Di sebuah toko bernuansa hijau dan kuning Trubus menemukan berplastik-plastik dan berdus-dus keripik, dodol, dan semprong durian. Itu hasil olahan industri rumah tangga di pelosok Desa Th amai, Provinsi Chantaburi—sekitar 300 km dari Bangkok.
Itu saja? Tentu tidak. Masih di toko sama ada manisan mangga kering yang mengundang selera. Lalu permen jambu air yang dibentuk bulat-bulat seperti permen asam yang banyak dijajakan di Indonesia. Supaya tambah enak, permen yang warnanya merah jambu itu dicampur sedikit cabai sehingga bercitarasa pedas.Pilihan lain sekaleng manggis kering. Bentuknya seperti siung-siungan bawang putih berwarna krem yang manis rasanya.
Yang tak kalah menarik sale pisang. Jangan membayangkan bentuk utuh berwarna cokelat kehitaman seperti yang dijumpai di kios-kios oleh-oleh di Padalarang, Bandung. Sale pisang ala Th ailand berbentuk gulungan kecil-kecil. Pisang mentah diiris tipis-tipis, dikeringkan dalam oven sederhana, lalu digulung seperti semprong. Setelah itu sale dikemas dalam plastik-plastik kecil berisi 2 gulungan dan dimasukkan dalam dus berdesain cantik.
Harga anjlok
Pemandangan serupa dengan mudah ditemui di toko-toko oleh-oleh di Bandara Don Muang. Tak melulu olahan, buah segar pun dijajakan dalam kemasan cantik sebagai cenderamata. Sebut saja misalnya sekotak manggis beku yang sudah dibelah dua dan dilekatkan lagi dengan semacam selotif. Bila hendak dimakan selotif itu tinggal ditarik. Pilihan lain? Penganan sticky mango alias sajian berupa seiris mangga namdok mai dan setumpuk ketan. Dengan 250 baht setara Rp57.000 sekotak sticky mango bisa dibawa ke tanah air.
Mencari produk olahan buah dan sayuran yang sedikit nyeleneh? Mengunjungi pameran pertanian yang kerap diselenggarakan di berbagai provinsi pilihan tepat. Di sana bisa jadi Anda menemukan manisan brotowali—padahal Tinospora tuberculata itu pahit. Ada juga wine cabai yang diperoleh dari hasil fermentasi jus cabai.
Setelah sukses sebagai eksportir komoditas hortikultura segar, belakangan Th ailand memang menggeliat menjadi produsen beragam produk olahan. Itu bermula sekitar 4 tahun silam kala produksi beragam buah—juga sayuran—membanjiri pasar. Akibatnya, harga anjlok. Itu jelas menimbulkan keresahan di kalangan pekebun. Tak ingin bernasib buruk para pekebun durian berdemo dengan mendatangi kantor parlemen. Di sana ribuan buah berduri segar ditumpukkan menutup jalan. Itu tanda protes karena harga melorot hingga 6 baht (Rp1.380) per kg. Itu turun drastis dibanding harga sebelumnya yang bisa mencapai 17 baht setara Rp4.000 per kg.
Supaya protes tak terus berlanjut, jalan keluarnya pekebun diajari untuk mengolah durian. Daging mentah diolah menjadi keripik, dodol, tepung, dan semprong. Hasilnya luar biasa. Kelompok industri kecil di Th amai yang diceritakan di atas kini setiap bulan memproduksi 100.000 boks olahan durian. Tak melulu dijual lokal, produk-produk itu diekspor ke Hongkong, Cina, dan Eropa. Pundi-pundi para pemilik industri rumahan itu pun menebal. Maklum nilai tambah yang diperoleh cukup tinggi. Kalau sekilo durian hanya 6 baht, harga keripiknya mencapai 300 baht alias Rp69.000 per kg! Sekilo keripik diperoleh dari 10 kg durian segar.
Banjir produk
Keberhasilan dalam diversifi kasi produk olah durian pun “menular” pada produk lainnya. Maka bermunculanlah industri pengolahan manisan manggis dalam kaleng, pepaya kering, sale pisang, dan permen jambu air. Berawal dari industri rumahan, bisnis diversifi kasi produk pun dilirik oleh industri besar.
Keberhasilan negeri Siam itu pantas membuat iri pekebun di tanah air. “Potensi produksi produk hortikultura segar kita sama besarnya dengan Th ailand,” tutur Dr Setyadjit, MAppSc, peneliti pada Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, Departemen Pertanian. Selama ini para pekebun pun dihadapkan pada permasalahan kelebihan pasokan.
Kerap terdengar pekebun tomat di daerah sentra seperti Sukabumi, Jawa Barat memilih meninggalkan buah di lahan ketimbang memanen. Itu lantaran harga jual lebih kecil ketimbang biaya panen. Seorang pengepul cabai mesti menelan ludah pahit lantaran produknya gagal bongkar muat di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Pedagang di sana tak sanggup lagi menampung karena pasokan melimpah.
