Ulah penyihir cilik Harry Potter yang berkeliling ke sentra-sentra cabai di Jawa dan Sumatera? Ternyata bukan! Setahun terakhir memang banyak pekebun yang beralih menanam cabai keriting.
Pada Mei 2004 saja di Liwa (Lampung Barat), Tanggamus, dan Tegineneng (Lampung Tengah)—semua di Provinsi Lampung—tercatat 600 ha lahan cabai keriting. Lampung salah satu sentra terbesar cabai di Pulau Andalas. Bila bulan-bulan ini menyusuri sentra Magelang, Anda bakal sulit melihat cabai besar menggelayut di cabang-cabang. Maklum 90% dari total penanaman sekitar 1.000 ha di Kota Getuk itu merupakan cabai keriting.
Pemandangan serupa juga terdapat di Pasuruan dan Malang, keduanya di Provinsi Jawa Timur. Mengapa mereka berbondong-bondong mengebunkan cabai keriting? “Cabai besar rawan serangan penyakit dan hama. Harga cabai keriting juga cenderung lebih tinggi,” kata H Marsudi kepada reporter Trubus Destika Cahyana. Pria kelahiran Magelang 5 Juli 1951 kini membudidayakan cabai keriting di lahan 35 ha.
Menurut pekebun sejak 1986 itu peningkatan intensitas serangan hama dan penyakit terhadap cabai besar dirasakan sejak 1993. Ketika itu Capsicum annuum di lahan 20 ha diganyang antraknosa Colletotrichum capsici. Ayah 5 anak itu merugi Rp150-juta. Baru pada 1999 Marsudi melirik cabai keriting dan meraup laba Rp100-juta. Sejak itulah si keriting menjadi komoditas andalan untuk menangguk untung.
Selisih Rp4.000
Cabai besar benar-benar tergusur. Ibarat kisah lawas, cabai besar adalah Goliat; sedangkan keriting, si Raja Saul bernama Daud. Dengan sebuah bandering dan sebutir batu, Daud memenangi pertarungan itu. Harap mafhum, seperti Daud, keriting mempunyai banyak keunggulan (baca boks: Perseturuan Keriting & Besar). Salah satu di antaranya seperti diungkapkan oleh Marsudi, harga keriting cenderung lebih tinggi.
Pada akhir Juli 2004 di Magelang, umpamanya, harga sekilo keriting Rp13.000; cabai besar, Rp10.000. Berdasarkan pantauan Trubus, harga di tingkat pekebun itu juga berlaku di berbagai sentra seperti Lampung, Ciamis, Sukabumi, dan Malang. Mari kita menengok ke belakang. Pada 1999 di tingkat pekebun harga cabai keriting Rp19.000, cabai besar cuma Rp13.000.
Selisih serupa juga terjadi di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, pada pekan terakhir Januari 1999. Saat itu harga keriting Rp18.000; besar, Rp11.643. Ketika harga cabai jatuh pada Agustus 2001, keriting pun masih lebih unggul. Harga keriting dan cabai besar masingmasing Rp7.857 dan Rp6.429.
Pokoknya harga cabai keriting cenderung lebih tinggi ketimbang cabai besar. Penyebabnya? “Itu berkaitan dengan perilaku konsumen. Mereka menghendaki cabai keriting yang lebih pedas,” ujar pengamat agribisnis cabai Ir Rudy Purwadi. Selisih harga keduanya, “Untuk tiga tahun terakhir berkisar antara Rp1.000—Rp4.000,” ujar sarjana Pertanian alumnus Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Lebih besar
Hanya membandingkan harga, jelas tidak objektif. Soalnya, harga berkaitan erat dengan produktivitas tanaman. Ratarata populasi 15.000 tanaman per ha—baik keriting maupun besar. Produktivitas cabai keriting rata-rata 7 ons per tanaman. Artinya, pekebun menuai 10.500 kg. Biasanya sekitar 10% atau 1.050 kg mengalami kerusakan sehingga yang dapat dipasarkan Rp9.450 kg.
Dengan harga jual Rp13.000 pekebun meraup omzet Rp122.850.000. Saat ini biaya produksi per tanaman Rp3.000. Artinya laba yang ditangguk pekebun Rp77.850.000. Bandingkan dengan laba yang diraih pekebun cabai besar—saat tulisan ini diturunkan rata-rata harganya Rp10.000—mencapai Rp84-juta. Laba yang diterima pekebun cabai besar lebih besar ketimbang rekannya yang menanam cabai keriting.
Sayangnya, pasar yang dicerminkan oleh preferensi konsumen menghendaki cabai keriting. Lagi pula di sisi budidaya, cabai keriting lebih tahan serangan hama dan penyakit. Itu berarti risiko kegagalan dapat ditekan. Sementara penyakit dan hama terus merongrong cabai besar yang relatif ringkih ketahanannya. “Menanam cabai itu seperti merawat bayi,” ujar Rudy Purwadi yang juga pekebun cabai di Bogor suatu ketika.
