Melestarikan beragam jenis bambu hingga memperoleh penghargaan Kalpataru.
Bambu menyandang gelar unik, si rumput ajaib. Tanaman anggota famili Poaceae itu memang ajaib. Tanaman penghijauan, sayuran, tanaman obat, bahan baku perlengkapan rumah tangga, alat musik, alat berburu, pupuk, mebel, dan bahan pakaian hanya beberapa faedah bambu. Sebagai gambaran terdapat minimal 1.500 jenis perlengkapan rumah tangga di seantero Nusantara yang terbuat dari bambu.
Masih ada 700 alat musik yang terbuat dari bambu, antara lain angklung, celempung, gambang, karinding, dan seruling. Bambu untuk obat? Kita mengenal bambu cangkoreh Dinochloa scandens mengandung air yang berkhasiat sebagai obat tetes mata, serbuk bambu tamiang Schizostachyum blumei obat luka, atau bambu eul–eul Nastus elegantissimus untuk beragam penyakit seperti hipertensi dan asam urat (baca: “Sembuh Berkat Air Buluh” Trubus edisi November 2008).
Cinta bambu
Keajaiban itulah yang membuat Jatnika Nanggamiharja jatuh hati pada bambu. “Adakah pohon lain yang seserbaguna bambu?” ujar Jatnika. Jatinika mengatakan, sesuatu yang banyak manfaatnya bagi manusia pasti mempunyai nilai ekonomi tinggi. Itulah sebabnya dalam 40 tahun terakhir aktivitas Jatnika Nanggamiharja tak pernah lepas dari urusan bambu.
Ia menanam bibit bambu di berbagai daerah, seperti di sepanjang 11 km bantaran Sungai Ciliwung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penanaman terakhir sebanyak 3.000 bibit aneka bambu seperti bambu tali, bambu gantar, bambu hitam, dan bambu ampel pada Mei 2016 di Jakarta Timur.
Salah satu pendiri Yayasan Bambu Indonesia itu mengoleksi 50 jenis bambu seperti bambu betung, bambu kuning, bambu kirisik, bambu gombong, dan bambu tali. Jatnika mengumpulkan bambu-bambu simpodial itu dari berbagai wilayah, antara lain Bengkulu (bambu madu), Banten (bambu betung), dan Gunung Salak (cangkoreh dan bambu rambat). Setiap jenis bambu memiliki faedah tertentu.
Sekadar contoh bambu betung bersosok besar dan kuat lazim sebagai tiang rumah, bambu gombong untuk kuda-kuda, dan bambu tali sebagai usuk. Faedah itu tak bisa dipertukarkan ketika membangun hunian. Koleksi bambu Jatinika tumbuh merumpun yang mengelilingi hunian di Cibinong, Kabupaten Bogor. Di berbagai sudut, ia meletakkan bibit bambu yang tumbuh dalam polibag hasil perbanyakannya. Ia memang melayani permintaan bibit beragam bambu.
Menurut Jatnika menanam bambu juga menguntungkan karena tumbuh merumpun. Artinya sekali menanam, kita memanen berulang-ulang. Bahkan, sejak di lahan pun bambu berfaedah karena mampu menghasilkan 1,2 kg oksigen—cukup untuk bernapas dua orang. Serumpun terdiri atas 300 bambu berarti memasok oksigen untuk bernapas 600 orang.
Seleksi tebang
Sebagai pencinta sejati, keruan saja Jatnika membangun rumah berbahan bambu. Ketika Trubus mengunjungi Yayasan Bambu Indonesia—Jatnika tengah membangun ruang pelatihan. Komponen utama bangunan itu bambu berbagai jenis. Di kompleks itu terdapat bangunan-bangunan berbahan bambu yang umurnya melebihi 32 tahun. Sejak bangunan itu berdiri, Jatnika belum pernah memperbaikinya.
Alumnus Akademi Pimpinan Perusahaan itu mengatakan, agar rumah bambu tahan lama pemilihan bahan baku sebuah keharusan. Ia sangat selektif menggunakan bambu dari kebun sendiri dan menghindari membeli bambu di lokasi lain. Sebab, ia memperhitungkan jam tebang, hari tebang, bulan tebang, mangsa tebang, dan tanda tebang.
Berkaitan dengan jam tebang, Jatnika akan menebang pada pukul 12.00—16.00. Ketika intensitas sinar matahari tinggi, kadar air bambu cenderung rendah sehingga bambu lebih awet. Pria 60 tahun itu menghindari menebang bambu pada Selasa dan Sabtu. Jatnika mengamati, pada Selasa dan Sabtu bambu mengalami pertumbuhan ruas cenderung naik. Dengan demikian bambu kembali muda dan rentan terserang hama.
Jatnika menghindari menebang bambu saat purnama karena cenderung berkadar air tinggi berkaitan dengan gaya gravitasi bumi. “Bambu penyerap air yang bagus. Saya pernah memperhatikan rumpun bambu di tengah lapangan ketika bulan purnama. Dari ujung daun menetes air,” kata eksportir tatami dan kotatsu ke Jepang pada 1980—1985 itu. Itulah sebabnya ia menebang bambu saat bulan-bulan gelap.
