Di antara lalat yang beterbangan, 2 laki-laki separuh baya tekun memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah organik yang terkumpul diolah oleh Mutawakil menjadi 4 ton pupuk per hari. Dari sanalah puluhan juta rupiah menebalkan pundi-pundi pria 39 tahun itu setiap bulan.
Setiap hari truk-truk bermuatan sampah melintasi Jalan Gandaria, Ciganjur, yang dikonblok rapi. Sekitar 1,5 km dari mulut jalan, kemudian truk membelok ke kanan. Hanya 200 m dari situ seluruh muatan dimuntahkan dari bak truk. Menurut Mutawakil, pengelola Udul SKT alias Usaha Daur Ulang Limbah Sampah Kelurahan Terpadu, setidaknya 25 ton sampah ditampung per hari. “Itu jelas mengurangi beban sampah Jakarta,” ujar alumnus Universitas Nasional Jakarta itu.
Beban? Hari-hari ini Jakarta tengah dipusingkan mengelola 6.000 ton sampah setiap hari. Bantargebang, Bekasi, lokasi pembuangan sampah yang dibuka 16 tahun lampau, menjadi tarik-ulur antara pemerintah Bekasi dan Jakarta. Sampah—diperkirakan 36 juta ton—yang menggunung menebarkan bau tak sedap hingga radius 15 km. Maklum, sampah hanya dibuang begitu saja tanpa ditimbun tanah secara berkala.
Permintaan tinggi
Lantaran menolak retribusi Rp85.000 per ton, Jakarta akhirnya memilih membuang sampah ke Cilincing dan Rorotan, Jakarta Utara. Itulah sebabnya, sekecil apapun sampah yang diolah Mutawakil tetap mengurangi sampah Jakarta. “Selama Bantargebang bermasalah banyak orang membuang sampah ke sini. Dengan membayar Rp50.000 per truk, mereka kan aman. Saya mensyukuri dikasih rezeki,” ujar Mutawakil.
Ayah 2 anak itu memisahkan jenis sampah. Tugas ini diserahkan kepada 12 karyawan—total 28 orang—yang “berprofesi” sebagai pemulung. “Kalau ada barang yang dapat dijual lagi seperti plastik menjadi hak mereka,” katanya. Khusus sampah organik yang terkumpul diolah menjadi pupuk organik padat. Ia menambahkan pupuk kandang, dedak, zeolit, dan bakteri pengurai. Volume per hari 2 ton.
Kelahiran Jakarta 11 November 1965 itu tak perlu repot memasarkan. Banyak orang datang langsung ke Udul SKT untuk membeli pupuk organik bikinannya. Mereka umumnya pedagang yang akan menjual kembali. Ada pula yang membeli curah—tanpa kemasan—untuk dikemas dengan merek sendiri. Pupuk padat yang dikemas 20 kg dijajakan Rp9.000. Dengan biaya produksi per 20 kg mencapai Rp3.000, laba yang ditangguk Mutawakil Rp18-juta per bulan.
Selain itu ia juga membuat pupuk organik cair dari bahan sampah, ikan laut, dan jeroan ternak. Seluruh bahan dicampur air laut dan difermentasi dalam drum. Mutawakil menjual Rp20.000 per liter kepada 3 perusahaan distributor. Saat ini volume produksi 2 ton per hari.
Limbah sabut
Yang juga menangguk laba dari perniagaan pupuk organik adalah PT Rajawali Cocofibre. Sejak 2002 perusahaan yang dirintis oleh Hasan Wibowo itu memanfaatkan serbuk sabut kelapa sebagai pupuk organik. Serbuk sabut kelapa itu dicampur dengan guano alias kotoran kelelawar dan pupuk kandang.
Menurut Manajer Pemasaran, Fajar Joko Waskito, produksi per bulan ratarata 200 ton untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya serta Bali. Itu di luar penjualan eceran 600 kantong setara 120 kg per bulan. Rajawali menjual Biococo itu Rp17.000 per 20 kg. Sayang Tito—panggilan Fajar Joko Waskito—enggan membeberkan biaya produksi.
