Trubus.id—Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan. Ketua Dewan kakao Indonesia, Soetanto Abdoellah menuturkan saat ini terdapat 11 industri pengolahan kakao dengan kapasitas 739.000 ton per tahun.
“Namun kapasitas terpasang hanya 452.000 ton per tahun, dimana hampir 61 persen atau sekitar 271.000 ton per tahun bersumber dari impor,” ujar Soetanto.
Sehingga para pelaku usaha kakao melalui Dewan Kakao Indonesia menyarankan perbaikan kakao dengan memanfaatkan dana yang dikelola Badan Pengelolaan Dana Komoditas Perkebunan. Menurut Soetanto alokasi pembiayaan peningkatkan produksi kakao itu merupakan kabar baik.
Seiring dengan krisis kakao nasional Presiden Joko Widodo menugaskan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk melakukan penanaman kembali (replanting) dan mengembangkan industri berbasis kakao dan kelapa (10/7/2024).
“Dengan target produksi hingga 400.000 ton. Para pelaku usaha kakao merespon positif terkait kebijakan tersebut dan menyampaikan usulan pengembangan kakao melalui Dewan Kakao Indonesia,” ujar Soetanto.
Lebih lanjut Soetanto menjelaskan terkait implementasnya, para pelaku usaha kakao menyarankan agar BPDP-Kakao diupayakan harus bersumber dari kutipan terkait kakao seperti bea keluar ekspor biji kakao atau bea masuk untuk impor kakao. “Kami memperkirakan bisa diperoleh dana sebesar Rp. 2 T,” jelas Soetanto.
Ia menuturkan pada pertemuan yang diinsiasi oleh Dewan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Gamal Institute, sepakat bahwa terkait peremajaan, petani yang dapat mengakses pengembangan kakao melalu BPDP yakni petani yang bergabung di koperasi dan kelompok tani.
“Setiap orang bisa mendapatkan 4 ha dengan nilai bantuan per 30 juta per hektare (ha) dan setiap lembaga minimal 15 ha. Untuk kelompok tani milenial ada penambahan insentif paket menjadi 35 juta per ha.”
Menurut Soetanto perlu adanya penyiapan perbenihan berupa pengembangan kebun sumber benih khususnya entres yang semakin terbatas, serta penumbuhan produsen benih melalui pengembangan desa mandiri yang pembiayaannya melalui dana BPDP atau sumber pembiayaan lain.
“Paket bantuan untuk peremajaan kakao paketnya sebaiknya disesuaikan dengan prinsip pengembangan kakao berkelanjutan dengan pembatasan penggunaan agrochemical, dengan merekomendasikan minimal menggunakan 3 jenis klonal atau hibrida,” katanya.
Paket peremajaan itu mencakup benih, pupuk, pestisida, pembenah tanah, tanaman sela, tanaman penaung sementara dan penaung tetap. Dengan adanya kebijakan EUDR maka lahan untuk peremajaan wajib memenuhi aturan tersebut.
Sementara untuk sarana prasana program yang disarankan berupa ekstensifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, penyediaan alat pertanian, penyediaan alat angkut, pengembangan unit pengolahan yang dipaketkan dengan biaya pembelian kakao basah.
Sarana lainnya pembuatan rumah produksi cokelat skala UMKM dan sertifikasi sustainability atau organik. Intensifikasi perlu adanya rekomendasi pemupukan dan SOP pemeliharaan spesifik lokasi.
Adapun terkait penyaluran dana untuk kegiatan riset, diarahkan untuk menemukan cara pengendalian OPT utama dan penemuan varietas baru serta penemuan inovasi untuk peningkatkan produksi pertanian melalui riset inisiatif Kementerian Pertanian.
Selain itu para pelaku usaha juga menyarankan perlu adanya pengembangan aplikasi gratis menciptakan keterhubungan dan ketelusuran sehingga menghasilkan eksistem di antara pelaku usaha.
“Konsep pengembangan kakao ini rencananya akan kami sampaikan secara resmi kepada pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Pertanian sehingga dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan,” ujar Soetanto Abdoellah pada siaran pers.