Murid Hipokrates ini memadukan ilmu kedokteran modern dengan terapi herbal alami demi membantu menyembuhkan pasien.
Trubus — Hampir semua dokter muda yang telah melalui kewajiban pegawai tidak tetap (PTT) berharap segera diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN). Itu juga harapan dr. Prapti Utami. Tamat Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, ia menjalani PTT di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Tiga tahun di sana, ia lantas menempuh ujian ASN. Hasilnya menggembirakan, Prapti lolos. Masalahnya, ia bakal ditugaskan di Provinsi Bali. Jika menuruti penempatan, ia harus jauh dari sang suami.
Suami Prapti, Ir. Markus Kwartono Adi, M.A., berprofesi sebagai pegawai bank di Jakarta. Pasangan itu sepakat untuk selalu bersama sehingga Prapti rela mengubur harapannya menjadi aparat negara. Beberapa bulan berselang, Markus memperkenalkan sang istri dengan Winarto, konsultan dan pegiat pengobatan herbal dari yayasan Karyasari di Jakarta. Markus ingin Prapti mempraktikkan pengetahuannya di bidang medis di yayasan tempat Winarto bernaung. Minim wawasan pengobatan tradisional, terang saja Prapti keberatan.
Herbal
Setahun pertama, Prapti mempelajari sebanyak mungkin jenis, fungsi, dan manfaat tanaman herbal di kebun yayasan. Ia juga belajar dari dokter-dokter di sana yang meresepkan herbal. Dari sana, kemampuan anak ketiga dari 6 bersaudara itu terasah. Ia semakin menguasai pengobatan herbal dan semakin dikenal sebagai dokter dan pengobat herbal. Pasien mulai menanyakan produk herbal buatannya. Atas dukungan suami, Prapti mulai memproduksi sendiri racikan herbal skala rumah tangga.
Ia bermitra dengan petani dari Yogyakarta, Blora, Rembang, Surakarta, Temanggung, dan beberapa daerah di Jawa Timur untuk memasok bahan baku berbentuk simplisia. Sang suami memberi dukungan penuh. Demi mewujudkan perusahaan herbal untuk masa depan keluarga, Markus menggunakan ilmu dan pengalaman sebagai manajer di sebuah bank untuk membangun Sekar Utami. Perusahaan yang berdiri pada 2002 itu melayani konsultasi dan pengobatan dengan tanaman obat keluarga (TOGA)
Secara finansial, menurut Markus, omzet Sekar Utami memang tidak sebanding dengan pendapatan sebagai manajer bank. Toh, saat ini omzet dari perusahaan itu mencapai Rp25 juta—Rp30 juta per bulan. Untuk menjaga kualitas, Sekar Utami tidak menerima bahan baku berbentuk bubuk. “Kemurniannya tidak terjamin, lebih baik menggunakan simplisia,” kata Prapti. Herbal rimpang pun tidak sembarangan. Ia mensyaratkan rimpang dengan masa tanam 10—12 bulan. Itu tampak dari bentuk dan ukuran, aroma, dan warna.
Pilihan menekuni herbal sebagai bahan pengobat itu mendapat tanggapan dingin beberapa kalangan. Toh, wanita kelahiran April 1970 itu tidak menggubris. Ia hanya berprinsip membantu orang lain. Menurut Prapti, sejatinya medis dan herbal bahan alam saling berkait. Berbagai obat sintetis, seperti kina, vinkristin, atau vinblastin semula berasal dari tanaman. Seharusnya pengobatan medis dan herbal bahan alam tidak bertentangan. “Dalam beberapa literatur, keterkaitan herbal dan medis banyak diulas. Sayang, beberapa pendidik tidak membuka sejarah sehingga calon dokter tidak paham hubungan medis dan herbal,” kata Prapti.
Untungnya kini kalangan kedokteran semakin terbuka terhadap pengobatan herbal. Terbukti Prapti kerap diundang berbicara dalam seminar pengobatan herbal di beberapa Fakultas Kedokteran. Beberapa dokter bahkan meneliti herbal bahan alam dalam penelitiannya. Saat ini ia memanfaatkan sekitar 70 jenis tanaman herbal untuk membuat racikan. Sayang, Prapti belum mengantungi izin Balai POM Kementerian Kesehatan. Ia terbentur persyaratan volume produksi yang harus berskala masif. Dengan 2 karyawan, ia hanya mampu memproduksi dalam skala rumah tangga.