“Solusinya mesti ada diversifi kasi produk dengan membuat olahan,” lanjut Setyadjit. Yang melangkah ke sana bukan tak ada, tapi mungkin gaungnya belum sebesar di Th ailand. Sebut saja misalnya industri keripik pisang di Lampung dan Cianjur. Di dua daerah itu, pisang—umumnya jenis ambon—yang masih mengkal ditampung oleh para pengepul untuk disetor ke industri kecil pembuat keripik. Ada yang masih menggunakan cara tradisional—pisang diiris, diberi bumbu, digoreng, dikemas secara manual. Pun dengan teknologi sederhana seperti pengeringan dengan vaccum fryer.
Dukungan mesin
Geliat penganekaragaman produk hortikultura pun merambah ke daerah lain. Nun di Cirebon sejak 2 tahun silam H Soleh mengolah mangga menjadi pure. Arumanis, gedong, gedonggincu, dan cengkir yang harganya melorot saat panen raya ditampung di “pabrik”-nya. Setelah dicuci bersih, mangga dikupas, dan daging buah dipisahkan dari biji. Lantas dimasukkan ke dalam pulper. Mesin itu mengubah daging buah menjadi bubur—pure itu tadi.
Dari sana, pure masih masuk lagi ke mesin pencampur bila konsumen menginginkan kadar gula ditambah. Setelah semua usai, bubur mangga dipanaskan dengan mesin pasteurisasi agar awet. Di daerah Cipayung, Jakarta Timur, Mustari Anies mengeringkan cabai. Dengan begitu ia selamat dari “musibah” banjir pasokan cabai segar seperti yang dialami pengepul yang diceritakan sebelumnya. (baca: Penyelamat Ketika Harga Anjlok halaman 74)
Lalu cobalah sesekali perhatikan kantong bumbu mi instan. Di antaranya pasti terdapat sebungkus sayuran kering. Itulah wortel dan seledri yang mengalami proses dehidrasi sehingga kadar air tinggal 7—8%. Nantinya begitu terkena air panas, sayuran-sayuran kering itu bakal kembali mengembang, mirip bentuk semula.
Berkembangnya industri diversifi kasi produk hortikultura itu tentu butuh dukungan mesin-mesin pengolah. Salah satu sumber memperoleh mesin-mesin itu dari Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian—lebih dikenal sebagai Alsintan, akromin dari alat mesin pertanian, produk yang dihasilkan—di Serpong. Di sana diproduksi mesin sortasi, pulper, screener—untuk memisahkan pure dengan ampas, mixer, pasteurizer, dan pengemas seperti yang digunakan oleh H Soleh.
Manisan
Pilihan lain, industri pengolah memperoleh mesin dari beberapa perusahaan seperti SPA Machinery di Plumpang, Jakarta Utara, yang menghasilkan mesin pembuat pasta dan jus; Agro Tunas Teknik di Pondokgede, Jakarta Timur—produsen mesin pasta, pengering cabai, dan pembuat cocofi ber. Di Pasarminggu, Jakarta Selatan, ada Cakra Agri Nusa.
“Dengan memanfaatkan alatalat itu, pekebun dan industri kecil bisa memperoleh nilai tambah besar,” tutur Dr Astu Unadi, M Eng, kabid Program dan Informasi Perekayasaan Mekanisasi Pertanian Alsintan. Ia mencontohkan seorang pengusaha kecil di Tangerang sanggup meneken kontrak memasok manisan buah pada pabrik eskrim terkenal. Manisan itu sebenarnya bligo kering yang diberi esense. Dengan mesin pengering yang dimiliki pasokan terjamin kontinu dalam jumlah besar.
Manisan tomat yang belakangan mudah ditemukan di pasar swalayan pun memberikan keuntungan untuk pengolah. Dari tomat segar yang harganya bisa anjlok hingga Rp600 per kg diolah menjadi manisan berbentuk dan warna seperti kurma yang dijual Rp50.000—Rp60.000 per kg. Untuk mendapatkan 1 kg manisan dibutuhkan 3— 4 kg tomat segar. Dengan biaya produksi sekitar Rp10.000 berarti berlembar-lembar rupiah keuntungan masuk ke kantong.
Doktor dari Melbourne University itu pun mengungkap masih banyak peluang diversifi kasi produk yang dapat dibuat. Tomat segar tidak hanya dibuat manisan tapi juga dry tomato yang dibutuhkan industri pasta. Jeruk siem yang kini melimpah di mana-mana dijadikan jus. Bunga segar menjadi bunga kering. Melati nan harum diambil minyaknya yang berharga jutaan rupiah. Dari Th ailand kita belajar. Kini saatnya melangkah ke depan. (Evy Syariefa)