Volume itu jelas sebuah lonjakan yang signifi kan. Ketika perusahaan itu pertama kali mengeluarkan Biococo pada medio Agustsus 2002, total produksi yang terserap pasar hanya 600—700 kantong berbobot 3,5 kg dan 20 kg. “Tahun ini pangsa pasar naik 30%,” ujar Tito. Sebuahbisnis “kotor” yang menggairahkan.
Domino
Menurut Tito melonjaknya permintaan pupuk organik lantaran semakin berkembangnya sistem pertanian organik di Indonesia. Itu akibat kesadaran masyarakat akan kesehatan kian tinggi. Harap mafhum, kandungan residu sayuran organik amat rendah atau malahan nirresidu. Pada 1980-an tercatat hanya PT Bina Sarana Bhakti di Bogor yang intens mengembangkan sayuran organik.
Namun, saat ini terus bermunculan produsen baru. Berdasar data Maporina—Masyarakat Pertanian Organik Indonesia— saat ini tercatat setidaknya 16 produsen baru di Jabotabek. Belum lagi di daerah lain seperti Ambarawa, Bedugul, dan Pekanbaru. Singkat kata terjadi efek domino pada pupuk organik.
Pemicu lainnya, “Kondisi tanah rusak (akibat pemakaian pupuk anorganik), sehingga pekebun kelelahan. Kondisi tanah tak ada keseimbangan, produksi pun menurun,” ujar Ir Djoko Widianto, konsultan pupuk organik di Yogyakarta. Eksportir sayuran jepang itu mengungkapkan, daya tahan tanaman justru menurun akibat pemanfaatan pupuk anorganik. Dampaknya tanaman mudah terserang hama penyakit.
Hal senada dituturkan Hariyono Purwanta. “Sekarang pekebun jenuh menggunakan pupuk anorganik,” kata pemilik UD Sumber Makmur Candikarang, produsen pupuk organik Sari Bumi di Yogyakarta. Pada 1999, ketika Sari Bumi diperkenalkan produksinya baru 1 ton per bulan. Kini rata-rata ia menghasilkan 150 ton. “Kuartal pertama 2004, ditingkatkan menjadi 300—400 ton per bulan,” kata Hariyono
Langka
Konsumen berpaling ke pupuk organik juga dipicu oleh langkanya pupuk anorganik seperti Urea, SP36, KCl, dan Ca. Itu terjadi di berbagai wilayah antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Kelangkaan yang kini terjadi justru menjelang musim tanam. Hukum ekonomi akhirnya bicara di sini. Lantaran langka, banyak yang membutuhkan, harga pun terkerek naik.
Di Cianjur dan Sukabumi, misalnya, Urea yang normalnya dijajakan Rp1.050 dijual Rp1.400 per kg. Harga yang mencekik pekebun itu jelas melambungkan biaya produksi. Padahal belum ada garansi harga jual komoditas yang tengah diusahakan bakal naik saat panen. Menurut catatan Trubus, kelangkaan pupuk seringkali terjadi. Salah satu penyebabnya karena terhambatnya distribusi di lapangan.
Tak ada rotan, akar pun jadi. Pekebun lantas memilih menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan. Toh, bagi pekebun pemakaian pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga produksi dan mutu melambung. Itu antara lain dibuktikan oleh Faizin, pekebun salak lumut di Magelang. Ia menebarkan 10 ton pupuk organik per ha. “Salak lebih segar, lebih manis, dan mudah dikupas. Salak kualitas A meningkat 20%. Dulu kebanyakan kelas B dan C,” kata ketua Asosiasi Salak Lumut.
