Namun, tak dapat dipungkiri pula berbagai permasalahan kini didera. Mulai masalah harga, produksi melimpah, hingga isu negatif di dunia walet menjadi kendala meraup untung si liur emas.
Masalah-masalah itulah yang menjadi topik utama pertemuan Asia Bird’s Nest Conference 2005 di kawasan Genting Highland, Malaysia, pada 13—14 Agustus 2005 silam. Perhelatan akbar yang digelar oleh Bird’s Nest Merchants Association (BNM), bekerjsama Department of Wildlife and National Parks Peninsular, Malaysia, itu dihadiri tidak kurang 1.500 peserta dari berbagai negara. Mulai peternak, distributor, hingga konsumen sarang walet berdatangan dari Malaysia, Indonesia, Th ailand, Singapura, Burma, Vietnam, Filipina, Hongkong, Taiwan, dan Cina. Delegasi Indonesia sendri berjumlah 25 orang yang sebagian besar berasal dari Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dengan jumlah itu, Indonesia menempati urutan kedua setelah tuan rumah Malaysia. Kehadiran para praktisi walet tanahair ini sangat diharapkan untuk berbagi pengalaman. Bahkan 3 di antaranya diundang sebagai pembicara yakni Dr Ani Mardiastuti di hari pertama, serta penulis dan Johannes Sigfried di hari kedua.
Penurunan harga
Permasalahan utama yang dikaji tentang penurunan harga walet di tingkat ekspor yang makin meresahkan. Setelah mengalami kejayaan selama bertahun-tahun, perdagangan walet internasional kini mengalami masa krisis. Sejak 1997 hingga 2005 harga sarang Collocalia fuciphaga itu selalu turun. Bayangkan, pada 1997 harga sarang mencapai nilai tertinggi, US$3.000/kg. Itu lantaran pertumbuhan ekonomi di Asia naik pesat. Namun, sejak krisis ekonomi berkepanjangan pada 1998 harga sarang liur emas semakin anjlok. Peristiwa naas itu terus berlanjut. Walaupun sempat terdongkrak naik US$1.900/kg, tetapi tidak bertahan lama. Pada 2005 harga sarang turun drastis dari US$1.900/kg ke angka US$1.600/kg. Para ahli memprediksi tren penurunan harga ini bisa berlanjut sampai batas waktu yang tak pasti. Harga bisa lebih rendah dari sekarang. Bagi produsen penurunan harga sarang bagai bom waktu yang bisa meledak dan menghacurkan bisnis walet kapan pun dan di mana pun.
Produksi melimpah
Krisis ekonomi memang terbukti salah satu penyebab turunnya harga. Penyebab lain dipicu oleh maraknya budidaya walet di dalam dan luar negeri sehingga banjir pasokan. Sebutlah Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Burma semakin gencar membangun rumah-rumah walet. Malaysia kini memiliki kurang lebih 13.000 rumah walet yang mampu menghasilkan 6,5 ton sarang/tahun. Angka itu diperoleh dari rumah-rumah walet yang semakin bertambah setiap tahunnya. Tak hanya di Pulau Penang, tetapi di kawasan Bintulu, Serawak, dan daerah yang berbatasan dengan Th ailand seperti Alorstar, Kota Baharu, dan Tanahmerah juga memproduksi. Itu belum termasuk Indonesia sebagai negara produsen terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 100.000 rumah walet yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Produksi sarang mencapai 200 ton/tahun memenuhi pasar Singapura, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara di Eropa.
Nah, logikanya bila penambahan jumlah rumah walet di dunia melonjak 30—40 kali lipat pada 10 tahun ke depan, maka sarang walet yang beredar di pasaran bisa mencapai 2.500.000 ton/tahun. Bila itu terjadi harga makin terperosok karena pasokan sarang berlimpah bak banjir bandang. Untungnya, produksi rata-rata saat ini dari 1 rumah walet hanya mencapai 1 kg/panen. Itu lantaran rumah-rumah walet yang dibangun banyak yang kosong atau sekitar 10% saja yang menghasilkan sarang.
Keragaman produk
Peliknya bisnis walet juga merambah hingga pencucian sarang. Adanya oknum yang menggunakan bahan-bahan kimia seperti pemutih mengakibatkan kepercayaan konsumen berkurang. Itu lantaran zat-zat kimia dalam sarang bisa merusak kesehatan saat dikonsumsi. Isu-isu negatif pun bermunculan seperti sarang beracun, bobot lebih berat, dan tidak higienis. Tak pelak, kepercayaan terhadap sarang walet yang bersih dan sehat memudar. Pasar mulai ragu akan manfaat sarang walet.
Peningkatkan mutu produk tak melulu menjadi satu-satunya solusi. Semua peserta konferensi sepakat citra sarang walet yang berkhasiat obat dan bermanfaat bagi kesehatan harus dipupuk kembali. Permintaan pasar pun perlu ditingkatkan dengan cara memperlebar pasar di negara-negara pengimpor walet dan membuka peluang pasar di negara-negara baru. Dengan demikian, produk sarang walet tidak bertumpuk di satu negara saja. Hal itu untuk menghindari kejenuhan pasar ekspor pada negara tertentu.
Diversifi kasi produk sarang walet juga menjadi solusi tepat. Pembuatan minuman dan makanan bergizi berbahan sarang walet mulai disukai konsumen. Obat-obatan dan bahan kosmetika pun bisa diterapkan. Bila itu berhasil, suplai sarang walet di pasaran bisa diserap. Harap mafh um, bila suplai berlebihan sedangkan permintaan stagnan mengkibatkan harga terjungkal. Pemerintah pun harus tanggap mengeluarkan aturan-aturan yang sinergis dengan perkembangan walet. Pasalnya, walet Indonesia mampu menyumbang 70% kebutuhan sarang walet dunia. Artinya, pendapatan negara berupa devisa bisa bertambah bila walet diperhatikan. Di Malaysia misalnya terdapat peraturan yang berisi tata tertib pengoperasian rumah walet. Di sana dijelaskan tentang higienitas rumah walet, studi kelayakan bangunan hingga konfl ik-konfl ik sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekitar rumah walet. Dengan aturan itu pebisnis bisa memantau, dan mengawasi rumah waletnya. Dari konferensi itu diharapkan harga semakin membaik di tahun mendatang. (Dr Boedi
Mranata, ketua Delegasi Indonesia)