
⋅ Pakan Ikan
⋅ Bisnis Besar
⋅ Lingkungan Bersih

Potensi magot sebagai sumber protein alternatif pakan ternak. Peternak menghemat biaya hingga jutaan rupiah. Permintaan magot sangat besar sehingga membuka peluang bisnis baru.
Putu Dwi Eka Jaya Giri S.E. hanya menghabiskan 3,5 ton pelet untuk pakan lele selama satu periode budidaya atau 90 hari. Sebelumnya peternak di Kabupaten Tabanan, Bali, itu membeli 5 ton pelet untuk pakan lele di 19 kolam berukuran 4 m x 4 m. Ia menghemat pakan 30%. Harga pakan kini Rp10.000 per kg sehingga Eka memangkas ongkos pembelian pakan Rp15 juta.
“Saya senang dengan penghematan pakan itu,” kata pria berumur 37 tahun itu. Air kolam juga relatif bersih dan bening, lazimnya keruh. Akibatnya tingkat kematian ikan menurun menjadi 5—10%, sebelumnya lebih dari 10%. Eka menebarkan 5.000 benih lele berukuran 7—8 cm per kolam sehingga tingkat kematian 9.500 ekor, sedangkan kini hanya 250 ekor.
Larva tentara hitam
Penghematan pakan dan menurunnya kematian ikan karena Eka mengandalkan magot sebagai pakan lele. Ia mencampur magot dan pelet dengan perbandingan 1:1. Jumlah pakan menyesuaikan total biomassa ikan dan ukuran. Lele berukuran 7—8 cm mendapatkan pakan 5% dan lele dewasa hanya 2% dari total biomassa. Jika terdapat 500 kg lele dewasa maka Eka memberikan 10 kg pakan—terdiri atas 5 kg pelet dan 5 kg magot segar.
Eka mendapatkan magot hasil budidaya sendiri. Mula-mula ia membeli telur dan pupa BSF pada seorang teman dan memancing serangga itu di alam. Eka mengandalkan limbah pasar seperti buah dan sayuran sebagai media pemeliharaan magot (baca: Hasilkan Magot Bermutu halaman14—15). Peternak sejak 2015 itu memanfaatkan magot berumur 12 hari untuk lele berukuran 7—8 cm, sedangkan lele dewasa memakan magot berumur 15 hari.

Kini Eka memproduksi 2—2,5 ton magot per bulan. Sekitar 70% dari kapasitas produksi digunakan sendiri. Adapun 30% produksinya dijadikan prapupa untuk dijual. Ia menjual 100 kg prapupa dengan harga Rp100.000—Rp150.000 per kg dan 1 kg telur saban bulan dengan harga Rp15.000 per gram. Sarjana Akuntansi alumnus STIE Malangkucecwara itu meraup omzet penjualan bibit magot hingga Rp25 juta per bulan.

Menurut Eka magot pas sebagai pakan ikan lantaran target produksi bisa diatur, mengandung prinsip berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Apa itu magot? Peneliti di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Dr. Melta Rini Fahmi, S.Pi, M.Si., mengatakan magot merupakan larva serangga Hermetia illucens. Serangga itu populer bernama lalat tentara hitam atau black soldier fly (BSF)—mengacu pada tubuhnya yang hitam.
Lalat tentara tidak membawa vektor penyakit seperti lalat rumah Musca domestica. Serangga Hermetia illucens itu tidak ditemukan di habitat dan makanan manusia sehingga magot lebih higienis dibandingkan dengan lalat rumah dan lalat hijau Calliphora sp. “Magot bukan belatung,” kata Melta (Lihat ilustrasi Siklus Hidup Tentara Hitam). Kandungan protein magot mencapai 40—42%. Bandingkan dengan protein pelet 20—25%.
Magot juga berpeluang sebagai pengganti tepung ikan yang selama ini kita impor. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan nilai impor tepung ikan mencapai Rp1,6 triliun (lihat ilustrasi: Impor Tepung Ikan). Kepala Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Dr. Ir.Toni Ruchimat, M.Sc., mengatakan pakan ikan sangat tergantung pada tepung ikan.
Padahal untuk membikin tepung ikan mesti berkompetisi dengan manusia. Sebab manusia pun mengonsumsi ikan. Syarat bahan baku pakan ternak idealnya tidak bersaing dengan pangan manusia. Toni Ruchimat mengatakan, “Magot terobosan teknologi untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung ikan. Magot bisa menjadi sumber alternatif protein dan mengurangi biaya produksi.”
Pakan pilihan
Toni Ruchimat mengatakan, peternak ikan menghabiskan biaya pakan hingga 60—70%. Sekitar 60—70% pakan tersusun atas tepung ikan. Pengeluaran terbesar peternak ikan untuk belanja pakan. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Dr. Ir. Deni Indradjaja M.Sc., magot bisa menjadi sumber protein alternatif dalam bahan baku pakan ternak menggantikan tepung ikan.

