Thursday, April 18, 2024

Bambang Setiaji Asap Cair Setelah Perawan Berlalu

Rekomendasi
- Advertisement -

 

Untung saja guru besar kimia jurusan kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada itu tak patah semangat. Ia memberi sampel kepada setiap produsen bandeng asap. Keruan saja ia juga memberi petunjuk pengawetan. Produsen tinggal menambahkan 1 liter air dalam 150 ml asap cair. Celupkan bandeng selama 3-4 menit dan ikan itu mampu bertahan 25 hari. Untuk mengawetkan 500 kg ikan, produsen cuma perlu 10 liter asap cair.

Bandingkan dengan cara tradisional yang masih banyak diterapkan oleh para produsen bandeng asap. Mereka membakar kayu dan meletakkan bandeng-bandeng itu di atas kayu yang mengeluarkan asap selama 12 jam. Pengolahan semacam itu sangat lama dan tak efisien. Dengan asap cair, mereka tinggal merendam bandeng dan membiarkan beberapa menit. Bambang tentu tak hanya memberi janji, tetapi bukti. Oleh karena itu mengalirlah permintaan asap cair dari mereka.

Sekarang ia memasarkan 8.000 liter asap cair per bulan. Ia memang tak memproduksi sendiri, tetapi menampung asap cair bikinan kelompok binaan yang tersebar di berbagai kota seperti Yogyakarta, Purworejo, dan Kebumen. Saat ini Bambang membina 89 kelompok yang masing-masing terdiri atas 4-5 orang. Mereka bekerja bersama dan Bambang menampung seluruh produksi.

Kanada

Dari volume penjualan 8.000 liter per bulan, 4.000 liter terserap pekebun karet, 2.400 liter untuk pengasapan ikan dan daging, serta 1.600 liter sebagai pengganti formalin. Pria 61 tahun itu menjual seliter asap cair rata-rata Rp7.500. Itu memang lebih rendah ketimbang harga asap cair pada umumnya di pasaran yang mencapai Rp20.000 per liter. Menurut Bambang biaya produksi untuk menghasilkan seliter asap cair hanya Rp1.440.

Rendahnya biaya produksi lantaran rendemen asap cair mencapai 50%. Selebihnya 40% merupakan arang tempurung dan 10% gas. Artinya untuk menghasilkan seliter asap cair, ia memerlukan 2 kg tempurung kelapa seharga Rp1.000. Selain itu produsen binaan Bambang tidak keluar biaya bahan bakar. Mereka memanfaatkan arang tempurung atau tempurung kelapa sebagai bahan bakar.

Arang tempurung itu merupakan hasil pembakaran dalam proses produksi asap cair sebelumnya. Ketika tempurung menyala, produsen mengalirkan asap melalui sebuah pipa besi, dan menampung di tabung kondensasi. Di tabung itulah asap berubah menjadi cair. Asap cair yang keluar pertama merupakan kelas 3 berwarna kecokelatan dan beraroma asap kuat.

Asap cair kelas 3 khusus untuk memenuhi permintaan pekebun karet untuk membekukan lateks alias getah karet. Bambang mendestilasi asap cair kelas 3 agar diperoleh asap cair kelas 2 berwarna kuning dan aroma asap tak terlalu kuat. Asap cair kelas 2 itulah yang ia jual kepada para produsen bandeng asap.

Doktor Almunus University of Manchester, Inggris itu membeli seliter asap cair Rp5.000 sehingga produsen masih memetik laba Rp3.560 per liter. Jika sebuah kelompok memproduksi 15 ton per bulan, maka laba mereka Rp53-juta. Sedangkan Bambang menuai laba bersih Rp2.500 per liter sehingga total keuntungan bersih mencapai Rp20-juta per bulan. Itu laba Bambang berniaga asap cair di pasar domestik.

Setiap 3 bulan ia juga mengekspor 60 ton asap cair ke Kanada. Importir dari Kanada mengetahui asap cair bikinan Bambang dari jagat maya. Pria kelahiran 3 Mei 1949 itu memang membuat situs untuk memasarkan dan mempromosikan asap cair. Ekspor ke negeri di Amerika utara itu berlangsung sejak 2007.

Perintis

Menurut Bambang potensi pasar asap cair sangat besar. Sebagai gambaran, pabrik karet di Indonesia saja memerlukan 1.000 ton asap cair per bulan. Asap cair sangat bagus untuk membekukan lateks karena mampu mencegah bau tak sedap. Permintaan rutin yang belum ia penuhi mencapai 200 ton sebulan. Oleh karena itu ia terus mengembangkan asap cair antara lain bermitra dengan produsen skala rumahan.

Ayah 2 anak itu lebih dulu dikenal sebagai perintis virgin coconut oil (VCO) di Indonesia. Pada 2004, dosen Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada itu memperkenalkan minyak perawan alias VCO. Hingga 2006 VCO menjadi suplemen populer di Indonesia. Ketika tren VCO menurun, Bambang yang meriset kelapa sejak 1979 itu mempelajari asap cair yang kini mulai populer. Menurut Bambang ide membuat asap cair karena ia teringat kebiasaan masyarakat pedesaan yang mengawetkan hasil panen dengan asap.

Biasanya di atas tungku, masyarakat di Jawa membuat para-para untuk menyimpan hasil panen seperti jagung atau bawang merah. Karena terus kena asap yang mengandung senyawa antioksidan, maka komoditas itu pun awet. ‘Jadi yang digunakan untuk pengawetan itu, sebenarnya ya, asap,” kata Bambang. Ketika ia menjelajahi dunia maya, semakin yakinlah ia bahwa asap cair sangat potensial dikembangkan. Maklum di beberapa negara asap cair lazim dimanfaatkan untuk pengawetan makanan. Itu yang mendorong Bambang mengkampanyekan penggunaan asap cair yang multimanfaat. Bagi Bambang asap tak membuat pedih di mata. Asap malah membuat mata berbinar-binar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Tri Susanti)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Peternak di Kabupaten Magelang Sukses Silangkan Ayam Poland

Trubus.id—Penggemar ayam poland di Indonesia berasal dari berbagai daerah. Alasannya karena sosok ayam poland sangat unik. Muhammad Doni Saputra...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img