Rancu
Wajar jika banyak perusahaan yang tergiur menerjuni perniagaan pupuk organik. PT Kalatham yang dikenal sebagai produsen beragam pupuk anorganik sejak 5 tahun silam melirik peluang di bisnis pupuk organik. Ia melepaskan Dekorgan dan Mastofol—pupuk organik cair.
Enam produsen pupuk organik yang dihubungi Trubus mengatakan, prospek bisnis pupuk organik amat mencorong. Kesadaran akan pentingnya kesehatan, era perdagangan bebas, dan isu lingkungan dinilai sebagai latar belakangnya. “Prospeknya bagus sekali,” ujar Ayub S Parnata, produsen di Bandung. Dari total produdksi 40 ton per bulan, 75% produknya diekspor ke Cina. Dari negeri Tirai Bambu itu, pupuk organik bikinannya direekspor ke Amerika Serikat, Australia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Ditengah maraknya perdagangan pupuk organik, batasan istilah pupuk organik masih rancu. Itu menyangkut bahan baku dan proses pembuatan. Pembenah tanah kadang diklaim sebagai pupuk organik. “Kalau kandungan nitrogen di atas 7 disebut pupuk organik. Di bawah 7, digolongkan pembenah tanah,” ujar Djoko Widianto, alumnus Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Meski demikian dengan banyaknya jenis pupuk organik sebetulnya konsumen diuntungkan. Sebab, “Sekarang banyak pilihan. Mau yang murah ada, mahal ada.,” ujar Tito. Asal pupuk organik pasar tetap menyerap. Itulah sebabnya, masalah klasik penanganan sampah kota mestinya tak terjadi. Pasar terbentang luas, bahan baku itu sayang dibuang. Mungkin lantaran itulah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bergandengan dengan PT Pupuk Sriwijaya untuk mengolahnya. Bisnis “kotor” sampah memang mendatangkan laba. (Sardi Duryatmo/Peliput: Nyuwan Susila Budiana)
Bisnis “Kotor” Berlimpah Laba
Di sudut Ciganjur, Jakarta Selatan, sampah itu menggunung. Tak sejengkal tanah pun di lahan 1.000 m2 itu yang terbebas dari sampah. Di antara lalat yang beterbangan, 2 laki-laki separuh baya tekun memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah organik yang terkumpul diolah oleh Mutawakil menjadi 4 ton pupuk per hari. Dari sanalah puluhan juta rupiah menebalkan pundi-pundi pria 39 tahun itu setiap bulan.
Setiap hari truk-truk bermuatan sampah melintasi Jalan Gandaria, Ciganjur, yang dikonblok rapi. Sekitar 1,5 km dari mulut jalan, kemudian truk membelok ke kanan. Hanya 200 m dari situ seluruh muatan dimuntahkan dari bak truk. Menurut Mutawakil, pengelola Udul SKT alias Usaha Daur Ulang Limbah Sampah Kelurahan Terpadu, setidaknya 25 ton sampah ditampung per hari. “Itu jelas mengurangi beban sampah Jakarta,” ujar alumnus Universitas Nasional Jakarta itu.
Beban? Hari-hari ini Jakarta tengah dipusingkan mengelola 6.000 ton sampah setiap hari. Bantargebang, Bekasi, lokasi pembuangan sampah yang dibuka 16 tahun lampau, menjadi tarik-ulur antara pemerintah Bekasi dan Jakarta. Sampah—diperkirakan 36 juta ton—yang menggunung menebarkan bau tak sedap hingga radius 15 km. Maklum, sampah hanya dibuang begitu saja tanpa ditimbun tanah secara berkala.
Permintaan tinggi
Lantaran menolak retribusi Rp85.000 per ton, Jakarta akhirnya memilih membuang sampah ke Cilincing dan Rorotan, Jakarta Utara. Itulah sebabnya, sekecil apapun sampah yang diolah Mutawakil tetap mengurangi sampah Jakarta. “Selama Bantargebang bermasalah banyak orang membuang sampah ke sini. Dengan membayar Rp50.000 per truk, mereka kan aman. Saya mensyukuri dikasih rezeki,” ujar Mutawakil.
