Gita Soraya meletakkan lembaran mirip busa di atas meja. Dengan pisau bergerigi, ia memotong-motong lembaran itu menjadi kubus bersisi 2,5 cm. Petani hidroponik di Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, itu menancapkan biji selada di atas kubus lalu meletakkan kubus itu di atas potongan talang polivinil klorida yang terus—menerus dialiri air. Kubus itu langsung menyerap dan menyimpan air. Kubus itulah rockwool alias stonewool.
Menurut Purwantono DS, pemasok perlengkapan hidroponik di Jakarta, bahan itu tergolong serat buatan hasil modifikasi batu alam yang dipanaskan hingga 1.600°C lalu diberi aliran udara atau uap air. Cara lain pembuatan stonewool adalah dengan prinsip sentripetal, seperti pembuatan kembang gula di pasar malam. Batu dipanaskan dalam suhu mendekati 2.000°C sambil diputar.
Prosesnya meniru pembentukan batuan beku, tetapi direkayasa sehingga batu yang terbentuk berupa serat berukuran 0,006—0,01 mm. Semeter kubik stonewool hanya berbobot 40—120 kg. Bandingkan dengan air yang bobotnya mencapai 1 ton per m3. Artinya, rongga antarserat dalam rockwool sangat longgar. Rongga-rongga itu bisa
terisi air, akar tanaman, atau udara.
Menurut Purwantono stonewool menjadi favorit banyak pelaku hidroponik lantaran praktis, ringan, mampu menyimpan banyak air, dan tidak meninggalkan residu dalam tanaman yang membahayakan kesehatan. Selain pelaku hidroponik, pembudidaya anggrek juga memanfaatkan rockwool. Pada 2006—2008, Ir Yos Sutiyoso, pembudidaya anggrek di Jakarta Timur, memanfaatkan kapas batu itu untuk membudidayakan anggrek phalaenopsis.
Jika menggunakan media arang, Yos memerlukan 10—11 bulan untuk memelihara anggrek sampai siap jual. Dengan rockwool, ia hanya perlu 7—8 bulan. “Pori banyak dan seragam antarserat menjadikan pasokan air dan hara lancar,” kata alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Akibatnya pertumbuhan pun lebih cepat. Yos juga pernah
menggunakan rockwool untuk membudidayakan anggrek cattleya dan dendrobium. Kapas asal batuan beku itu mampu menyangga anggrek dengan batang setinggi 80 cm.
Meski demikian batang harus diberi penopang agar tegak. Menurut Yos meskipun seratnya lembut dan mudah hancur kalau diremas dengan tangan, rockwool mampu menahan tarikan akar sehingga tanaman tidak terlepas dari media tanam. Rockwool bukan satu-satunya pemanfaatan batu untuk media tanam nirtanah.
Di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Dr Yudi Sastro SP MP memanfaatkan batu zeolit sebagai media tanam sistem akuaponik. Ia mencampurkan 3 bagian zeolit dengan 1 bagian kompos limbah cacing. “Zeolit mampu menyaring sisa amonia sebelum air kembali ke tangki ikan,” kata kepala seksi Kerjasama, Pelayanan,
dan Pengkajian (KSPP) BPTP itu. Kelebihan lain, zeolit tidak cepat habis sehingga tenaga harian tidak perlu sering-sering mengganti media dengan yang baru.
Zeolit juga dimanfaatkan untuk pertanian sebagai pupuk kalium lambat urai (slow release). Kandungan mineral dalam bahan itu membuatnya mampu menjadi bahan pembenah tanah dan menaikkan pH tanah yang terlalu asam. Pehobi kucing mengandalkan pasir zeolit untuk menyerap kotoran klangenan mereka. Bahan itu juga mampu menyerap aroma menyengat kotoran dan urine kucing.
Pehobi bisa mencuci zeolit lalu mengeringkan dan memakai ulang. “Meskipun harus membeli, tetapi sebenarnya irit karena bisa dipakai berulang-ulang,” kata Ika Rahayu, pehobi kucing di Kedawung, Cirebon, Jawa Barat. Ada dua macam zeolit, alam dan sintetis. Zeolit alam terbentuk ketika batuan beku di atas lapisan abu vulkanik terpapar air tanah yang mengandung mineral alkalis (kalium, kalsium, magnesium, atau natrium).