Menurut Melta magot pun dapat berperan sebagai pakan fungsional. Larva anggota famili Stratiomyidae itu mempercepat pematangan gonad, meningkatkan sistem kekebalan, dan mempercepat pertumbuhan ikan (baca: Pakan dari Larva Tentara halaman 18—19). Itulah sebabnya Melta bermimpi masyarakat tidak jijik dengan magot sebagai pahlawan lingkungan.
Masyarakat bisa memanfaatkan sampah organik sebagai media pemeliharaan magot. Kini dunia krisis nutrien. Akuakultur berkembang untuk memenuhi kebutuhan protein manusia. Itulah sebabnya kebutuhan pakan pun meningkat. Sayangnya sejak 1900-an produksi tepung ikan—komponen utama pelet—relatif tetap. Oleh karena itu, perlu pengganti tepung ikan. Di sisi lain dunia juga memubazirkan nutrien.
Sekitar 40 juta ton sampah organik tidak terkelola. Sebagian besar sampah organik itu berasal dari tumbuhan sehingga masyarakat tidak bisa memberikan langsung ke ikan. Ikan termasuk hewan monogastrik yang memiliki lambung sederhana. “Kita harus mengonversikan sampah organik menjadi nutrisi dalam bentuk lain melalui proses biokonversi,” kata Melta yang meneliti magot sejak 2005.
Biokonversi berarti mengekstraksi nutrien yang masih tersimpan dalam sampah organik menggunakan magot. Intinya magot berpotensi menjadi solusi pengolahan sampah organik. Kota-kota besar di Indonesia “memproduksi” ribuan ton sampah setiap hari (Lihat Ilustrasi Kota Produksi Sampah). Lazimnya sekitar 60% dari sampah itu termasuk limbah organik.

Sampah = nutrisi
Menurut Melta menjumpai sampah organik berarti melihat siklus nutrien. Ada kandungan nutrisi dalam sampah organik yang bisa bertransformasi menjadi kandungan nutrisi dalam bentuk lain,” kata Melta. Biokonversi menggunakan magot tidak hanya menghasilkan pupuk, tapi juga magot sebagai sumber protein alternatif. Kini beberapa peternak memanfaatkan magot sebagai pakan ikan atau unggas.

Peternak di Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Philips Liemena, juga mengandalkan magot sebagai pakan lele. Philips menggunakan 200 kg pakan untuk satu periode pemeliharaan selama 2—3 pekan. Sebelum menggunakan magot pemakaian pakan mencapai 300 kg. Kini ia menghemat pakan 33%. Selain lele, magot pun cocok sebagai pakan benih nila dan patin.

