Sebagian besar penangkapan hiu di Indonesia hasil tangkapan sampingan nelayan. Oleh karena itu, Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan (KAPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama World Wildlife Fund (WWF) Indonesia menyelenggarakan acara bertajuk Kompetisi Alat Penangkap Ikan Ramah Lingkungan. Kegiatan yang berlangsung pada 2015 itu menobatkan Electro Shield System (ESS) karya Muhamad Ali Dofir, Galih Dandung Akbar Gumala, dan Romi Dwi Nanda dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Perikanan (FPIK), Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, sebagai juara ke-1.
“Kami tidak menyangka menjadi juara karena beberapa peserta juga berprofesi sebagai peneliti dan dosen,” kata Romi. Sejatinya karya bikinan Romi dan rekan itu berupa instrumen tambahan pada alat penangkap ikan. Cara pakainya mudah, ikatkan alat itu di jaring nelayan, dan hiu pun menjauh. Alat itu bekerja memanfaatkan elektroreseptor (Ampullae of Lorenzini) pada hiu yang mampu mendeteksi aliran atau medan listrik lemah dari organisme sekitar. Dengan elektroreseptor hiu juga mampu membedakan antara mangsa dan bahaya.
ESS pun memancarkan gelombang listrik yang terdeteksi sebagai ancaman oleh hiu sehingga satwa bertulang rawan itu menghindari alat tangkap. Hasil pengujian di perairan Bangka Belitung pada 2017 membuktikan jumlah tangkapan hiu mejan lebih kecil pada alat tangkap jaring liong bun (drift gill net) yang dilengkapi ESS (6 ekor) dibandingkan alat tangkap tanpa ESS (12 ekor). Menurut Romi alat itu hanya memancarkan gelombang listrik selama 30 detik. Setelah itu alat tidak aktif selama 30 detik. Begitu seterusnya.
Alasannya, “Jika alat konstan memancarkan listrik, hiu menjadi terbiasa sehingga penggunaan alat sia-sia,” kata pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, itu. Pancaran gelombang listrik alat itu mencapai 100 m. ESS hanya cocok digunakan pada alat tangkap pasif seperti jaring insang (gill net). Belum dilakukan penelitian pemanfaatan ESS pada alat tangkap aktif seperti cantrang. Romi berharap alat itu bisa menjadi solusi nyata bagi nelayan atas pengesahan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 dan Keputusan Menteri No. 18 Tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan penuh hiu paus.
Penggunaan ESS di masa depan juga membantu mengimplementasikan Peraturan Menteri No. 59 Tahun 2014 tentang larangan pengeluaran hiu koboi dan hiu martil dari wilayah Republik Indonesia. Menurut peneliti hiu di Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta Utara, Fahmi, M.Phil., pemakaian ESS memungkinkan asalkan memiliki dasar penelitian kuat dan target spesies hiu yang jelas. Musababnya, “Setiap hiu memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda,” kata peneliti hiu sejak 2001 itu. (Riefza Vebriansyah)