Penyakit Bawang Merah
Pestisida hayati menghambat pertumbuhan penyakit moler pada bawang merah hingga 45,6%.
Bagi Salim nama inul menjadi momok. Petani bawang merah di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu mendapati 80% tanaman bawang merahnya di lahan 4.000 m² luluh lantak. Penyebabnya adalah inul. Daun bawang yang semula hijau segar, menjadi layu dan menguning. Lama-kelamaan daun mengerut dan seperti melintir. Itulah asal-muasal sebutan inul untuk penyakit bawang merah.
“Mungkin karena efek serangannya daun melintir seperti goyangan Inul, maka para pekebun bawang di sini menyebutnya penyakit inul,” kata Kusriyanto, pekebun bawang merah senior di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Padahal, Salim berupaya mencegah serangan penyakit mematikan itu sejak penyediaan benih. Ia menaburkan serbuk fungisida ke permukaan benih.
Musim hujan
Upaya pencegahan juga berlanjut pada pascapenanaman di lahan. Ia rutin menyemprotkan fungisida setiap dua pekan dengan dosis sesuai anjuran. Jika intensitas hujan meningkat, ia bisa menyemprotkan fungsisida itu sekali sepekan. Namun, upaya itu tak mampu menyelamatkan tanaman bawang merah Allium cepa. Kebun bawang merah miliknya akhirnya fuso.
Menurut Kusriyanto inul sebutan untuk penyakit moler. Menurut peneliti di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor, Dr Suryo Wiyono, penyebab penyakit moler adalah cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Jawa Timur, Dr Ir Sri Wiyatiningsih MP, gejala penyakit moler tampak pada tanaman berumur 20 hari.
Gejala umum penyakit moler berupa daun tidak tumbuh tegak, tapi meliuk karena batang semu tumbuh lebih panjang. Warna daun hijau pucat atau kekuningan, tapi tidak layu. Umbi lapis tanaman sakit lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat. Pada umumnya tanaman yang terkena serangan moler sejak awal pertumbuhan tidak dapat menghasilkan umbi lapis. Selanjutnya tanaman menjadi kering dan mati.
Menurut Sri gejala penyakit seperti itu juga ditemukan di beberapa lahan pertanaman di Semenanjung Kalpitiya, Srilanka. Sri menambahkan penyakit moler menyerang tanaman saat musim hujan. Namun, di beberapa sentra bawang merah seperti di Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Kecamatan Rejoso dan Sukomoro (Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur), dan Kecamatan Tanjung (Kabupaten Brebes, Jawa Tengah), penyakit itu juga menyerang saat kemarau. Tingkat keparahan penyakit rata-rata 0,75–15%.
Suryo menuturkan lahan yang ditanami bawang merah sepanjang musim tanpa pergiliran tanaman juga rawan terinfeksi moler. “Kandungan organik tanah rendah dan penggunaan bibit dari daerah yang pernah terkena fusarium juga dapat memicu meningkatnya serangan fusarium,” kata doktor Patologi Tanaman alumnus Faculty of Agriculture, Georg-August University, Jerman itu.
Terus bertambah
Menurut Dr Ir Bambang Nugroho MP dari Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, penyakit moler perlu perhatian khusus dalam penanganannya. Pasalnya, luas serangannya terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2003 jumlah penambahan luas serangan penyakit moler mencapai 48,1 hektare (ha). Pada 2004 bertambah menjadi 116,8 ha dan 2005 mencapai 268,1 ha.
Padahal, upaya pengendalian penyakit dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Pada 2003 upaya pengendalian dilakukan untuk areal tanam 4.569,1 ha. Pada 2004 meningkat menjadi 8.095,8 ha (2004) dan 2005 menjadi 5.867,2 ha. “Itu menunjukkan bahwa upaya pengendalian penyakit moler yang dilakukan selama ini belum efektif,” tuturnya. Menurut Bambang pemanfaatan agen hayati menjadi pilihan untuk mengatasi penyakit moler.
Selain aman bagi lingkungan, penggunaan agen hayati juga lebih tepat sasaran. F. oxysporum f. sp. cepae adalah cendawan patogen yang mampu bertahan hidup di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Patogen hidup secara internal di dalam jaringan tanaman inangnya. Kondisi itu membuat penyakit moler sulit dikendalikan apabila hanya menggunakan fungisida.
Menurut Manajer Pemasaran PT Du Pont Crop Protection Indonesia, Arya Yudas, untuk mengatasi moler gunakan fungisida berbahan aktif azoksistrobin dan difenokonazol. Kedua senyawa aktif itu bekerja secara sistemik dalam jaringan tanaman dan terbukti ampuh menghambat perkembangan moler. Suryo menuturkan pengendalian moler dengan agen hayati dapat menggunakan bakteri menguntungkan.
Sekadar menyebut beberapa bakteri menguntungkan adalah Pseudomonas fluoroscens atau cendawan Trichoderma sp. Kedua jenis mikrob itu sudah terbukti secara ilmiah mengatasi serangan penyakit cendawan fusarium. Ahli penyakit tanaman di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Loekas Soesanto PhD, membuktikan bahwa mikrob itu manjur mengatasi moler.
Pestisida hayati
Pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke-29 di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 9—10 Agustus 2016, tim mahasiswa dari Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, memamerkan produk pestisida hayati untuk mengatasi penyakit moler. Tim yang terdiri atas Annisa Riska Wahyuni, Agus Murdianto, Burhanudin, Ari Sahar, Diah Indiani, memproduksi pestisida hayati menggunakan bakteri Streptomyces sp.
Menurut Burhanudin streptomyces terbukti ampuh menghambat pertumbuhan cendawan fusarium. Berdasarkan hasil penelitian tim secara in vitro, isolat streptomyces mampu menghambat pertumbuhan cendawan fusarium hingga 45,6%. Burhanudin menuturkan streptomyces menekan pertumbuhan fusarium dengan menghasilkan antibiotik dan enzim hidrolitik, enzim yang dapat mengurai polisakarida, lipid, fosfolipid, asam nukleat, dan protein.
Setelah terbukti secara in vitro, mereka di bawah bimbingan Ir Irwan Muthahanas MSi, dosen Fakultas Pertanian Universitas Mataram, memproduksi larutan pestisida hayati dari larutan molase yang ditambahkan isolat streptomycetes. “Untuk menggunakannya cukup dengan menyiramkan larutan pestisida hayati di sekitar tanaman dengan konsentarsi 5 ml per tanaman,” tutur Burhanudin. Dengan begitu, pekebun bawang merah tak perlu masygul akibat serangan inul. (Imam Wiguna)