
Biji nyamplung mengandung minyak berkhasiat. Syaratnya pengolahan tanpa pemanasan.
Trubus — Desa Panggungharjo, Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bukan sentra nyamplung. Namun, mereka memanfaatkan potensi sumber daya manusia untuk mengolah biji Calophyllum inophyllum itu. Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, mengajak warga menggarap peluang memproduksi minyak oles dari biji nyamplung. Tanpa pemahaman teknologi mekanisasi—Wahyudi alumnus Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada—ia mendesain pengolah nyamplung berprinsip teknologi tepat guna.
Wahyudi mendirikan PT Sinergi Panggung Lestari (SPL)—satu dari tiga unit usaha Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggungharjo. Perusahaan itu mengolah nyamplung sejak 2016. “Inti proses pembuatan minyak nyamplung adalah pengempaan biji,” kata periset nyamplung di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH), Sleman, Prof. Budi Leksono, Ph.D.
Teknik dingin

dan cepat.
Minimnya pemahaman teknik mekanisasi memaksa Wahyudi dan timnya berkali-kali merombak alat kempa. Pembuatan minyak nyamplung bukan hal baru. Produsen di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Samino, memanfaatkan pengempa biji jarak untuk memeras biji nyamplung sejak 2008. Bedanya, saat itu Samino mengukus biji sebelum pengempaan, metode yang disebut teknik panas.
Menurut Prof. Budi Leksono, Ph.D., pengukusan melunakkan biji sehingga mempermudah pengempaan. Minyak dari biji yang dikukus cocok untuk bahan bakar nabati. Samino menuturkan, pengukusan mengurangi kadar getah dalam minyak menjadi kurang dari 5%. Sementara kalau mengempa biji kering mentah—istilahnya teknik dingin—kandungan getah dalam minyak 10—15%.
Minyak nyamplung untuk kesehatan wajib dibuat dengan teknik dingin untuk mempertahankan kandungan asam amino. Tantangannya, biji mentah lebih keras sehingga memerlukan alat kempa yang tepat. Pengalaman produsen minyak nyamplung di Sleman, Vivin Carolina, konstruksi mesin kempa yang tidak pas menjadikan minyak yang keluar hanya sedikit. “Bungkil sisa perasan kalau diremas dengan tangan masih mengeluarkan minyak,” kata Vivin.

Panggung Lestari, Irfandi
Cahyanto.
Menurut Budi pengempa yang tepat menggunakan sistem ulir (screw press) alih-alih sistem tekan (vertical hot press). Pencarian kombinasi yang pas antara berbagai variabel seperti panjang poros, tinggi mata ulir, kecepatan angular, torsi putar, atau jenis logam menjadi tantangan besar. Menurut anggota staf Bagian Produksi dan Administrasi PT SPL, Irfandi Cahyanto, biaya pembuatan mesin yang mereka gunakan sekarang berkisar Rp25 juta—Rp30 juta.
Namun, proses bongkar pasang, penyesuaian, dan modifikasi untuk memperoleh desain yang tepat seperti sekarang sangat mahal. “Operator pun harus cermat karena makin lama beroperasi, makin banyak terbentuk gumpalan yang menyumbat dan memperberat kerja mesin,” kata Andi, panggilan Irfandi. Saat Trubus berkunjung, mesin kempa itu sedang direparasi di kota lain karena sebagian mata ulirnya aus. Pada akhir Desember 2019, mesin kempa macet sehingga produksi minyak terhenti.
Saat produksi lancar, mereka mampu memproses lebih dari 600 kg setiap hari dengan mesin berkapasitas 60—80 kg biji kering per hari itu. Vivin Carolina pun mendesain sendiri mesinnya. Kini ia memiliki 2 mesin kempa dengan kapasitas 10 kg dan 30 kg bahan baku per jam. Setiap hari ia memproses lebih dari 300 kg biji kering. Menurut Budi Leksono rendemen kempa biji menjadi minyak 40—60%. Pengalaman Vivin, seliter minyak ia peroleh dari rata-rata 2 kg biji kering.
Jemur lebih praktis
Para produsen itu menerima pasokan berupa buah nyamplung kering. Semula PT SPL mengandalkan tenaga manusia untuk mengupas. Mereka memberdayakan 100 ibu rumah tangga sebagai tenaga kupas, selaras dengan konsep padat karya. Namun, “Biayanya jadi tinggi sekali dibandingkan dengan menggunakan mesin,” kata Irfandi. Bandingkan dengan mesin kupas di tempat Vivin yang mampu memisahkan 300—400 kg biji dari cangkangnya hanya dalam sejam.

Pascakupas, biji mesti segera dikeringkan. SPL memiliki mesin pengering dengan tabung putar elektrik dan mengandalkan elpiji sebagai sumber panas. Mereka jarang menggunakan mesin itu karena menjemur lebih praktis dan cepat. Biji pascakupas harus segera dikeringkan sebelum busuk atau berjamur. Vivin langsung menjemur buah yang baru datang dari pemasok sebelum masuk penyimpanan untuk menunggu pengupasan. Ia menjemur biji kupasan 2—3 hari sampai sepekan, tergantung cuaca sampai benar-benar kering.
Setiap 5 kg buah kering menghasilkan sekilogram daging biji basah yang harus dijemur sampai kering sebelum dikempa. Pascajemur, bobot 1 kg biji berkurang 12—16% dan menghasilkan 200—300 ml minyak kasar (crude calophylla oil, CCO). Bobot dan volume minyak nyamplung tidak berbeda jauh, “Hanya terpaut beberapa mililiter,” kata Vivin. Pascapenyaringan dan pengendapan, hasilnya 100—120 ml minyak nyamplung kelas premium yang siap dikemas menjadi minyak oles. (Argohartono Arie Raharjo)
Biji Jadi Minyak
- Kupas buah kering, pisahkan kulit dan biji. Setiap 5 kg buah kering menghasilkan 1 kg biji.
- Jemur biji sampai kering, cirinya permukaan biji terasa keras kalau ditekan dengan kuku.
- Kempa sampai keluar minyak lalu diamkan. Seliter minyak kasar (CCO) berasal dari 2 kg biji kering.
- Setelah semalam pisahkan endapan sambil disaring.
- Diamkan 1—7 hari lalu pisahkan endapan. Minyak siap digunakan. Seliter CCO menghasilkan 500—600 ml minyak kelas premium.