
Pemanfaatan baglog bekas untuk budidaya jamur tiram. Produksi tetap tinggi.
Ratusan baglog bekas di kediaman Jajang Supriyatna (45 tahun) menggunung. Pekebun jamur tiram di Bogor, Provinsi Jawa Barat, itu membuang begitu saja baglog usai panen terakhir. Bila jeli ia bisa memanfaatkan limbah media tanam itu. Penelitian Mira Febianti dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, membuktikan sebuah baglog bekas berbobot 1.200 gram berpotensi memproduksi 56 gram jamur.
Artinya rasio efisiensi biologi (BER, Biological Efficiency Ratio) 28%. Adapun rasio efisiensi biologi pada penggunaan media baru rata-rata 30%. Menurut Mira baglog bekas mengandung sisa-sisa nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan jamur tiram putih Pleurotus ostreatus. Baglog yang dipilih tentu saja bebas penyakit. Mira memanfaatkan baglog bekas untuk budidaya jamur.

Makin tinggi
Untuk mendongkrak produksi jamur, Mira menambahkan serbuk gergaji kayu sengon. Menurut Dr Iwan Saskiawan, peneliti jamur dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sengon media tanam yang baik bagi jamur tiram sebab cepat lapuk. Waktu pengomposan hanya 5—7 hari. Sementara kayu keras perlu 10—14 hari.
Pada penelitian itu, Mira mencari komposisi yang tepat antara media tanam bekas (MTB) dengan serbuk sengon baru (SSB) dalam satu kantong. Ia membagi bahan uji menjadi 3 kelompok, yaitu 75% MTB dan 25% SSB; 50% MTB dan 50% SSB; dan 100% SSB, sebanyak 3 ulangan. Bobot total baglog 1.200 gram. Pada kelompok pertama dan kedua, kantong penuh miselium pada hari ke-12 setelah tanam bibit. Sementara kelompok ketiga, miselium menyebar penuh baru pada hari ke-19.

Total perolehan tubuh buah jamur paling besar pada perlakuan pertama yakni 100 gram. Dengan begitu nilai BER meningkat menjadi 50,8%. “Tambahan serbuk sengon mendongkrak BER dua kali lipat,” ujar Mira. Hasil panen itu diperoleh dari 3 kali petik dengan total fase reproduktif 36 hari. Nilai BER itu jauh lebih tinggi daripada BER baglog baru yang rata-rata hanya 30%.
Adapun pada kelompok kedua dan ketiga masing-masing hanya mampu menghasilkan 68 gram dan 45 gram jamur. Pada kelompok kedua total fase reproduktifnya hingga 68 hari dengan frekuensi panen 3 kali. Artinya, Mira memetik tubuh buah jamur setiap 22 hari dengan rata-rata panen 22 gram. Sementara itu, pada kelompok ketiga, panen hanya bisa dilakukan sekali setelah 34 hari tubuh buah terbentuk. “Kandungan hara pada serbuk sengon sangat sedikit sehingga pertumbuhan jamur lambat. Pun hasil panen yang didapat lebih sedikit,” ujar Mira.
Pupuk oganik
Pada penelitian itu, Mira juga menguji pengaruh pupuk organik pada konsentrasi berbeda. Ia menambahkan pupuk cair organik 10 ppm, 15 ppm, dan 25 ppm per baglog pada setiap kelompok. Pada kelompok pertama—media campuran 75% MTB dan 25% SSB—pemberian 10 ppm pupuk organik mampu mempercepat fase vegetatif. Miselium memenuhi kantong pada 5 hari pascatanam bibit. Total produksi dari 3 kali panen selama 53 hari masa reproduktif hanya 60 gram.

Hasil terbaik terlihat pada baglog kelompok pertama yang diberi tambahan 15 ppm dan 25 ppm pupuk cair. Total produksi masing-masing 93 gram dan 76 gram dari 4 kali panen selama 75 hari dan 46 hari masa reproduktif. Angka BER masing-masing 46.5% dan 38.3%. Sementara itu, pada kelompok kedua—media campuran 50% MTB dan 50% SBS—produksi jamur tertinggi terdapat pada baglog yang diberi 25 ppm pupuk cair yakni 92 gram, BER 46%. Frekuensi pemetikan 2 kali selama 53 hari fase reproduktif.
Pada kelompok ketiga—100% SSB—baglog mendapat penambahan 25 ppm pupuk cair. Baglog itu memproduksi 58 gram jamur selama 35 hari fase reproduktif dengan frekuensi petik 2 kali.
Aplikasi pupuk organik itu atas saran Dr Ir Elis Nina Herliyana MSi, dosen dari Departemen Silvikultur, Institut Pertanian Bogor. Pupuk cair hasil formulasi penyuluh pertanian di Kalimantan Selatan.

Elis menuturkan jamur menyerap nutrisi dari media tempat tumbuhnya sebab tidak bisa menyediakan nutrisi sendiri. Baglog yang digunakan harus kaya nutrisi agar pertumbuhan buah optimal. Keuntungan lain, pupuk organik mampu menekan penyakit. Pupuk cair itu mengandung hara yang lengkap seperti nitrogen, fosfat, kalium, natrium, kalsium, magnesium, dan boron.
Komponen itu dilengkapi dengan senyawa azadirachtin dari daun mimba Azacdirata indica dan pikroretin dari batang brotowali Tinospora crispa. Keduanya ampuh mengusir hama dan penyakit. Selain itu, juga Mira juga menambahkan bakteri Lactobacillus sp. dan Azotobacter sp. Kehadiran bakteri mengurai hara lebih cepat sehingga penyerapan lebih maksimal,” ujar Elis.
Menurut Elis pekebun jamur dapat memanfaatkan baglog bekas itu hanya sekali. Pemanfaatan baglog bekas keruan saja menghemat biaya produksi amat signifikan. Apalagi produktivitas baglog bekas juga tinggi. Ibarat sekali merengkuh dayung maka dua tiga pulau pun terlampaui. (Andari Titisari)