Friday, March 29, 2024

Ayub S. Parnata Berlikunya Jalan Menuju Sebuah Pengakuan

Rekomendasi
- Advertisement -

Berlama-lama di kebun anggrek memang sudah menjadi kebiasaan kolektor kawakan di Bandung itu. Namun, kebiasaan itu ia tinggalkan hingga bermingguminggu saat serius meracik pupuk organik.

Walau usia sudah mencapai 72 tahun, Ayub S. Parnata seakan tak pernah kehilangan semangat. Di tengah kesibukannya mengurus kebun anggrek, setiap bulan ia rutin mengirim minimal 2 kontainer pupuk organik ke Cina. Jumlah itu masih ditambah dengan 1/2 kontainer untuk melayani permintaan dalam negeri. Kalau dihitung-hitung sekitar 64 ton pupuk cair disalurkan tiap bulan.

Bersama mitra kerja asal Hongkong, Ayub mempunyai pabrik peracikan pupuk di Cina Selatan. Di sana inti pupuk organik yang dibuat di Indonesia diubah menjadi pupuk siap pakai. Lalu diekspor kembali ke beberapa negara di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Di Asia, Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Mongolia menjadi pelanggan. Permintaan konsumen terus meningkat. Peningkatan 100% per tahun untuk pasaran luar negeri dan 20% dalam negeri.

Banyak korban

Keberhasilan itu bukan datang sendiri layaknya bintang jatuh. Kisahnya dimulai pada 1960. Saat itu Ayub mencoba bercocok tanam jagung. Sayang produksinya amat minim tidak sampai 750 kg per 1 ha. Kenyataan itu menggelitik lulusan Hogere Burgerschod itu untuk meneliti penyebabnya. Bandingkan dengan produksi rata-rata nasional saat ini yang mencapai 4 ton.

Hasil pengamatannya menunjukkan, penyebab produksi minim karena efek samping penggunaan bahan kimia. Pupuk itu terserap tidak efektif oleh tanaman, sehingga hanya tersimpan di dalam tanah. Untuk menguraikan kembali harus dengan bantuan mikroorganisme.

Dari hasil analisis, diketahui pada tanah subur selalu ditemukan Pseudomonas putida dan Pseudomonas fluorescens. Dua mikroorganisme itulah yang harus didapatkan untuk dimasukkan ke tanah yang rusak. Pencarian jenismikroorganisme itulah yang memakan waktu lama. Mencari di alam hingga membiakkan dengan media agar, bukanlah proses mudah. “Seperti orang buta yang mencari-cari, tanpa ada satu buku pun yang menuntun,” ujar Ayub melukiskan betapa sulitnya pencarian itu.

Setelah mikroorganisme berhasil dibiakkan, menentukan formulasi pupuk yang tepat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai komposisi dicoba dan hasilnya kebanyakan gagal. Misal padi lahan saat salah satu formula dicobakan pada. Bukannya menjadi subur, tanaman malah hangus terbakar. Begitu pun ketika diuji pada bunga kesayangan, anggrek. Si cantik eksklusif itu daunnya berguguran satu per satu.

Mirip Thomas Alva Edison yang tak pernah henti meneliti sampai berhasil, Ayub tidak berputus asa terhadap kegagalan yang ditemui. Penyilang 10.100 anggrek itu terus mencari jalan untuk memperbaiki penemuannya. Kerja kerasnya baru terbayar setelah berkutat selama 17 tahun. Ayub menemukan campuran pupuk yang tepat.

Ramuan terbuat dari bahan-bahan organik dan mikrobamikroba menguntungkan, pertama kali dicobakan pada lahan jagung. Hasilnya sungguh menakjubkan. Produksi yang semula hanya 600 kg/ha, meningkat pesat menjadi 8,5 ton. Tak heran jika Menteri Pertanian waktu itu tertarik berkunjung ke kebunnya.

Ayub pun kian semangat meracik pupuk dari bahan-bahan organik yang mudah didapat dan berharga murah. Ikan laut, daging apkir, atau limbah hewan digunakan. Bahan baku itu diperoleh dari daerah pesisir. Bila kekurangan, ia mengimpor dari Cili atau Denmark. Investasi yang dikeluarkan tidak main-main. Empat rumah miliknya direlakan dijual untuk melengkapi sarana produksi.

