Monday, March 10, 2025

Dari Rampah Ai-ai, Manisnya…!

Rekomendasi

Seperti kisah dalam .film romantis Titanic itu, begitulah Tatang Halim jatuh cinta pada langsat ai-ai. Pertama kali melihat dan mencicipi pada Festival Buah Tropis 2005 di WTC Manggadua, Jakarta Barat, akhir September silam, pemasar buah di Muarakarang, Jakarta Utara, itu langsung meminta pasokan.

Pantas bila Tatang langsung terpikat langsat ai-ai. Lansium domesticum itu berkulit kuning dengan sedikit getah, berdaging putih susu yang bening, dan manis berair banyak. Padahal, selama ini anggota famili Meliaceae itu kadung mendapat stempel asam dan bergetah. Orang pun lebih memilih saudara kandungnya—duku—untuk dinikmati.

Dengan kelebihan yang ditampilkan, pantas bila baru sehari dipamerkan, langsat ai-ai langsung tandas. “Waktu dibawa ke Pekan Pasar Petani tahun silam di Medan juga seperti itu,” tutur Dappor Sitompul, kepala Kabupaten Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kabupaten Tapanuli Tengah. Supaya manisnya keluar, setelah petik buah dilayukan semalam.

Air manis

Kerabat culan Aglaia odorata yang dibawa ke acara Festival Buah Tropis 2005 itu berasal dari Desa Rampah, Lorong Sigapura, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah. Di sana langsat ditanam di pekarangan dan tegalan milik penduduk. Satu kepala keluarga memiliki 50—100 tanaman. Bibit berasal dari biji yang mulai belajar berbuah pada umur 8 tahun. Belakangan tanaman diperbanyak dengan okulasi dari 10 pohon induk yang telah teregistrasi. Namun, saat ini bibitbibit itu belum berbuah.

Tak ada yang tahu persis sejarah penanaman di sana. “Terlalu banyak yang mengaku mereka yang pertama kali menemukan langsat ai-ai,” kata Dappor. Yang pasti sejak Dappor masih kanak kanak sudah banyak pohon lansep—sebutan di sana—ditanam. Kini rata-rata umur tanaman mencapai di atas 40 tahun. Nama ai-ai disematkan lantaran langsat itu berair banyak. Dalam bahasa setempat ai-ai berarti air.

Penanaman terbanyak terdapat di Kecamatan Pinangsari, Tapian Nauli, Barus, dan Kolang. Total jenderal luas penanaman mencapai ratusan hektar. Pohon langsat bersanding dengan buahbuahan lain seperti salak atau tongirtongir. Yang disebut terakhir itu mirip langsat tapi daging buah berwarna merah tua. Rasanya manis juga. “Biasanya di mana ada ai-ai, di situ ada tongir-tongir,” lanjut Dappor.

Via udara

Saat musim panen tiba pada Agustus—September, buah ai-ai yang kuning segar berukuran lebih besar daripada telur puyuh bergelantungan di sana-sini. Produksi per pohon berumur 15 tahun mencapai 50 kg. Pohon di atas umur 40 tahun berbuah hingga 70—100 kg.

Kala itulah minimal 2 truk besar bermuatan 20 ton hilir-mudik setiap hari dari Desa Rampah menuju Medan dan Pekanbaru. Harga di tingkat pekebun Rp1.800 per kg. Sampai di pasar tujuan melonjak jadi Rp4.000—Rp5.000 per kg. Bukan tak ada permintaan dari daerah lain. Masalahnya, “Pengiriman masih terkendala pengangkutan,” kata Dappor.

Selama ini lanson—sebutan di Filipina—dikemas dalam keranjang bambu tanpa perlakuan lain. Akibatnya, langsat cuma tahan angkut untuk perjalanan sekitar 14—15 jam. Itu waktu tempuh antara Desa Rampah hingga Pekanbaru. Lebih dari itu—misalnya dibawa hingga ke Jakarta—kulit yang semula kuning mulus berubah kecokelatan. Itu akibat gesekan sesama buah atau lantaran kepanasan karena terlalu lama dalam perjalanan.

Pantas untuk menjaga buah tetap cantik, Dappor mengemas langsat ai-ai untuk dipamerkan dalam styrofoam agar tak cepat rusak. Kokosan—begitu orang Belanda menyebutnya—lantas diterbangkan ke Jakarta via pesawat. Hasilnya si kuning cantik berair banyak itu layak tampil di WTC Manggadua. Di sanalah Tatang Halim meminta pasokan ai-ai saat musim panen mendatang tiba. Syaratnya buah tetap mulus sampai tempat tujuan. (Evy Syariefa)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Anak Muda Berbisnis Hidroponik

Trubus.id–Ahmad Ardan Ardiyanto memanen 25—30 kg selada hijau setiap hari. Ardan—sapaan akrabnya—menjual hasil panen ke tiga toko sayur dan...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img