Budi Yuwono menggunakan magot untuk menekan penggunaan pakan pabrikan.
Hasil riset Murni dari Universitas Muhammadiyah Makassar mengungkapkan pemberian kombinasi 50% pelet dan 50% magot menghasilkan pertumbuhan (17,68 cm), rasio konversi pakan (1,63) dan efisiensi pakan (42,85%) yang baik. Adapun Diana Rachmawati dan Istiyanto Samidjan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, mengatakan, pertumbuhan bobot mutlak (158,53 g) dan laju pertumbuhan spesifik (1,45 g) terbaik patin ketika diberi pakan yang mengandung 25% magot.
Sebetulnya magot tidak hanya bermanfaat untuk ikan. Bobot ayam yang mengonsumsi magot pun lebih berat dibandingkan dengan unggas sejenis yang tidak mengonsumsi magot. Itulah pengalaman Aminudi S.P. dan Pandudamai Insani Taufiq S.TP. Ayam yang mengonsumsi magot berbobot rata-rata 1,2 kg, sedangkan ayam yang tidak mengonsumsi magot berbobot 8—9 ons. Menurut Amin tren magot tengah kuat sejak 2016.
Prospek bagus
Produsen magot lain, PT Sahabat Tani Farm dan PT Bio Cycle Indo di Kota Bogor, Jawa Barat. Magot kering bikinan kedua perusahaan itu masuk pasar Amerika Serikat pada Juli 2018. Produsen magot tidak hanya terkonsentrasi di Jawa Barat. Muhammad Budi Yuwono di Magelang, Jawa Tengah, memelihara magot sejak medio 2016.
Didik Iwak Banyu—sapaan akrab Muhammad Budi Yuwono—menjual 50—70 kg pupa per bulan berharga Rp70.000—Rp90.000 per kg. Menurut Melta banyaknya peternak magot saat ini bukti budidaya larva BSF berkembang. “Masyarakat mengenal magot setelah Majalah Trubus mempubilkasikannya pada 2009,” kata Melta.

Toni Ruchimat mengatakan prospek magot sangat bagus. Beberapa negara seperti Tiongkok dan Perancis mengembangkan magot yang menjadi bisnis besar. Namun, mereka tidak bisa membudidayakan magot sepanjang tahun karena termasuk negara 4 musim yang memiliki musim dingin. Menurut Toni kelebihan Indonesia adalah sepanjang tahun panas dan sampah di mana-mana.
“Kita harus memanfaatkan agar produksi magot masif sehingga tidak tergantung pada tepung ikan. Akhirnya target budidaya tercapai,” kata Toni. Belum banyak masyarakat mengetahui tentang magot. Meski begitu ceruk pasar larva BSF itu besar. Salah satu peternak lele dan nila di Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, meminta pasokan 2,5 ton magot segar per bulan seharga Rp7.000 per kg.
Amin belum menyanggupi permintaan itu karena kapasitas produksinya baru sekitar 30 kg magot per hari yang dijual Rp20.000 per kg. Amin bisa menekan harga jual hingga Rp7.000 per kg asalkan ia mampu mengolah 5 ton sampah per hari. Permintaan lain datang dari peternak gurami di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang memerlukan 100—200 kg magot setiap hari.
Meskipun banyak permintaan, peternak mesti mempelajari budidaya magot dengan benar sehingga panen sesuai harapan. Salah satu yang harus diperhatikan adalah kandang BSF. Sebaiknya gunakan atap transparan sehingga sinar matahari masuk ke dalam kandang. Amin mengatakan, magot memerlukan sinar matahari untuk pematangan gonad. Pada awal budidaya BSF Amin menggunakan asbes sehingga BSF tidak bertelur hingga 2 pekan.

Lalat yang tidak membawa vektor penyakit itu pun cenderung diam. Setelah atap diganti, BSF aktif bergerak mencari pasangan, kawin, lalu betelur. Telur itulah yang menjadi magot. Magot kini menjadi berkat atau mendatangkan kebaikan. Bagi peternak, ia menjadi pakan sehingga hemat, ladang bisnis yang menguntungkan pula. Budidaya magot memerlukan sampah organik hingga lingkungan pun bersih. (Riefza Vebriansyah)