Ditolak di negeri sendiri

Namun, rupanya perjuangan belum usai. Memasuki awal 90-an, Ayub mencoba memasarkan produk bermerek Top Soil Fertilizer di Jawa Barat. Diharapkan pupuk itu bisa membantu para pekebun di sana meningkatkan produksi. Namun, pil pahit harus ditelan ketika niatan itu terbentur oleh urusan perizinan. Maklum waktu itu pupuk organik memang belum populer. Rabuk kimia yang jadi primadona. Ia pun urung memasarkan di dalam negeri.

Kegagalan itu tak membuatnya mandeg berkarya. Berbekal keyakinan bahwa pupuk organik memiliki keistimewaan, pasar luar negeri pun dijajaki. Bersama rekan kerja di Hongkong, ia memilih Cina sebagai sasaran pertama. Pertimbangannya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia peluang pasar terbuka lebar. Izin peredaran diperoleh dari Beijing University.

Ternyata sambutan penduduk di negeri Tirai Bambu itu luar biasa. Malah pria yang gemar berkemeja batik itu mendapat tawaran maha berat. Ia diminta bekerja sama dengan para pakar di Universitas Beijing untuk mengembangkan formula. Bila diterima, rakyat Cina-lah yang menikmati penemuannya. Rasa nasionalisme menuntun Ayub menolak tawaran itu.

Tahun pertama sejak mendapat izin ekspor pada 1991, ia mengirim 10 kontainer biang pupuk ke pabrik perakitan di Cina. Di sana biang itu diencerkan sampai 5% sebelum dipasarkan. Volume pengiriman terus meningkat dari waktu ke waktu hingga 100% pada 2003.

Pertengahan 1995, pabrik perakitan itu kedatangan tamu kehormatan, Menteri Pertanian Thailand. Rupanya pupuk organik karya Ayub berhasil mengatasi penyakit busuk buah dan busuk akar pada durian akibat pengaruh bahan kimia. Setahun berikutnya, giliran Menteri Pertanian Malaysia datang. Lagi-lagi berkat hasil spektakuler pemanfaatan pupuk organik itu di perkebunan karet di sana. Karet terus menghasilkan getah meski telah 20 tahun berproduksi.

Pintu mulai terbuka

Kegagalannya memperoleh perizinan usaha di dalam negeri 8 tahun silam tak membuatnya jera. Uji coba yang dilakukan selama 2 bulan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) di Lembang, Bandung, menunjukkan hasil memuaskan. Perjuangan itu akhirnya berbuah dikeluarkannya izin dari pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian pada 1999.

Pasar di dalam negeri mulai dirambah. Melalui agen di Yogyakarta dan Sumedang, pupuknya menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Di antaranya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kerjasama dengan Pusat Koperasi Veteran (Puskoveri) Jawa Barat dalam memasarkan pun terus dibina.

Untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri, rumah sang kakek yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, dijadikan pabrik. Semua bahan baku dan alat-alat produksi menempati belasan ruangan di dalamnya. Di situlah Ayub membuat formula pupuk pesanan para relasi dibantu tiga orang rekannya.

Pupuk berbentuk cair lebih dipilih Ayub karena dalam bentuk itu mikroorganisme mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Sebaliknya, dalam bentuk padat, fungsi mikroorganisme berkurang, bahkan cepat mati.

Optimis

Pupuk organik Ayub tidak hanya meningkatkan produksi tumbuhan. Tanpa merubah komposisi ia bisa diterapkan pada ternak, ikan atau udang. Penelitian di Universitas Gadjah Mada pada 2002 menunjukkan, pupuk itu efektif memberantas newcastle disease pada ayam. Penelitian itu juga mengungkapkan peningkatan keuntungan peternak dari Rp400.000/1.000 ekor menjadi Rp1.750.000,00.

Kontribusinya di dunia anggrek yang lama Ayub geluti pun tak kalah besar. Phalaenopsis miliknya bisa menghasilkan 17 tangkai bunga per satu tanaman. Buah dari semua itu, penghargaan sebagai mitra kerja berprestasi Dinas Pertanian Jawa Barat dari Menteri Pertanian RI diterimanya pada 2002. Meski demikian, bukan itu yang semata ia kejar. Dampak positif pemanfaatan pupuk organik dalam dunia pertanian Indonesia menjadi terminalnya. Bagi Ayub, prospek cerah pupuk organik membentang di masa mendatang. (Prita Windyastuti).

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Rangkaian Bunga Penyemarak Hari Raya

Trubus.id— Idul fitri identik dengan ketupat. Perangkai bunga di Jakarta Selatan, Andy Djati Utomo, S.Sn., AIFD, CFD, memanfaatkan ketupat...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img