Ayah 2 anak itu memisahkan jenis sampah. Tugas ini diserahkan kepada 12 karyawan—total 28 orang—yang “berprofesi” sebagai pemulung. “Kalau ada barang yang dapat dijual lagi seperti plastik menjadi hak mereka,” katanya. Khusus sampah organik yang terkumpul diolah menjadi pupuk organik padat. Ia menambahkan pupuk kandang, dedak, zeolit, dan bakteri pengurai. Volume per hari 2 ton.
Kelahiran Jakarta 11 November 1965 itu tak perlu repot memasarkan. Banyak orang datang langsung ke Udul SKT untuk membeli pupuk organik bikinannya. Mereka umumnya pedagang yang akan menjual kembali. Ada pula yang membeli curah—tanpa kemasan—untuk dikemas dengan merek sendiri. Pupuk padat yang dikemas 20 kg dijajakan Rp9.000. Dengan biaya produksi per 20 kg mencapai Rp3.000, laba yang ditangguk Mutawakil Rp18-juta per bulan.
Selain itu ia juga membuat pupuk organik cair dari bahan sampah, ikan laut, dan jeroan ternak. Seluruh bahan dicampur air laut dan difermentasi dalam drum. Mutawakil menjual Rp20.000 per liter kepada 3 perusahaan distributor. Saat ini volume produksi 2 ton per hari.
Limbah sabut
Yang juga menangguk laba dari perniagaan pupuk organik adalah PT Rajawali Cocofibre. Sejak 2002 perusahaan yang dirintis oleh Hasan Wibowo itu memanfaatkan serbuk sabut kelapa sebagai pupuk organik. Serbuk sabut kelapa itu dicampur dengan guano alias kotoran kelelawar dan pupuk kandang.
Menurut Manajer Pemasaran, Fajar Joko Waskito, produksi per bulan ratarata 200 ton untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya serta Bali. Itu di luar penjualan eceran 600 kantong setara 120 kg per bulan. Rajawali menjual Biococo itu Rp17.000 per 20 kg. Sayang Tito—panggilan Fajar Joko Waskito—enggan membeberkan biaya produksi.
Volume itu jelas sebuah lonjakan yang signifi kan. Ketika perusahaan itu pertama kali mengeluarkan Biococo pada medio Agustsus 2002, total produksi yang terserap pasar hanya 600—700 kantong berbobot 3,5 kg dan 20 kg. “Tahun ini pangsa pasar naik 30%,” ujar Tito. Sebuahbisnis “kotor” yang menggairahkan.
Domino
Menurut Tito melonjaknya permintaan pupuk organik lantaran semakin berkembangnya sistem pertanian organik di Indonesia. Itu akibat kesadaran masyarakat akan kesehatan kian tinggi. Harap mafhum, kandungan residu sayuran organik amat rendah atau malahan nirresidu. Pada 1980-an tercatat hanya PT Bina Sarana Bhakti di Bogor yang intens mengembangkan sayuran organik.
Namun, saat ini terus bermunculan produsen baru. Berdasar data Maporina—Masyarakat Pertanian Organik Indonesia— saat ini tercatat setidaknya 16 produsen baru di Jabotabek. Belum lagi di daerah lain seperti Ambarawa, Bedugul, dan Pekanbaru. Singkat kata terjadi efek domino pada pupuk organik.
Pemicu lainnya, “Kondisi tanah rusak (akibat pemakaian pupuk anorganik), sehingga pekebun kelelahan. Kondisi tanah tak ada keseimbangan, produksi pun menurun,” ujar Ir Djoko Widianto, konsultan pupuk organik di Yogyakarta. Eksportir sayuran jepang itu mengungkapkan, daya tahan tanaman justru menurun akibat pemanfaatan pupuk anorganik. Dampaknya tanaman mudah terserang hama penyakit.
