Pantas Kurniadi—bukan nama sebenarnya—, adik kandung Pujiastuti, pekebun di daerah Rarahan, Cibodas, Cianjur, berani berujar, “Siapa yang mencicipi Coprinus comatus bakal ketagihan”. Jamur itu sangat lezat di lidah. Rasanya manis dan renyah. Paha ayam tetap enak walaupun hanya digoreng dengan tepung, bahkan dimakan segar.
Bukan tanpa alasan jamur asal Jepang itu disebut paha ayam. Bentuknya menyerupai salah satu anggota tubuh unggas itu. Teksturnya padat berserat halus, berwarna putih terang. Tinggi mencapai 8—10 cm dengan diameter tudung belum mekar (fancy) 2 cm.
Paha ayam banyak dikonsumsi di Jepang timur. Di sana jamur itu tumbuh liar. Kelezatan chi thai ku—nama paha ayam di Cina, menarik minat penduduk untuk membudidayakannya. Maklum orang-orang Tiongkok dikenal sebagai penyantap olahan jamur. Di Cina paha ayam salah satu jamur yang paling banyak diminati. Banyak pekebun menanam chi thai ku sejak 10 tahun silam.
Obat tradisional
Chi thai ku tak melulu lezat, jamur itu manjur menangkal berbagai penyakit berbahaya. Cina dikenal sebagai gudangnya obat tradisional, memanfaatkan paha ayam untuk mengatasi penyakit Diabetes mellitus, jantung, darah tinggi, dan kanker.
Khasiat “obat” paha ayam sudah dibuktikan sendiri oleh Pujiastuti. “Dulu, sebelum mengkonsumsi paha ayam, kadar gula darah saya sangat tinggi. Setelah meminum air rebusan paha ayam sehari 2 kali kadar gula darah kembali normal,” katanya. Ramuan yang sama, baik untuk melancarkan pencernaan.
Keampuhan chi thai ku didukung berbagai penelitian. Hasil riset peneliti Cina menemukan kandungan 20 asam amino dan vitamin B kompleks, pun kalium (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan beberapa unsure lain. Bandingkan dengan jamur kancing yang hanya mengandung 17 macam asam amino.
Pantas, popularitasnya melebar ke Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Itu dibuktikan dengan tingginya permintaan paha ayam. Kebutuhan Coprinus comatus di Jepang mencapai 3.000 ton/tahun, Cina 10.000 ton/tahun.
Dari Jepang dan Cina, kini jamur paha ayam hadir di Indonesia. Kurniadi dan Pujiastuti memperkenalkannya sekitar 2 tahun silam. Berbekal pengalaman bermain jamur selama 20 tahun, kakak-adik itu mulai menanam di Cianjur. Keduanya yakin paha ayam bisa cepat berkembang. “Maklum, selain rasanya enak dan berkhasiat, budidayanya pun cukup mudah,” ujar Kurniadi.
Di Cianjur paha ayam ditanam dengan media campuran ampas tebu, biji kapas, kotoran ayam, dan kapur. Bahan-bahan itu diaduk kemudian ditutup dengan plastik, dan biarkan selama 15 hari. Setiap 3 hari campuran diaduk untuk mempercepat fermentasi. Selanjutnya bahan terfermentasi dimasukkan ke dalam karung untuk disterilisasi selama 3 jam.
Media siap pakai dimasukkan ke dalam rak-rak bambu. Selang 30 menit, tanam bibit jamur dan tutup dengan plastik. Miselium akan tumbuh setelah 15 hari. Media yang telah ditumbuhi miselium ditutup dengan lumpur yang telah dikeringkan. Kelembapan tempat dan media dijaga dengan penyiraman berkala. Paha ayam dipanen 20 hari sejak pemberian lumpur.
Untuk menghasilkan jamur berkualitas baik, pria berusia 39 tahun itu menggunakan cin pi lai, li wei po, dan gu chu jing, pupuk dari Cina. Cin pi lai mengandung 18 macam unsur, di antaranya N, P, K, Ca, Mo, dan Mg. Tujuannya agar jamur tebal, besar, dan tumbuh serempak. Sedangkan li wei pao meningkatkan aktivitas enzim, yang membantu pertumbuhan miselium dan menjaga kualitas.
Hasil panen memang masih terbatas. Kurniadi belum berani menanam dalam skala besar lantaran konsumen lokal belum familiar dengan paha ayam. Toh, itu tidak menyurutkan kakak beradik itu untuk mengembangkan jamur asal Jepang itu. Terbukti kini sebuah perusahaan agribisnis di Gadog, Bogor, rutin meminta pasokan 10—20 kg/bulan. Popularitas paha ayam tinggal menunggu waktu saja. (Hawari Hamiduddin)