Sekitar 200 ekor berukuran 1,5 inci dimasukkan ke kantong plastik yang telah diberi air. Itulah kegiatan Indomina Aquarium setiap hari demi memenuhi permintaan 12 ekportir di Jakarta.
Usia pengemasan, pukul 15.00 waktu setempat botia dikirim ke Jakarta. Satu setengah jam berselang bajubang—sebutan botia di Jambi—tiba di Jakarta. Oleh para eksportir ikan hias bertubuh loreng itu langsung diekspor ke mancanegara. Eksportir-eksportir ikan hias di Jakarta menggantungkan harapan pada pemasok seperti Indomina Aquarium. Apalagi saat musim tangkap telah lewat.
Botia laku keras di luar negeri. Di antara ikan hias lain, ia termasuk primadona ekspor. Salah satu buktinya permintaan clawn fi sh itu terus mengalir. “Kebutuhan setiap eksportir berkisar 2.000—5.000 ekor/bulan. Jumlah itu biasanya meningkat ketika musim botia tiba. Pengiriman bisa mencapai 100.000 ekor/hari,” kata Achiang, penampung sejak 16 tahun silam.
Sayang, pasokan botia masih mengandalkan tangkapan alam yang tergantung musim. Di luar musim sangat sulit mendapatkan botia. Sebab, ikan hias itu belum dapat ditangkarkan. Musim perburuan botia jatuh pada Oktober—Januari. Saat itulah ribuan pemburu menangkapnya di sepanjang Sungai Batanghari. Makanya, ketika musim Achiang menampung ikan itu sebanyakbanyaknya. Ia menerjunkan para pemasok langganannya di setiap lokasi penangkapan botia.
Dua lokasi
Indomina Aquarium, salah satu penampung botia terbesar di Jambi. Perusahaan itu mempunyai 2 lokasi pembesaran. Di sana terlihat 2 bangunan mirip gudang, masing-masing berukuran 10 m x 25 m. Sekeliling bangunan ditutupi plastik terpal warna gelap. Untuk keluar masuk karyawan melewati pintu yang juga terbuat dari plastik terpal ukuran 1 m x 2 m.
Menurut Achiang desain bertujuan agar suhu ruangan stabil. Idealnya, botia hidup di suhu 28oC. “Sebelum memakai cara ini, suhu ruangan fl uktuatif. Ketika hujan suhu turun drastis sehingga banyak ikan terserang penyakit. Demikian pula saat kemarau,”ucap Achiang. Untuk penerangan dipasang beberapa bohlam lampu 25 watt. Lampu hanya dinyalakan pada saat tertentu saja, misal ketika panen atau mengganti air.
Botia macracantha itu menghuni bak papan kayu berukuran 1 m x 2,5 m x 30 cm. Bagian atas bak dilapisi plastik sehingga mirip kolam kecil. Bak-bak itu disusun 2 tingkat setiap rak. Masing-masing bak mampu menampung 1.000—2.000 ekor, tergantung ukuran. Beberapa akuarium ukuran 40 cm x 150 cm x 50 cm dipajang di sudut bangunan untuk karantina ikan sakit.
Farm pembesaran lain yang berada di kelurahan Rajawali, Jambi, terlihat lebih modern. Ada 2 bangunan berdinding tembok berventilasi, masing-masing berukuran 8 m x 36 m. Ratusan botia ditempatkan di bak semen berukuran 3 m x 3 m, tinggi 30 cm berderet di kanan dan kiri bangunan. Masing-masing bak berkapasitas 25.000—100.000 botia, tergantung ukuran.
Dengan cara menyetok, keuntungan yang didapat pun lebih tinggi. Ketika musim tiba, botia berukuran 0,5—0,75 inci berharga Rp20—Rp30/ekor. Setelah dibesarkan 6 bulan hingga mencapai ukuran 1 inci, harga melambung Rp700/ekor. “Kalau mau tunggu harga bagus dapat dijual pada September. Saat itu eksportir getol mengirim ikan lantaran di luar negeri musim dingin. Harganya mencapai Rp1.000/ekor untuk ikan ukuran 1,5 inci,” tutur pengusaha ikan hias sejak 1991 itu.
Ekspor
Yang juga melirik prospek botia ialah Verawaty. Pemilik Sindo Akuarium itu rutin mengekspor ke pelanggan di Singapura. Minimal 3 kali per minggu ia mengekspor 10 boks, masingmasing berisi 200—300 ekor. Permintaan meningkat hingga 100% ketika musim botia tiba.
Agar kontinu, Verawaty membangun farm pembesaran botia di lahan seluas 2,5 ha. Ia memanfaatkan pabrik hunkue alias tepung jagung seluas 500 m2 yang sudah lama tidak dipakai. Dinding bangunan dari papan kayu bersusun vertikal. Pintu keluar-masuk karyawan juga terbuat dari papan kayu berukuran 1 m x 2 m.
Ratusan bak fiber 1 m x 2 m x 0,5 m digunakan untuk membesarkan botia. Setiap bak mampu menampung 100—200 ekor, tergantung ukuran. Pipa PVC berukuran 1 inci dipasang sejajar di atas bak, masing-masing dilengkapi keran yang bisa dibuka-tutup sesuai keperluan. Pada bagian bawah juga dipasangi pipa PVC untuk saluran pembuangan. Pasokan oksigen diperoleh dari beberapa aerator berkapasitas besar.
Menurut order
Dengan begitu Verawaty tidak kesulitan memenuhi permintaan botia dari pelanggan di Singapura. Syarat ikan berukuran 1,5 inci bisa dipenuhi. Pengiriman botia tidak lagi berdasarkan order, melainkan rutin sepanjang waktu. “Dulu saya menawarkan ke pelanggan jumlah stok yang tersedia sehingga tidak bisa melakukan kontrak. Kalau setuju baru dikirim. Pengiriman sebanyak 10.000 ekor pun harus dilakukan 2—3 kali,” katanya.
Menampung dan membesarkan botia memang prospektif. Namun, usaha itu ternyata tidak selalu mulus. Risiko kematian selalu ada. Kondisi botia asal tangkapan tak semuanya sehat. Luka sedikit menurunkan kesehatannya. Apalagi ikan hasil tangkapan kebanyakan berukuran 0,5 inci rentan dengan perubahan lingkungan. Tingkat kelulusan hidup sekitar 25%.
Belum lagi, jumlah penangkap semakin berkurang lantaran ketersediaan botia semakin menyusut. Makanya harga botia tinggi pada saat bukan musimnya Rp1.200/ekor. Pantas, bila Verawaty menggeluti usaha penampungan itu dengan serius. Senyum cerah pun terpancar di wajahnya. (Nyuwan SB)