Lulusan pascasarjana Ilmu Gizi Universitas Sebelas Maret Surakarta itu juga menyayangkan perkembangan herbal di Indonesia yang terbilang lambat dibandingkan mancanegara. “Padahal Indonesia adalah surga bahan alam,” kata Prapti. Produk herbal impor melengkapi diri dengan penjelasan khasiat berdasarkan riset ilmiah. Itu sebabnya ia kerap merujuk jurnal luar negeri sebagai dasar pengobatan herbal. Ia juga mengkonversi dosis untuk mempermudah pasien menakar bahan herbal. Misalnya, 80 g jahe setara 2 jari orang dewasa.
Aman
Dengan konversi sederhana itu Prapti berharap pasien mandiri dan mampu menjadi dokter bagi diri sendiri atau keluarga. Hal itu ia sarankan untuk mengatasi gejala penyakit ringan atau gejala penyakit yang pernah pasien rasakan. “Mereka bisa langsung mengonsumsi herbal sama seperti yang pernah saya resepkan,” ungkapnya. Ketika kondisi tidak juga membaik, barulah pasien perlu berkonsultasi dengan Prapti. Apalagi konsumsi herbal sangat aman nyaris tanpa efek samping. Misalnya sambiloto yang berkhasiat antibiotik alami.
Konsumsi sambiloto, baik dosis rendah maupun tinggi, relatif aman dan bebas efek samping. Bandingkan dengan antibiotik sintetis yang berisiko memicu resistensi bakteri target bila dikonsumsi serampangan tanpa resep dokter. Celakanya, terjadinya resistensi itu baru terkuak melalui pemeriksaan medis atau pengecekan di laboratorium yang relatif memerlukan waktu. Padahal bisa jadi selama itu kondisi pasien semakin menurun. Untuk menjaga populasi bakteri di ambang aman, Prapti menyarankan konsumsi sambiloto daripada antibiotik sintetis.
Prapti menyatakan, kondisi tubuh yang baru terkena penyakit memiliki 2 sisi. Sisi pertama adalah sakit yang harus diobati, lainnya sisi sehat yang harus dipertahankan untuk menguatkan dan mendukung penyembuhan. Penguatan itu bisa melalui olahraga, makanan, atau suplemen berupa jamu herbal. Contohnya dengan konsumsi kelor yang kaya nutrisi. Bila sisi sehat tidak dipertahankan, sakit menjadi semakin parah. Meski dapat menjadi alternatif, dalam kondisi tertentu obat kimia tetap diperlukan. Terutama ketika koloni bakteri terlalu banyak.
Prapti tertarik dunia kesehatan sejak kecil. Ia kerap melihat sang ayah, perawat kesehatan di Desa Mirombo, Kabupaten Wonosobo, mengobati pasien di rumah atau diundang untuk mengobati. Hal itu membuat Prapti kecil ingin mendalami ilmu kesehatan untuk membantu orang lain. Lulus dari SMAN 1 Wonosobo, ia melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, hingga lulus pada 1996. Setahun kemudian ia bekerja di Rumah Sakit Baptis, Kediri, Jawa Timur.
Pada tahun sama, ibu 3 anak itu menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Banjarnegara sampai 3 tahun. Masa itu merupakan salah satu tahap perkenalan dengan herbal. Ketika mengikuti seminar ISPA di Semarang, Prapti mendapatkan materi penggunaan bahan alam untuk pengobatan. Saat itu ia juga diajak berkunjung ke Puskesmas yang memajang simplisia herbal yang tertata apik. Bahan alam itu juga bisa digunakan untuk pengobatan. Usai seminar itu, ia mulai menyarankan konsumsi bahan herbal di sekitar rumah.
Kebanyakan pasien menanggapi dengan baik karena dapat memanfaatkan herbal di sekitar rumah dengan harga relatif murah. Konsistensi menekuni herbal membuat Prapti kerap diundang dalam seminar herbal di hampir seluruh Indonesia. Anggota IDI cabang Tangerang Selatan itu juga dipercaya sebagai direktur lembaga Pusat Pelatihan dan Pengembangan Kesehatan Indonesia (Puslatbangkesindo) sejak 2011 hingga sekarang. Dua hari setiap pekan, ia menjadi konsultan di sebuah perusahaan jamu nasional.
Pada hari biasa ia membuka praktik di rumahnya di Tangerang Selatan. Banyaknya pasien yang ingin berkonsultasi membuat Prapti meminta calon pasien membuat janji dulu. Tujuannya semata mencegah penumpukan yang menyebabkan pasien menunggu terlalu lama. Aktivitas sebagai pengobat tidak membuat Prapti abai dengan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri bertukar pikiran dengan suami dan anak-anaknya minimal sepekan sekali. (Muhammad Awaluddin)