Cendera mata berupa tanaman makin digemari sebagai kenang-kenangan satu acara.
Aktivitas pekerja di nurseri berukuran 600 m² itu selalu ramai. Ada saja kesibukan pekerja, mulai dari pembibitan, perawatan, pengemasan, hingga pengiriman barang. Pemilik nurseri, Erik Ariyanto, juga tak kalah repot. Ia melayani pesanan konsumen yang riuh masuk ke ponsel maupun akun media sosial pribadinya. Pilihan Erik menjadi penyedia suvenir tanaman hias sejak 10 tahun silam terbukti tokcer. Produk bikinannya laris manis di pasaran.
Dalam sebulan pemilik nurseri Erik Kaktus di Lembang, Bandung, Jawa Barat, itu menjual rata-rata 15.000 suvenir kaktus dan sukulen. Ia menjual suvenir dengan harga Rp5.250 per tanaman atau omzet sekitar Rp78 juta per bulan. Erik menuturkan harga jual itu masih menguntungkan. Setelah dikurangi biaya produksi Rp3.500 per tanaman, ia meraup laba Rp1.750 tanaman atau total Rp26-juta.
Pada bulan-bulan yang ramai pernikahan, seperti pada Dzulhijjah, ia bisa menerima lonjakan permintaan hingga 20.000 suvenir. Saking banyaknya pesanan, Erik terpaksa menerapkan daftar tunggu bagi calon pembeli. “Konsumen harus memesan 3—6 bulan sebelumnya jika ingin membeli suvenir di atas 250 pot,” katanya.
Beda selera
Selain menjual langsung ke konsumen, Erik juga melayani sistem agen. “Kebanyakan agen membeli tanaman saja,” ujar master bisnis, Sekolah Bisnis dan Manajemen—Institut Teknologi Bandung itu. Volume pemesanan rata-rata 1.000 pot setara Rp3,25 juta. Mereka biasanya menjual kembali tanaman yang dibeli setelah dikemas dan diberi merek baru. Sebanyak 80% pelanggan berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Mereka menggemari kaktus dan sukulen karena mudah dirawat. Kaktus juga tergolong tanaman yang beragam dan berpenampilan rupawan. Selain sukulen, jenis anthurium juga menjadi pilihan. Namun, permintaannya sedikit dan jarang. Maklum, segmen pasar anthurium hanya kalangan terbatas. Erik terakhir kali melayani pemesanan anthurium untuk cinderamata pada 2013. Saat itu ia menerima permintaan 2.000 pot anthurium.
Pada tahun-tahun berikutnya sesekali Erik menerima pesanan anthurium. Namun, volume pemesanan paling banyak 500 pot. “Bisa dikatakan pesanan tanaman selain kaktus dan sukulen bersifat insindental saja,” kata Erik. Umumnya konsumen memesan suvenir kaktus dan sukulen dalam pot berdiameter 8 cm yang dikemas dalam kotak mika eksklusif. Untuk memperelok penampilan suvenir, Erik manambahkan aksesori berupa batuan zeolit warna-warni, pita, kartu ucapan, dan stiker perawatan.
Masih di Lembang, Hadi Nugraha juga menggeluti bisnis suvenir kaktus dan sukulen. Hadi melayani pemesanan 5.000 suvenir saban bulan sepanjang 2017. Dari penjualan itu ia meraup pendapatan sekitar Rp40 juta. Beberapa jenis tanaman yang diminati antara lain echeveria, crassula, agave, haworthia, dan mammilaria. Hadi menanam tanaman dalam pot plastik berdiameter 8 cm dengan media tanam berupa campuran sekam bakar, pasir, dan pupuk kandang. Perbandingannya 2:1:1. Tanaman sehat, berbatang segar, dan kuat, siap dijadikan buah tangan.
Pelayanan terbaik
Rita Sa’adah dan Phonny Frida di Bogor, Jawa Barat, juga menjatuhkan pilihan pada tanaman sukulen untuk membuat suvenir. Pemilik Jingga Nature itu baru menjalani bisnis cendera mata sukulen setahun belakangan. Sedikit berbeda dengan Erik dan Hadi, Jingga Nature melayani pesanan cendera mata skala kecil. Konsumen biasanya membeli suvenir untuk hadiah ulang tahun, akikah, arisan, dan rapat. “Adapula konsumen yang memesan tanaman sebagai bingkisan bagi orang terkasih,” kata Rita.
Dalam sebulan Jingga Nature menjual setidaknya 400 suvenir. Harga suvenir bervariasi antara Rp10.000 sampai Rp35.000, tergantung kemasan. Setiap produk tampil dalam balutan kemasan amat manis. Ada pot tanaman yang berbalut kotak kayu, keranjang kayu, kertas kue, dan kertas sampul. Konsumen juga bisa memesan aksesori berupa pita maupun kartu ucapan sesuai keinginan. “Kemasan apik dan pelayanan terbaik merupakan cara untuk meningkatkan nilai jual produk, sekaligus menjaring konsumen,” kata Phonny.
