Selama masa pandemi korona, omzet Inagri justru melonjak. Permintaan produk hortikultura dan pangan lain meningkat.
Trubus — Saat pandemi virus korona sekalipun, tetap ada keberkahan. Muhammad Shiddiq Azis meraup omzet rata-rata Rp150 juta per bulan selama masa pandemi korona. Azis salah satu pendiri Inagri, perusahaan rintisan yang menjual sayuran, buah, dan kebutuhan pokok. Permintaan produk khusus pangan sehat meningkat hingga 60% dari total permintaan dari segmen B2C (bussiness to costumer).
Menurut Azis yang menjabat Chief Executive Officer Inagri itu saat pandemi konsumen lebih memilih konsumsi kuliner sehat seperti salad dan granola (penganan berbahan baku oat, kecang, dan buah kering). Sayuran paling banyak dipesan adalah kentang, wortel, dan cabai. Buah favorit antara lain pisang cavendish, mangga, dan buah naga. Selain konsumen B2B, Shiddiq juga menyasar konsumen B2B (bussiness to bussiness) seperti hotel, restoran, dan kafe.
Murah dan cepat
Sesungguhnya permintaan B2B (bussiness to bussiness). menurun ketika Covid-19 mewabah. Shiddiq mengatakan, penurunan itu lantaran pelaku hotel, restoran, dan jasaboga tutup sementara. Namun, menurut Shiddiq, penurunan itu tergantikan dengan meningkatnya permintaan dari rumah tangga dan beberapa lembaga untuk bantuan sosial bagi warga terdampak Covid-19.
Adapun saat ini terdapat lebih dari 275 konsumen B2C dan 120 konsumen B2B Inagri di Bandung, Provinsi Jawa Barat. Shiddiq dan rekan jatuh bangun mengembangkan kemitraan solid dan konsumen loyal agar semua pihak memetik manfaat optimal. Inagri sempat berganti strategi. Semula perusahaan itu hanya menyasar B2B, tapi kini juga merambah pasar B2C.
Meski omzet imbang, Shiddiq mengatakan, pemasaran untuk B2C perlu kreativitas lebih tinggi daripada B2B. Ia menerapkan strategi pemasaran harian dengan konsep dan menu baru khusus untuk B2C. Konsumen dapat memesan kapan pun tanpa jumlah minimal. Produk dikirimkan sehari setelah pesan. Konsumen dapat memesan melalui situs web Inagri dan kontak whatsapp.
Shiddiq mengamati tak semua konsumen nyaman dengan layanan pemesanan di web atau aplikasi. “Kebanyakan end user seperti rumah tangga sering bertanya dulu sebelum pesan sehingga whatsapp masih menjadi saluran favorit. Pada dasarnya mereka ingin diyakinkan sebelum memutuskan beli,” kata magister bidang Kewirausahaan Kreatif dan Budaya Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB itu.
Inagri mengumpulkan pesanan hingga jumlah minimal atau minimum order quantity (MOQ). Adanya MOQ itu agar konsumen memperoleh harga kompetitif. Setelah sukses di Bandung, Inagri melebarkan sayap penjualan ke Jakarta pada pertengahan 2020. Kualitas sayuran, buah, dan sembako Inagri layak disandingkan dengan produk retail modern.
Musababnya produk melalui proses sortir ketat. Sekadar contoh umbi wortel harus bebas gerekan hama dan penyakit, tidak ada bagian yang busuk, dan tidak ada ukuran yang terlalu kecil. Adapun avokad terdiri atas 3—4 buah setiap kilogram. Meski menerapkan syarat ketat, para pemasok mampu memenuhi standar itu. Shiddiq menuturkan, rata-rata hanya 10% kiriman mitra yang tak lolos.
Digitalisasi
Perusahaan rintisan sejak 2016 itu memperoleh pasokan bahan pokok antara lain dari mitra koperasi tani dan pengusaha hortikultura di Bandung dan Jakarta. Saat ini terdapat 20 mitra pemasok. Pada pertengahan 2020 Inagri mulai memasarkan produk di Jakarta. Pendiri yang juga merangkap Chief Operating Officer Inagri, Djaka Padmaprasetya, mengatakan, “Sayuran seperti wortel dan kyuri kami dapat dari petani Lembang, stroberi dari Ciwidey, serta avokad mentega Majalengka dan Sumedang.”
Shiddiq mengatakan, konsep kemitraan melalui koperasi mempermudah koordinasi untuk mencapai target bersama. Menurut Djaka Padmaprasetya tak selamanya bisnis komoditas pertanian berjalan mulus. Shiddiq dan rekan pernah merugi Rp275 juta pada tahun 2019 lantaran belum berpengalaman terutama dalam hal supervisi dan akad dengan mitra.
“Jalur distribusi harus detail dan pelaksanaan supervisi secara sungguh-sungguh. Meleset sedikit soal akad dan edukasi bisa menyebabkan kerugian sampai ratusan juta,” kata Shiddiq. Harap mafhum sebelumnya Shiddiq bekerja sebagai konsultan informasi teknologi sehingga jarang berinteraksi dengan pelaku agribisnis.
Selama dua tahun bekerja di perusahaan informasi teknologi, ia mengamati mayoritas klien memiliki anggaran khusus untuk digitalisasi. Rupanya kesempatan digitalisasi itu baru bisa diakses oleh perusahaan besar. Alumnus Teknik Informatika Universitas Telkom Bandung itu ingin membantu pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro agar memiliki kesempatan dan akses yang sama terhadap sistem manajemen informasi berbasis digital.
Menurut Shiddiq dengan digitalisasi akan terbuka pasar alternatif yang menjanjikan. Laki-laki kelahiran Bandung pada 1992 itu mengundurkan diri dari perusahaan itu pada akhir 2016. Bersama Djaka, Shiddiq merintis platform penjualan sayuran daring Inagri—kependekan dari Indonesia Agriculture. Pada awal berdiri, Inagri mengetes pasar dengan membuka stan di acara car free day (CFD) Kota Bandung.
Shiddiq mengamati peluang digitalisasi di bidang agribisnis terbuka lebar. Ada banyak produk yang bisa dikembangkan mulai dari hulu hingga industri olahan atau pengusaha kuliner. Salah satunya adalah Enterprise Resource Planning (ERP) yakni sistem informasi untuk merencanakan dan mengelola sumber daya perusahaan atau organisasi. (Sinta Herian Pawestri)