Keterpesonaannya kian menjadi waktu buah dibelah. Daging berwarna kuning muda, tebal, dan manis beralkohol. Pantas bila Durio zibethinus asal Pandeglang itu dinobatkan jadi pemenang pertama kategori durian dalam kontes yang diadakan Trubus.
Perjalanan silandak menuju tangga juara terbilang mulus. Seluruh juri yang terdiri dari Prof Dr Sri Setyadi Harjadi, guru besar Institut Pertanian Bogor; Drs Hendro Soenarjono, pakar hortikultura; Rudi Sendjaja, praktisi pemasaran buah-buahan; dan Trubus, sepakat ia istimewa.
Penampilan luar buah paling menarik dibandingkan durian-durian Pandeglang lain yang dibawa berbarengan ke kantor Trubus pada 7 Februari 2003. Bentuk bulat lonjong dengan duri besar-besar tapi rapat dan lancip. Kondisi buah mulus tanpa cacat bekas benturan atau gangguan hama dan penyakit. Warna kuning keemasan membuatnya kian menarik. Aroma harum yang khas muncul begitu buah berbobot rata-rata 2 kg itu dibelah dengan mudah.
Keistimewaan itu dibarengi dengan keunggulan daging buah. “Mulus dan sangat menarik,” tutur Hendro. Daging berwarna kuning muda, bertekstur halus dan kering. Begitu dimasukkan ke dalam mulut, rasa manis gurih dan beralkohol langsung memanjakan lidah. Kualitas seperti itu cocok untuk para mania durian.
Bagian yang dapat dimakan pun banyak lantaran daging tebal dan biji kempes. Satu juring rata-rata berisi 1—3 pongge besar-besar. Wajar dewan juri tak sungkan memposisikannya di atas 2 pesaing berat: simemang asal Banjarnegara dan Kumbokarno dari Kendal.
Kali pertama
Gara-gara berdaging tebal dengan biji hepe pula ia sempat disangka monthong oleh Bupati Pandeglang HA Dimyati Natakusumah. Usai kemenangan di LBUN 2003, silandak memang langsung dibawa menghadap penguasa di kabupaten yang berdiri pada 8 Agustus 1950 itu.
“Begitu tahu ini durian lokal setempat yang juara nasional, beliau langsung meminta kami ikut kembali pada lomba berikutnya,” tutur Ir Heni Supiani, kasie Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang yang menemani Trubus berkunjung ke pohon induk. Pandeglang memang terkenal dengan durian-durian enak.
Kemenangan silandak kian manis karena diperoleh dalam debut perdana. Sebelumnya, durian dari pohon warisan keluarga Lamri dan Mahyudin—bersaudara ipar—itu tak pernah ikut ajang kontes meski di tingkat kabupaten. “Waktu diminta mengirim pun tidak menyangka bakal menang, pokoknya ikut saja,” ujar Oong Haulah, istri Mahyudin. Tak pelak, predikat terbaik dari panitia LBUN 2003 merupakan kejutan tak terduga. Gelar yang tak bakal diraih bila pohon jadi ditebang lantaran di lokasi penanaman akan didirikan rumah.
Waktu Trubus berkunjung pada awal Februari 2004, durian itu sudah selesai berbuah. Musim panen kali ini produksi anggota famili Bombaceae asal Kampung Tataman, Desa Kaungcarang, Kecamatan Cadasari, itu sedikit, hanya 20 buah. Biasanya selama panen raya Desember—Januari dipetik 50—100 buah. Produksi tertinggi dicapai pada musim panen setahun silam sebanyak 150 buah. Meski begitu, ia berpotensi berbuah lebih banyak. Sayang bunga yang marak kerap rontok sebelum menjadi buah.
Favorit camat
Durio zibethinus berumur 20 tahun itu ditanam oleh Lamri dari biji yang berserakan bekas orang pesta durian. Waktu itu lokasi penanaman masih berupa hutan tak berpenghuni. Dari sekian biji yang ditebar, hanya satu yang menghasilkan buah berkualitas—silandak itu.
Meski terbilang pendatang baru—bandingkan dengan jenis-jenis lokal setempat yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun—silandak sudah jadi incaran penggemar di seputaran Pandeglang. Seorang mantan camat di Kecamatan Karangsari ketagihan setelah dioleh-olehi stafnya. Sekarang setiap musim panen ia selalu minta disisakan.
Tak jarang penggemar dari kabupaten tetangga, Serang, ikut memburu. Durian dijual eceran di tempat Rp10.000 per buah ukuran besar, Rp15.000 per 2 buah ukuran sedang. Pohon tak pernah ditebas lantaran, “Sayang karena tidak bisa ikut mencicipi atau memberi oleh-oleh kepada sanak saudara,” kata Juju Juariah. Sesekali istri Lamri itu memang mengirimkan silandak kepada besan di Bogor.
Kini prestasi yang ditorehkan, membuat durian dari pohon setinggi 25 m itu kian populer. Seorang penangkar langsung tertarik untuk memperbanyak bibit. “Sekarang dia sedang mempersiapkan batang bawahnya,” ujar Soemantri, kepala Cabang Dinas Pertanian setempat. Balai Pengujian dan Sertifikasi Benih (BPSB) Kabupaten Pandeglang pun buru-buru memproklamirkan durian yang sempat dinamai sisukun karena berbiji kecil seperti sukun Arthocarpus communis itu sebagai induk.
Berlapis-lapis
Walaupun memegang predikat ke-2, bukan berarti simemang kalah kualitas. Durian milik Zarkasi itu berdaging kuning terang dan sangat tebal. Biji besar tapi gepeng. Teksturnya lembut agak benyek dengan rasa manis sekali bercampur pahit tanda kandungan alkohol. Uniknya pongge seperti berlapis-lapis, pongge-pongge kecil menumpuk di atas pongge lebih besar. Aromanya harum menggoda selera. “Kalau simemang turun, durian lain lewat,” kata Hadi Riyanto yang kerap menebas.
