bahan lain,” ujarnya. Air tawar dari seperangkat desalinator itu, menurut Laela, cukup untuk 5 wadah hidroponik yang menggunakan teknik sumbu berkapasitas 1—2 liter dengan 5 lubang tanam. “Teknik sumbu sederhana dan tidak memerlukan listrik untuk mengalirkan nutrisi,” ujar Adamsyah Hariki. Harap mafhum, beberapa teknik hidroponik butuh listrik 24 jam.
Sumbu

Menurut pakar hidroponik dan pupuk di Jakarta, Ir. Yos Sutiyoso, penggunaan listrik untuk beberapa teknik hidroponik atau budidaya tanpa tanah lainnya memang vital. Yos mencontohkan, pada teknik aeroponik, listrik mati 1—2 jam saja, tanaman akan mati. Dengan teknik Nutrient Film Technique (NFT), tanaman bisa bertahan meski listrik mati 2 jam. “Listrik harus siap 24 jam,” kata Yos. Untuk daerah minim listrik atau sering mengalami pemadaman, Yos menyarankan metode nirlistrik seperti wick system atau sistem sumbu maupun substrat atau rakit apung.
Sistem sumbu merupakan teknik sederhana yang menggunakan sumbu untuk mengalirkan larutan nutrisi ke media tanam. Air dan nutrisi mencapai akar tanaman dengan berkat daya kapilaritas, seperti sumbu kompor minyak tanah. Harga 1 unit hidroponik sumbu Rp50.000 sehingga terjangkau oleh masyarakat. Kelemahan teknik itu, nutrisi cepat mengendap atau sulit terserap karena air tidak bergerak. Solusinya nutrisi sering dikontrol atau “dikucek” minimal sehari 2—3 kali agar mudah terserap tanaman dan oksigen terlarut meningkat.

Pekebun hidroponik di Karanganyar, Jawa Tengah, Agus Hendra, mengucek menggunakan tangan. “Caranya, celup dan goyang-goyangkan tangan dalam air sehari tiga kali,” ujar pria kelahiran 26 Juni 1972 itu. Beberapa jenis sayuanr yang cocok untuk teknik itu di antaranya kangkung, selada, sawi, pakcoy, dan caisim. Cara budidayanya seperti penanaman dengan model sumbu lazimnya (lihat boks Rakit Hidroponik Sumbu).
Adamsyah dan rekan telah berhasil memanen sekitar 12 lubang tanam sayuran bayam dari 2 unit hidroponik sumbu. Sayang, mereka tak menimbang bobotnya. Saat pertama memperkenalkan sayuran hidroponik, warga sekitar masih bertanya-tanya.“”Masyarakat mulanya penasaran, apa bisa budidaya sayuran tanpa tanah? Kami memberikan contoh sayuran lalu menayangkan video dan gambar-gambar. Sekitar sepekan, warga menerima dan siap untuk dibina,” ujar Adamsyah.
Kini sekitar 3—4 warga mulai membudidayakan sayuran secara hidroponik karena ada bantuan alat dari mahasiswa. Meski sedikit, karya mereka menjadi cikal-bakal pemanfaatan daerah pesisir pantai untuk budidaya sayuran secara hidroponik. “Kami akan terus mengajak warga mengonsumsi sayuran karena nilai gizinya tinggi. Kalau kendalanya harga sayur yang mahal, kami memberikan solusinya dengan memproduksi sayuran sendiri di halaman rumah,” ujar mahasiswa jurusan Teknik Pertanian angkatan 2015 itu. (Bondan Setyawan)