Zeolit alam diperoleh dari tambang daerah perbukitan. Bongkah batu zeolit dipecah, digiling halus sampai ukuran tertentu sesuai permintaan pasar, lalu dikemas. Namun, sebagai bahan alam, zeolit alam mempunyai kelemahan yaitu mengandung bahan pengotor alias tidak murni. Walaupun demikian, proses pengolahan yang sangat sederhana menjadikan zeolit alam jauh lebih murah ketimbang sintetis.
Sementara zeolit sintetis dibuat dari proses pemanasan larutan alumina atau silika dengan penambahan soda api. Kelebihan bahan sintetis itu mempunyai kemurnian tinggi, bebas pengotor, dan struktur kristalnya bisa dibuat sesuai kebutuhan. Pemanfaatan zeolit sintetis biasanya dalam industri petrokimia, pemurnian gas, dan berbagai
industri berbahan kimia lain. Proses pembuatan yang rumit menjadikan harganya jauh lebih mahal ketimbang zeolit alam.
Rockwool dan zeolit baru sebagian kecil contoh pemanfaatan batu dalam kehidupan manusia. Sampai hari ini, produksi pupuk fosfat alias pupuk P masih mengandalkan ketersediaan batuan fosfat di alam. Cara itu jauh lebih murah ketimbang membuat pupuk fosfat secara sintetis di pabrik. Batuan fosfat tersebar di seluruh tanahair,
tetapi kandungan fosfatnya beragam. Secara umum batuan fosfat di Indonesia tergolong batuan muda sehingga kadarnya rendah.
“Itu sebabnya produsen pupuk masih mengandalkan pasokan impor,” kata Ir Pambudi Hardjana, produsen pupuk di Padang, Sumatera Barat. Menurut H Asari, pehobi batu di Jagakarsa, Jakarta Selatan, batu menjadi andalan untuk memperbaiki kualitas air sejak masa nenek moyang. “Hal itu masih dilakukan sampai hari ini di daerah yang kesulitan mengakses layanan air bersih seperti beberapa negara Amerika Selatan,” kata Asari. Dengan menggunakan batu sebagai penyaring, air tanah, sungai, atau sumber air menjadi layak konsumsi.
Selain batuan beku, sebagian masyarakat Amerika Latin menggunakan gerabah atau keramik untuk menyaring air. “Rekan sesama pehobi sepeda dari Eropa heran kenapa air mineral kemasan sangat laku di Indonesia. Padahal, kita banyak air dan berlimpah batu,” kata Asari. Rekan itu mengisahkan kepada Asari bahwa di negara asalnya,
masyarakat menambahkan batu-batu alam dalam penampungan air sebagai sumber mineral sekaligus mikrob yang berpotensi merugikan kesehatan.
Untuk itu mereka bahkan mengimpor batu alam. Asari menyatakan bahwa mineral dalam batu tidak akan habis. “Kalau penampungan air tertutup dan terlindung dari sinar matahari, batu tidak akan ditumbuhi lumut sehingga tidak perlu sering dibersihkan,” ujar perancang lanskap itu. Di negara maju di Eropa atau Amerika Utara, penyaring
air berbahan keramik (CWF, ceramic water filter) menjadi tren hampir 10 tahun terakhir. Keramik mempunyai pori-pori yang sangat kecil sehingga mampu menahan mikrob toksik seperti bakteri, cendawan, atau ganggang.
Kelemahan CWF tidak mampu menyaring bahan kimia seperti amonia, klorida, atau sianida sehingga produsen menambahkan penyaring berbahan karbon aktif. Penyaring itu harus diganti secara periodik lantaran semakin jenuh sehingga kinerjanya lama-kelamaan menurun. Sementara CWF cukup dibersihkan dengan sabun mandi dan air hangat lalu dibilas. Di kediamannya, Asari menggunakan batu alam untuk menyaring air di kolam koi peliharaannya. Batu-batu itu sangat efektif sehingga ia cukup menguras kolam setahun sekali. Batu alam terbukti tidak hanya indah tetapi juga bermanfaat. (Argohartono Arie Raharjo)