Jingga Nature juga amat memanjakan hati konsumen. Mereka dengan suka rela menjawab banyaknya pertanyaan konsumen mengenai seluk-beluk perawatan tanaman. “Maklum sebagian besar konsumen adalah kaum urban yang awam dengan dunia tanaman,” ujar Phonny. Kebanyakan kaum urban jatuh hati pada kaktus dan sukulen lantaran berukuran kecil dan mudah dirawat. Pun sosok tanaman yang eksotis sehingga memberikan kesan tersendiri jika dijadikan hiasan ruangan.
Fernando Manik, pehobi kaktus dan sukulen di Sumurbatu, Jakarta Pusat, menyambut baik geliat tren suvenir tanaman hias. Bagi pehobi pemula bisa memilih kaktus genus Gymnocalycium dan Astrophytum. Adapun untuk jenis sukulen pilih saja haworthia, gasteria, dan aloe. Namun, Fernando mewanti-wanti pehobi memperhatikan perawatan dan kebutuhan lingkungannya kaktus di dalam ruangan. Pasalnya, habitat asli tanaman sukulen adalah daerah tandus, semigurun, dan gurun gersang. Karena itu tanaman memerlukan sinar matahari cukup. “Tanaman sukulen membutuhkan sinar matahari setidaknya 5—8 jam setiap hari,” kata Fernando.
Ragam suvenir
Bisnis suvenir juga menjadi ladang rupiah bagi Faldi Adisajana di Bandung, Jawa Barat. Faldi memilih berbisnis suvenir bola lumut alias kokedama. Semula target pasar kokedama adalah anak-anak. “Tetapi seiring waktu konsumen dewasa pun menggemari kokedama,” kata pria yang merintis bisnis kokedama pada 2015 itu. Maklum penampilan kokedama bikinan Faldi memang unik. Ia menyulap kokedama sedemikian rupa menjadi sosok boneka lengkap dengan mata, mulut, tangan, dan kaki.
Penampilan kokedama semakin menarik dengan tambahan aneka tanaman seperti echeveria, sansevieria, haworthia, cryptanthus, anggrek, dan poinsettia. Seluruh bahan baku dipasok dari petani tanaman hias di Lembang. Alumnus Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, itu membanderol harga boneka kokedama bervariasi, mulai dari Rp110.000 sampai Rp430.000. Setahun terakhir ia mampu menjual 500 kokedama setiap bulan.
Berniaga suvenir juga menjadi pilihan Raden Nanda Teguh Prakasa di Bandung, Jawa Barat. Semula Nanda, sapaannya, memproduksi terarium berbagai ukuran. Pada 2015 ia memperoleh omzet rata-rata Rp10 juta dari hasil penjualan 100 terarium kecil, 20 terarium sedang, 10 terarium besar, dan 2 set vertikultur. Pada 2017, Nanda banting setir memproduksi suvenir dari benih sayuran. Ia membanderol produk barunya itu seharga Rp3.000 sampai Rp4.000 per suvenir.
Nanda mengemas benih-benih sayuran daun itu ke dalam tabung mini seukuran ibu jari. Ia melengkapi setiap tabung dengan kertas kecil berisi tata cara menanam. Dengan melampirkan petunjuk budidaya sederhana itu maka pemilik suvenir bisa langsung mempraktikkan budidaya tanaman secara sederhana. Sayangnya, suvenir benih milik Nanda masih terbatas. “Saya masih fokus pada pengenalan produk,” ujarnya.
Kaya manfaat
Menurut pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Subejo, Ph.D, tren pemanfaatan tanaman hias sebagai suvenir pernikahan semakin meningkat dan berpotensi menjadi bisnis bernilai ekonomi tinggi pada masa depan. “Kesadaran masyarakat untuk bergaya hidup go green dan ramah lingkungan menyumbang pengaruh baik pada bisnis tanaman hias,” ujar Subejo.
Masyarakat semakin menyadari peran tanaman bagi kehidupan sehari-hari. Penelitian Bovi Rahadiyan Adita C. dan rekan dari Progam Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur, membuktikan beberapa jenis tanaman hias memiliki kemampuan menyerap polutan secara signifikan. Bovi meneliti potensi penyerapan gas karbon monoksida pada tanaman sansevieria, lili paris, dan sirih gading. Setiap tanaman mengalami pemaparan gas buang itu selama 0,5 jam; 1 jam; dan 1,5 jam. Pemaparan dilakukan beturut-turut selama 5 hari di rumah tanam.
Hasil penelitian menunjukkan persentase penyerapan gas karbon monoksida yang tertinggi dicapai dalam waktu pemaparan 1,5 jam. Sansevieria jadi tanaman yang paling besar menyerap konsentrasi gas karbon monoksida. Kemampuan sansevieria menyerap polutan selama 1,5 jam pada hari kelima percobaan sebesar 46,21 %. Sementara itu lili paris mampu menyerap 41,47 %. Adapun sirih gading hanya menyerap 32,58 % gas karbon monoksida. (Andari Titisari)