Enam bulan digembleng di pelatnas itu, burung kiriman para penggemar dari berbagai pelosok dijamin cerewet, rajin berbunyi dengan suara keras lantaran nyalinya besar.
Mentari pagi bersinar lembut menyorot Pakem, Sleman, Yogyakarta. Di salah satu sudut jalan desa itu terdengar riuh rendah suara kicauan kenari, blaken, dan murai batu. Sebuah rumah permanen menjadi sumber keramaian. Pagi itu, pukul 08.00 di balik pagar halaman bercat putih, sejumlah 12 sangkar burung berderet di halaman berlantai semen seluas 12 m x 10 m.
Seorang pria bercelana 3/4 dengan kaos oblong warna hitam, berdiri sambil bertepuk tangan. Tangannya digerakkan layaknya penonton dalam sebuah pertandingan olahraga. Hanya dalam waktu 1 menit sahut menyahut sekelompok burung itu mulai terdengar.
Itulah rutinitas Hendri Eka Setiawan. Penggemar burung sejak 10 tahun lalu itu setiap hari bergaya di depan sekitar 20—50 burung yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Kesibukan melatih para muridnya itu dihentikan ketika jarum jam menunjukkan angka 11.00. Sore hari dia memandikan burung-burung tertentu, seperti anis dan cucakrawa.
Satu semester
Bagi penggemar burung berkicau, rumah Hendri dianggap sekolah menyanyi. Muridnya, ya burung-burung yang dikirim ke sana. Mereka kebanyakan datang dari seputaran Yogyakarta, tetapi ada juga yang berasal dari Jawa, Sumatera, bahkan Kalimantan.
Sekolah itu dibuka setiap Oktober—April. Lulus dari tempat penggemblengan, para alumni itu bisa langsung berlaga di berbagai kontes yang biasanya berlangsung pada periode Mei—September. Alumnus yang paling terkenal ialah blacken. Silangan kenari dan blackthroat itu sempat merenggut gelar jawara di kontes burung berkicau di Keraton Yogyakarta pada 1999. Prestasinya terus menanjak sampai akhirnya dinobatkan sebagai juara dalam Liga Kicau Mania Indonesia. “Burung-burung hasil didikan saya, mental dan kicauannya boleh dicoba,” ujar ayah 1 putra itu.
Dari situlah nama Hendri mulai dikenal pencinta burung. Beberapa rekannya mulai mempercayakan burung koleksi untuk disekolahkan di rumahnya. Awalnya hanya sekitar 12 burung saja yang ia tangani. Kesuksesan bisa dibilang berpihak pada ayah Sekar Arum itu. Kepiawaiannya mengajari burung bernyanyi memuaskan banyak pelanggan. “Sekarang kalau sedang ramai, bisa mencapai 50 ekor yang harus latih,” ujar pria kelahiran 1974 itu. Dengan biaya Rp10.000 per hari untuk satu ekor burung, terbilang murah.
Mata pelajaran
Burung yang bersekolah di padepokan Hendri itu menjalani beberapa tahap penggemblengan. Pada hari pertama kedatangan, burung dibiasakan dengan keadaan rumah. Caranya dengan digantung di luar rumah selama 2—3 jam. Kerudung kain yang menutupi sangkar mereka pada malam hari dibuka.
Burung pun dijemur dan dibiarkan berkicau. Untuk memancing berkicau, Hendri biasanya bersiul di depan deretan sangkar sambil bertepuk tangan. Pagi hari berikutnya burung mulai menjalani sesi tanning—berjemur.
Hendri memberi sarapan pagi empat ekor jangkrik untuk tiap burung. Yang doyan bijibijiandiberi jagung dan sorgum. Sebagai suplemen satu sendok teh telur semut untuk jenis burung kicauan, murai batu, anis, dan cucakrawa. Khusus pemakan biji-bijian, telur semut yang diberikan cuma 10 butir saja.
Itulah kawah candradimuka burung berkicau ala Hendri. Burung digembleng setiap hari bak olahragawan di pelatnas. Dari situ lahirlah jagoan-jagoan handal di ajang kontes. (Hanni Sofi a/ Peliput: Dewi Permas)