Menurut Jatnika waktu terbaik untuk menebang bambu adalah bulan tanpa huruf R, dari Mei—Agustus. Bambu hasil penebangan pada bulan tanpa R biasanya lentur. Bulan-bulan dengan huruf R sejatinya bertepatan dengan musim hujan atau curah hujan cenderung tinggi. Ketika itulah bambu tengah mengeluarkan rebung. Jatnika menyebut fase itu sebagai “mengeram” dan “melahirkan” alias mengeluarkan rebung.
Dalam kondisi itu bobot bambu cenderung turun. Sebatang bambu tali yang semula berbobot 10 kg, ketika “melahirkan” bobot susut hingga 3—5 kg. Jika terpaksa kita menebangnya, “Bambu dalam kondisi tidak bagus, daya lentur kurang. Rebung merana karena tidak menyusu pada induknya sehingga tidak tumbuh optimal,” ujar eksportir 4 kontainer mebel bambu per bulan ke Taiwan pada 1980—1985 itu.
Hasil penebangan pada bulan-bulan dengan huruf R menghasilkan bambu tak lentur, mudah patah. Menurut Jatnika ketika “mengeram” bambu memberikan zat kalek alias pembentuk tulang kepada rebung sehingga kondisinya lemah. Di kalangan ahli bambu, kondisi itu disebut mati urat. Indikasinya ketika kita melengkungkan bambu hingga 360 derajat, bambu akan patah.
Kalpataru
Ketika musim hujan tak menentu, apa yang menjadi patokan penebangan bambu? Jatnika mengecek pohon rambutan atau durian di sekitar bambu. Bila salah satu di antara keduanya tengah berbunga, sebaiknya tak menebang bambu. Pada saat bersamaan, bambu juga tengah mengeram. Begitu juga saat terdengar dut-dut berkicau. Kicauan burung itu menandakan kelembapan tinggi. Sebaliknya saat mendengar burung keladi bambu berkicau crok… crok… waktu untuk menebang bambu.
Dengan memperhatikan waktu tebang terbaik, Jatnika bisa memperoleh bambu-bambu bermutu tinggi. Ia meniriskan bambu selama 2—3 bulan di ruang terbuka. Bahkan, ia melubangi ruang teratas agar air hujan menggenangi bambu sehingga mengurangi kadar karbohidrat dan membuang getah. Setelah itu ia menyimpan bambu di ruang tertutup selama 3 bulan. Jika selama penyimpanan tanpa serangan hama, bambu dipastikan awet.
Pada kasus tertentu ia juga mengawetkan dengan cara perendaman dalam larutan herbal, antara lain daun bambu. Ia menghindari pengawetan bambu dengan boraks atau soda api karena mengganggu pernapasan penghuni rumah atau pengunjung restoran. Jatnika mengatakan, peminat rumah bambu tersebar di berbagai daerah, bahkan mancanegara seperti Brunei Darussalam dan Malaysia.
Pria kelahiran 2 Oktober 1956 itu membangun rata-rata 5 rumah bambu per bulan. Hingga kini ia membangun lebih dari 6.700 rumah bambu di berbagai daerah. Namanya beredar dari mulut ke mulut. Pemegang Hak atas Kekayaan Intelentual (HaKI) atas desain rumah bambu itu mengatakan, rumah bambu cocok untuk wilayah Indonesia yang memiliki banyak gunung berapi sehingga rentan gempa bumi.
Menurut Jatnika biaya pebuatan rumah bambu kini berkisar Rp1,8-juta—Rp2,7-juta per m². Bandingkan dengan pembuatan rumah batako yang mencapai Rp2,7-juta per m². Selain itu ia juga menyelenggarakan pelatihan budidaya, pengolahan, hingga pengawetan bambu. Hingga Juni 2016, Jatnika menyelenggarakan 50 kali pelatihan bambu. Setiap pelatihan terdiri atas 50-an peserta.
Atas dedikasinya melestarikan bambu itu pemerintah memberi penghargaan bergengsi Kalpataru kepada Jatnika pada 2015 pada puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup. “Jika bambu tak dilestarikan, maka hilanglah martabat bangsa. Budaya kita hilang, angklung, karinding juga hilang,” ujar Jatnika mampu mencium aroma bambu yang berkadar gula tinggi, netral, bahkan agak masam.
Semangat melestarikan bambu itu sesuai dengan tema “Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan” ke-20 yang berlangsung beberapa bulan lalu di Jakarta Convention Center. Keputusan melestarikan bambu juga sesuai dengan tema hari Lingkungan Hidup Sedunia, yakni selamatkan tumbuhan dan satwa liar untuk kehidupan.Selama 40 tahun terakhir, aktivitas Jatnika tak lepas dari bambu. Ia mencintai bambu dan terus melestarikannya. “Bunga mawar bunga melati. Cinta tak bisa ditawar-tawar karena sudah harga mati,” ujar Jatnika menggambarkan cintanya pada si rumput raksasa itu. (Sardi Duryatmo)