Sunday, October 13, 2024

Berburu Guano di Sarang Kalong

Rekomendasi
- Advertisement -

Itu bukan hal baru bagi para Batman di Gunungkidul. Mengunjungi gua kapur yang menjadi sarang kalong bagian dari pekerjaan yang mesti dilakoni. Hewan malam itu tak sepenuhnya parasit, kotoran yang dihasilkannya mengandung fosfat hingga 27,16%, nitrat sampai 16%, dan kalium sebesar 3%. Itu modal bagi tanaman untuk tumbuh subur dengan daun sehat dan cepat berbunga.

Komposisi bahan organik di dalamnya bersifat menggemburkan tanah yang miskin mikroorganisme. Yang pasti pupuk kotoran kelelawar itu tak mengandung logam berat yang merusak keseimbangan alam. Belum lagi timbunan guano berpotensi mengawetkan benda-benda purbakala dan fosil yang ada di bawahnya. Pantas bila dari gua yang terletak di perut bukit itu ribuan ton guano dikeruk per tahun. Dari sanalah para penambang pupuk fosfat itu hidup.

Gua Lawa hanya salah satu contoh. Gunungkidul yang berbukit terbukti kaya akan gua berdinding karst yang disukai kelelawar. Kabupaten yang diklaim sebagai wilayah termiskin di DIY itu menyimpan potensi pupuk organik yang melimpah. Dalam satu gua saja, onggokan guano berton-ton hampir tak pernah habis meski ditambang selama bertahun-tahun.

Guano layaknya hadiah untuk masyarakat Gunungkidul. “Sayangnya banyak penduduk yang belum tahu,” ujar Kasim salah satu pengusaha penambang guano. Tak heran bila kerap dijumpai onggokan pupuk organik itu di sudutsudut gua milik masyarakat.

Namun demikian guano tak melulu berasal dari kotoran kelelawar. Beberapa jenis hewan lain, seperti burung laut pemakan ikan, pelikan, dan anjing laut berpotensi hasilkan guano.

Gua guano

Pertanian organik berdampak luas bagi penambang guano di berbagai tempat. Desa Sumbergiri salah satu tujuan bila akan berburu guano kualitas tinggi. Desa yang terletak 60 km dari kota Yogyakarta itu tampaknya merupakan rumah yang ramah untuk kelelawar di waktu siang.

Beberapa gua kerap dijumpai di perbukitan yang terletak di kanan kiri jalan utama yang membelah desa. Jalan beraspal yang berakhir di dipersimpangan menyisakan jalan tanah bercampur batu kapur yang menggerinjal bila terinjak ban sepeda motor. Di sanalah salah satu gua seluas 2.000 m2 itu bertempat. Gua Lawa—sebutan kelelawar dalam bahasa Jawa—memang tak asing bagi sebagian orang di desa itu.

Terlebih bagi Kasim yang memungut keuntungan dari ruangan berdinding kapur itu sejak 5 tahun silam. Dengung pertanian organik diakui mengimbas dan membuka pikirannya untuk memanfaatkan alas gua gembur yang diketahui kemudian kaya fosfat.

Pria 48 tahun itu tak sendiri, Batmanbatman lain aktif menambang guano yang kini menjadi komponen utama sistem pertanian organik. Dalam satu dusun saja, selain Gua Lawa setidaknya ada 3 gua lain di sekitarnya.

Bukit kapur gersang yang hanya kondusif untuk singkong, kacang tanah, dan kedelai itu kerap menyimpan ruang-ruang kosong yang membentuk gua. Dinding yang dibentuk dari batuan kapur ratusan tahun silam itu berhawa lembap. Tetesan air tak jarang jatuh menimpa kepala bila berkunjung ke dalamnya. Bau pesing kalong langsung menyumbat hidung. Tak heran, sebab ribuan kelelawar berumah di sana, bergelantungan di atap dinding di antara stalaktit yang meneteskan air.

Turun gunung

Perjalanan guano menuju lahan pertanian diawali dengan penjemuran 4—5 hari. Dilanjutkan dengan penggilingan hingga diameter butir berukuran 3 mm dan dikemas dalam karung 50 kg. Selanjutnya pupuk alam itu akan melanjutkan petualangannya di pabrik-pabrik pupuk. Lazimnya ia akan dicampur kalsit dengan takaran yang sama. Pabrik tertentu akan menambahkan komposisinya dengan bakteri, kompos, zat warna, dan limbah alkohol.

Bahan-bahan di-blend—dicampur—hingga terbentuk granule, lalu dilanjutkan dengan pengovenan pada suhu tinggi. Tahap akhir pupuk dikemas dalam kantong bermerk dagang tertentu. Kini guano hadir di hadapan konsumen dengan kemasan yang menarik.

Ramah lingkungan menjadi predikat yang layak disandang guano. Komposisinya layak tanding dengan pupuk Urea yang ditakar secara chemist—kimia. Ia memiliki unsur mikro lebih tinggi dibanding pupuk buatan karena terfermentasi secara organik.

Hasil penelitian Oki Sakti Pandana, Universitas Padjadjaran, Bandung, membuktikan, pemberian guano pada tanaman buncis akan menghasilkan kualitas buncis yang lebih besar dan panjang. Penelitian senada yang dilakukan koleganya, Arfi anto dari universitas yang sama juga memberikan hasil yang mendukung. Tanaman mawar yang dipupuk guano akan memunculkan kuntum berwarna lebih cerah, tangkai lebih panjang, dan diameter bunga lebih lebar. Itu karena kebutuhan nutrisi mikronya terpenuhi dengan baik.

Harga guano berkisar Rp12.500—Rp15.000 per 50 kg. Setelah diolah di pabrik harga melambung hingga Rp30.000 per 50 kg. Namun, masih tetap terjangkau dibanding Urea yang mesti ditebus dengan Rp80.000 per 50 kg.

Hingga kini penambang guano tak pernah risau pada pasar. “Saya tak pernah mencari pembeli, bahkan pembeli sendiri yang mencari saya,” tutur Kasim di selasela kesibukannya menambang guano. Setidaknya 3 perusahaan besar rutin membeli guano fosfat darinya.

Sayangnya, cerita tak berakhir hingga di situ. Perburuan kelelawar masih tetap marak hingga kini. Kabarnya darah mamalia bersayap itu ampuh menggempur serangan penyakit asma. Bila populasi kelelawar kerap menurun, guano pun mungkin saja berkurang. (Hanni Sofi a/Peliput: Hawari Hamiduddin)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Taoge Premium Datangkan Omzet Maksimum, Intip Langkahnya

Trubus.id—Usaha taoge premium cukup menjanjikan. Alasannya harga produk lebih tinggi dibandingkan dengan taoge biasa. Hanya kualitas produk harus senantiasa...
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img