Popularitas durian berumur 200 tahun itu pun sudah melintas waktu lebih dari 10 dekade. Menurut Zarkasi, sejak ia berumur belasan tahun pada 1950-an, simemang sudah diburu orang. Total produksi mencapai 1.000 buah per tahun selalu ludes tak bersisa.
Sayang, kulit durian berbentuk seperti mangga arumanis itu berwarna cokelat kusam. Bentuk duri besar, lebar, dan tumpul mirip rumah kura-kura. Di beberapa tempat terlihat cacat seperti bekas serangan hama dan penyakit. Itu yang membuat jawara lomba tingkat kabupaten itu harus merelakan tempat pertama pada silandak.
Toh di Banjarnegara kebekenannya tak pernah surut. Para penggemar berat rela memanjar sebelum buah turun meski harga relatif tinggi. Buah berbobot 500 g, paling hanya terdiri dari 1—2 juring berisi, dilepas Rp10.000—Rp15.000 per buah di kebun. Yang mencapai 2,5 kg, Rp40.000—Rp50.000. Durian lain, paling Rp10.000.
“Makanya orang yang belum kenal simemang tidak bakalan mau membeli. Mereka bilang, kecil-kecil kok mahal,” ujar Hadi. Nama simemang disematkan lantaran durian berdiameter 2 pelukan orang dewasa itu terletak di Dukuh Memang, Desa Pekauman, Kecamatan Madukoro.
Kebun baru
Melihat potensi Durio zibethinus itu, dinas pertanian setempat sejak 5 tahun silam menggalakkan program peremajaan. Maklum pohon induk terletak di tebing sungai sudah sangat sepuh. Perbanyakan dikelola oleh 2 penangkar yang ditunjuk oleh BPSB setempat.
Bibit okulasi itu menggunakan batang bawah durian sejenis. “Supaya tidak terjadi perubahan,” kata Supardi, pemilik kebun penangkaran Bukit Duri. Menurut pengalaman ayah 2 anak itu penggunaan batang bawah berbeda menyebabkan buah berubah. Misal kulit menebal.
Meski tak memiliki data akurat, Suhari—staf BPSB—menduga puluhan ribu simemang telah “lahir”. Pada 2003 saja, jumlah bibit yang diproduksi mencapai 25.000 batang. Jumlah itu terus bertambah lantaran bibit simemang memang digemari. Menurut para penangkar, pemasaran durian lokal unggul itu lebih lancar ketimbang monthong. Kebanyakan pemesan meminta bibit berumur 1 tahun setelah okulasi.
Bibit menyebar hingga ke kabupatenkabupaten tetangga: Temanggung, Magelang, Kebumen, Wonosobo, dan Jepara. Di beberapa kebun, ia mulai belajar berproduksi. Saat berkunjung pada awal Desember 2003, Trubus mampir di kebun Azizah di Desa Bantarwaru, Kecamatan Madukoro. Total 53 pohon berumur 4—5 tahun sempat berbunga. Sayang, karena guyuran hujan, calon buah itu berguguran.
Kurawa baik hati
Nun di ketinggian Desa Ngabean, Kecamatan Boja, Kabupaten Klaten, tumbuh menjulang kumbokarno, pemenang ke-3 LBUN 2003. Sebenarnya ia lebih tepat disebut anak kumbokarno. Menurut Sulami, pemilik pohon, durian di samping rumah itu memang berasal dari biji kumbokarno. Raja buah yang disebut terakhir tumbuh di kebun yang berjarak 1 km dari kediaman.
Pohon berumur lebih dari 100 tahun itu menghasilkan buah bersosok raksasa. Duri besar-besar. Daging berwarna agak kemerahan dengan rasa manis pahit. Mungkin karena sifat-sifat itu ia dijuluki kumbokarno. (Kumbokarno dalam cerita pewayangan adalah anggota keluarga Kurawa yang bertabiat baik, red). Dengan sejumlah keistimewaan itu, para mania rela mengeluarkan kocek Rp50.000 per buah.
Keunggulan induk lantas diturunkan pada sang anak yang baru kali pertama berbuah pada musim panen 2003. Tiga buah yang dikirim ke kantor Trubus ratarata berbobot 4 kg. Bentuk buah cukup menarik, bulat lonjong mulus dengan warna cokelat kehijauan. Hanya saja warna daging sedikit berubah. Kuning tua di luar, makin ke dalam menjadi pucat. Rasa manis legit dengan sedikit pahit.
Di bagian dekat biji yang cukup besar, ada bagian agak keras sehingga terdengar kres saat digigit. Setiap juring terdiri atas 4—5 pongge yang menempel rapat. Saat pertama kali melihat, tekstur daging diduga kering. Namun, begitu dicicipi ternyata agak benyek.
Penerus
Meski buah pertama, produktivitas pohon berumur 20 tahun itu cukup tinggi, mencapai 50 buah. Maklum induknya pun dulu terbilang produktif. Pada puncak produksi, kumbokarno menghasilkan 150—200 buah per musim. Seiring pertambahan umur, produktivitas terus merosot hingga kini tinggal 60—70 buah.
Malah belakangan sang pemilik berniat menebang pohon yang di sekujur batangnya dipenuhi tanaman epifit itu. Nah, semoga saja kehadiran sang anak mampu menggantikan popularitas yang sudah dirintis induk. (Evy Syariefa/ Peliput: Nyuwan S Budiana dan Syah Angkasa)