Pantas bila anggrek endemik Borneo itu lantas merebut gelar terbaik, menyisihkan 280 pesaing di Bali Orchid Show 2004. “Jenis ini begitu istimewa warnanya,” tutur Wirakusumah S, pemerhati anggrek di Prigen, Jawa Timur.
Anggrek spesies yang ditemukan oleh Hugh Low pada 1861 di hutan sekitar Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu tampil mengesankan saat lomba. Di kategori best of spesies anggrek milik Ir Rajan Kiman itu menyisihkan Dendrobium straiotes milik Santi Pieters yang berbunga prima. D. lowii itu unggul tipis karena warna bunga cerah dan sulit dipelihara. Di babak best of show, secara meyakinkan ia mengalahkan anggrek hibrid Oncidium Wild Cat untuk merebut Piala Presiden.
Dua juri asal Singapura, Mr Yusof Alsagof dan Mr Puah Cik Song, memuji warna dan kelangkaan D. lowii. Labelum sang juara terlihat berbulu. Jenis seperti itu jarang sekali ditemukan. Apalagi saat lomba ia memamerkan 11 kuntum bunga. Padahal, di habitat aslinya paling banter keluar 5—7 kuntum bunga. “Di Serawak, Malaysia rata-rata hanya 4 kuntum bunga,” papar Wirakusumah S.
Mengandalkan alam
D. lowii yang mulai populer sejak 3 tahun terakhir itu tergolong tipe formosa dengan bunga kuning bercampur jingga. Anggrek spesies yang berbunga setiap Mei—September itu rata-rata memunculkan 1—7 kuntum bunga pada setiap tangkainya. “Yang berbatang panjang warna bunga lebih pucat. Sebaliknya yang bertangkai pendek memiliki bunga terang,” ujar Wirakusumah S.
Anggrek endemik Borneo itu hidup di hutan-hutan dataran rendah hingga ketinggian 900 m dpl. English Orchid Groweer menyebutkan jenis ini hanya ditemui terbatas di Pegunungan Meratus Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Serawak, dan Tawau di Malaysia. Anggrek ini tumbuh epifi t pada pohon-pohon yang tidak terkena cahaya matahari langsung. Di literatur lain, Orchid of Borneo, D. lowii ditulis sebagai anggrek langka yang bila dalam waktu dekat tidak ditangani serius akan punah.
Menurut Wirakusumah, upaya memperbanyak D. lowii hingga kini masih terbentur banyak kendala. “Dicoba dengan kelembapan tinggi hancur. Begitu pula pada kondisi kering hancur juga,” ujar pemilik Edward & Frans Orchid itu. Nasibnya diperkirakan mirip anggrek spesies D. tobaense asal Sumatera Utara yang hingga kini belum berhasil menyebar luas.
Meski demikian sedikit harapan mulai terkuak dengan kesuksesan Ir Rajan Kiman menghasilkan D. lowii berkuntum banyak. “Sepertinya anggrek ini menyukai media basa seperti sabut kelapa dicampur cacahan pakis,” ujar Rajan. Terbukti dengan media itu ditambah pupuk organik cair, bisa diperoleh 11 buah kuntum bunga.
Induk silangan
Hingga saat ini upaya penangkaran D. lowii secara selfi ng baru sampai taraf botolan. “Jadi, belum ketahuan setelah keluar dari botol. Hidup atau mati?” tutur Wira. Penawaran D. lowii yang banyak ditemui di situs-situs khusus anggrek seperti www.orchidae.com ternyata masih mengandalkan alam. Terutama berasal dari hutan-hutan di Serawak dan Tawau Malaysia.
Jika berhasil ditangkarkan, D. lowii mempunyai nilai sangat besar. Ia dapat dipakai sebagai induk silangan untuk menghasilkan hibrid. Penyilangan dengan sesama tipe formosa diharapkan bisa memunculkan jenis hibrid baru yang menggiurkan dengan dominasi corak kuning keemasan dan memiliki batang pendek. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat hal itu bisa dilakukan,” ujar Wira yang mengoleksi 10 anggrek D. lowii. (Dian Adijaya S/Peliput: Syah Angkasa)