Trubus.id—Budidaya udang vannamei superintensif merupakan cara budidaya dengan tingkat kepadatan tinggi mencapai 1.000 ekor per m2 atau rata-rata 370 ekor m3. Menurut perintis sistem budidaya udang superintensif Dr. Ir. Hasanuddin Atjo panen udang berpotensi hingga dua kali lipat.
Populasi budidaya intensif biasanya hanya 400— 500 ekor per m2 dan semiintensif 100—200 ekor. Menurut Atjo teknik budidaya padat tebar akan berhasil jika petambak mampu menjaga kesehatan dan lingkungan kolam, antara lain dengan menjaga kualitas air.
“Para peternak harus mampu mengendalikan kadar limbah organik. Konsentrasi bahan organik terlarut tidak boleh lebih dari 100 ppm,” tutur Atjo.
Salah satu sumber bahan organik di dalam tambak berasal dari air laut yang masuk ke tambak. Untuk mengatasinya Atjo mengalirkan air laut ke bak pengendapan dan alat filtrasi atau penyaringan terlebih dahulu sebelum masuk ke tambak.
Bahan organik bisa juga berasal dari pakan bermutu rendah yang cepat larut, bangkai plankton atau udang yang mengendap di dasar kolam, serta kotoran udang.
“Jumlah bahan organik yang dihasilkan di dalam tambak bisa mencapai 30% dari total jumlah pakan yang dikonsumsi udang,” ujar Atjo.
Untuk mencegah kadar bahan organik berlebih dalam air, Atjo merancang kolam terpal yang ditopang kerangka besi berbentuk tabung berdiameter 8 m dan tinggi 1,2 m. Kolam itu mampu menampung sekitar 50 ton air laut.
Ia merancang bagian dasar kolam berbentuk cekung dan membuat lubang pembuangan di bagian tengah. Tujuannya untuk memudahkan endapan bahan organik berkumpul. Selanjutnya limbah bahan organik yang terkumpul nantinya dibuang melalui pusat pembuangan di bagian tengah.
Atjo juga memanfaatkan bakteri pengurai agar asam belerang dan amonia dari bahan organik tidak berbahaya. Makhluk liliput itu dapat mengubah asam belerang menjadi sulfit dan sulfat, serta mengubah amonia menjadi amonium (NH4 ). Selanjutnya amonium diubah menjadi nitrit (NO2 -) dan nitrat (NO3 -).
Senyawa-senyawa itu menjadi sumber mineral bagi pertumbuhan bioflok. Flok yang terbentuk itu nantinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan bernutrisi tinggi sehingga pertumbuhan sangat cepat dan dapat mengurangi pemberian pakan.
Namun, proses penguraian asam belerang dan amonia oleh bakteri pengurai membutuhkan oksigen dalam jumlah besar. Hal itu bisa menyebabkan perebutan oksigen antara bakteri pengurai dan si kaki putih— sebutan untuk udang vannamei.
Menurut Atjo ketersedian oksigen terlarut dalam air minimal 3 ppm dengan porsi untuk udang minimal 70% atau setara 2,1 ppm. Agar jumlah oksigen terlarut dalam air memadai, Atjo memasang kincir air. Untuk sebuah kolam terpal berukuran 50 m2 , Atjo menggunakan sebuah kincir berkekuatan 0,5 tenaga kuda.
Selain itu ia juga mengombinasikan kincir dengan blower. Blower berguna untuk mengendalikan suhu air dengan menyemprotkan udara panas ke media budidaya. Menurut Atjo suhu dalam tambak mesti berkisar 29—30,50C.
“Perbedaan suhu air pada siang dan malam tidak boleh lebih dari 1,50 C,” katanya. Atjo hanya menggunakan satu unit blower 1,5 inci yang cukup untuk 4 buah kolam berukuran 50 m2 .
Atjo membuang limbah organik padat melalui pusat pembuangan di dalam tambak setiap 3 jam sekali. Limbah padat itu nantinya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos.
Dengan berkurangnya bahan organik maka populasi bakteri pengurai pun berkurang sehingga tidak mengurangi jatah oksigen untuk udang. Atjo juga mengganti air setiap hari sebanyak 5—10% dari total volume air dalam tambak.
Sebagai sumber nutrisi, Atjo memberikan pakan rata-rata 14 kg pelet per hari. Dalam satu siklus produksi ia menghabiskan sekitar 1,3 ton pakan. Ia mengontrol jumlah pakan agar nilai konversi pakan (FCR) berkisar 1,34.
Artinya, untuk menghasilkan 1 kg udang memerlukan 1,34 kg pakan. Atjo menuturkan, faktor yang tak kalah penting dalam membudidayakan vannamei superintensif adalah penggunaan benih berkualitas.
“Benih yang digunakan mesti bermutu sangat baik,” ujar doktor alumnus Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Untuk memperoleh benih berkualitas, petambak sebaiknya memperoleh benih dari produsen yang sudah memiliki dan menerapkan standar operasional prosedur baku benih vannamei.
“Bisa pula melakukan pengecekan di laboratorium kesehatan ikan terakreditasi atau melakukan pengecekan sendiri,” ujar pria kelahiran Poso, Sulawesi Tengah, itu.