Hal senada dituturkan Hariyono Purwanta. “Sekarang pekebun jenuh menggunakan pupuk anorganik,” kata pemilik UD Sumber Makmur Candikarang, produsen pupuk organik Sari Bumi di Yogyakarta. Pada 1999, ketika Sari Bumi diperkenalkan produksinya baru 1 ton per bulan. Kini rata-rata ia menghasilkan 150 ton. “Kuartal pertama 2004, ditingkatkan menjadi 300—400 ton per bulan,” kata Hariyono
Langka
Konsumen berpaling ke pupuk organik juga dipicu oleh langkanya pupuk anorganik seperti Urea, SP36, KCl, dan Ca. Itu terjadi di berbagai wilayah antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Kelangkaan yang kini terjadi justru menjelang musim tanam. Hukum ekonomi akhirnya bicara di sini. Lantaran langka, banyak yang membutuhkan, harga pun terkerek naik.
Di Cianjur dan Sukabumi, misalnya, Urea yang normalnya dijajakan Rp1.050 dijual Rp1.400 per kg. Harga yang mencekik pekebun itu jelas melambungkan biaya produksi. Padahal belum ada garansi harga jual komoditas yang tengah diusahakan bakal naik saat panen. Menurut catatan Trubus, kelangkaan pupuk seringkali terjadi. Salah satu penyebabnya karena terhambatnya distribusi di lapangan.
Tak ada rotan, akar pun jadi. Pekebun lantas memilih menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan. Toh, bagi pekebun pemakaian pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga produksi dan mutu melambung. Itu antara lain dibuktikan oleh Faizin, pekebun salak lumut di Magelang. Ia menebarkan 10 ton pupuk organik per ha. “Salak lebih segar, lebih manis, dan mudah dikupas. Salak kualitas A meningkat 20%. Dulu kebanyakan kelas B dan C,” kata ketua Asosiasi Salak Lumut.
Rancu
Wajar jika banyak perusahaan yang tergiur menerjuni perniagaan pupuk organik. PT Kalatham yang dikenal sebagai produsen beragam pupuk anorganik sejak 5 tahun silam melirik peluang di bisnis pupuk organik. Ia melepaskan Dekorgan dan Mastofol—pupuk organik cair.
Enam produsen pupuk organik yang dihubungi Trubus mengatakan, prospek bisnis pupuk organik amat mencorong. Kesadaran akan pentingnya kesehatan, era perdagangan bebas, dan isu lingkungan dinilai sebagai latar belakangnya. “Prospeknya bagus sekali,” ujar Ayub S Parnata, produsen di Bandung. Dari total produdksi 40 ton per bulan, 75% produknya diekspor ke Cina. Dari negeri Tirai Bambu itu, pupuk organik bikinannya direekspor ke Amerika Serikat, Australia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Ditengah maraknya perdagangan pupuk organik, batasan istilah pupuk organik masih rancu. Itu menyangkut bahan baku dan proses pembuatan. Pembenah tanah kadang diklaim sebagai pupuk organik. “Kalau kandungan nitrogen di atas 7 disebut pupuk organik. Di bawah 7, digolongkan pembenah tanah,” ujar Djoko Widianto, alumnus Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Meski demikian dengan banyaknya jenis pupuk organik sebetulnya konsumen diuntungkan. Sebab, “Sekarang banyak pilihan. Mau yang murah ada, mahal ada.,” ujar Tito. Asal pupuk organik pasar tetap menyerap. Itulah sebabnya, masalah klasik penanganan sampah kota mestinya tak terjadi. Pasar terbentang luas, bahan baku itu sayang dibuang. Mungkin lantaran itulah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bergandengan dengan PT Pupuk Sriwijaya untuk mengolahnya. Bisnis “kotor” sampah memang mendatangkan laba. (Sardi Duryatmo/Peliput: Nyuwan Susila Budiana)