Pangsa besar
Iming-iming laba besar menggairahkan pekebun untuk membudidayakan anggota famili Solanaceae itu. H. Muhidin yang semula cuma menanam cabai keriting di lahan 3 ha kini membengkak menjadi 30 ha. Saban hari pria 70 tahun itu mengirimkan minimal 3—4 ton ke Jakarta. Semula anak ke-3 dari 5 bersaudara itu membudidayakan cabai besar. Baru pada 1998 ayah 2 anak beralih ke keriting.
Pipin Arip Apilin yang mengelola lahan 6 ha merasa kewalahan memenuhi permintaan pasar induk di Jakarta dan Bekasi. Menurut ketua Kelompok Tani Karangsari di Ciamis, Jawa Barat, permintaan yang masuk mencapai 5—10 ton per hari. Namun, pria 36 tahun itu Cuma mampu memasok 1,5 ton sehari.
Hal sama juga dihadapi Abas Hasan, pengepul di Cijangkar, Sukabumi, Jawa Barat. Menurut pengepul sejak 1968 itu total permintaan 8 ton cabai keriting per hari. Sayang, pria 67 tahun itu hanya sanggup memasok 1—3 ton per hari atau 5 ton ketika panen raya. “Susah mencari cabai,” katanya beralasan.
Beberapa pekebun di Malang, Magelang, dan Sukabumi yang dihubungi Trubus, sepakat permintaan cabai keriting terus meningkat. “Pasar cabai keriting semakin melebar,” kata H Subandi, pekebun di Wajak, Malang, Jawa Timur. Namun, menurut analisis Ir Sutrisno Soemodihardjo, belum ada pertumbuhan pasar yang signifikan.
Direktur Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Departemen Pertanian, itu mengungkapkan konsumsi rata-rata masyarakat relatif tetap, 4 kg per kapita per tahun. Andai 80% masyarakat Indonesia mengkonsumsi cabai, kebutuhannya sekitar 63.640 ton per bulan. Itu kira-kira hasil panen dari lahan 7.000 ha.
Benih
Maraknya perniagaan cabai keriting merupakan berkah bagi produsen benih. Direktur Pemasaran PT Tunas Agro Persada, Cipto Legowo, menuturkan selama Juni permintaan benih cabai keriting melonjak. Pada kurun Januari—April rata-rata penjualannya hanya 5—10 kg per bulan. Namun, pada Juni 2004 melambung hingga 25 kg.
Volume penjualan itu setara dengan penanaman 250 ha bila sehektar lahan membutuhkan 100 g benih. Varietas andalan Tunas Agro Persada adalah new emperor yang potensi produksinya mencapai 1 kg per tanaman. Varietas lain keluaran perusahaan yang bermarkas di Demak, Jawa tengah, itu adalah platinum.
Daftar varietas cabai keriting bakal kian panjang bila dijajarkan. Sekadar menyebut beberapa adalah helix produksi PT Tanindo Subur Prima, blora (PT Mulia Bintang Utama), dan lado keluaran PT East West Seed Indonesia (baca: Pekebun Banyak Pilihan, halaman 132). Yang juga mencecap laba dari penjualan benih PT Mulia Bintang Utama. “Sejak Mei 2004 penjualan benih cabai keriting meningkat 100%,” kata Direktur Utama Ir Abdul Hamid.
Sampai lebaran
Pantas bila Seminis, raksasa produsen benih, turut mengincar pasar benih cabai keriting. Gabungan 12 perusahaan—antara lain Peto Seed, Royal Sluis, Bruinsma—tengah getol meriset benih baru. Menurut Agus Setyono dari Seminis, saat ini benihbenih itu tengah menjalani tes uji multilokasi.
Di Grabag, Kabupaten Magelang, ada Asmoro Cahyono yang menjual bibit cabai keriting berumur 25 hari. Rata-rata ia memasarkan 5.000 bibit per hari. Konsumen datang dari Temanggung, Wonosobo, dan kota-kota kecamatan di Magelang. Harga setiap bibit Rp125 sehingga ia mengantongi laba bersih Rp60. Laba bersih yang diraih per hari Rp325.000. “Saya juga ingin mencicipi keuntungan saat harga cabai tinggi,” kata Asmoro.
Perkiraan Rudy Purwadi harga yang membumbung itu bertahan hingga Lebaran. Pekebun masih akan meraup laba hingga perayaan Idul Fitri. Tentu saja produsen benih juga kecipratan untung besar. Soalnya permintaan benih cabai keriting terus mengalir. Itu berkat “kemenangan” si Daud atas Goliat di sentra-sentra cabai. (Sardi Duryatmo/ Peliput: Destika Cahyana, Pupu Marfu’ah, & Rahmansyah Dermawan)