Trubus.id-Pangan lokal berupa sagu memiliki potensi sebagai pemenuhan kebutuhan pangan harian. Sagu memiliki kandungan karbohidrat sebesar 94,3 gram/ 100 gram bahan kering. Bandingkan kandungan karbohidrat pada nasi hanya sebesar 80,4/ 100 gram bahan kering.
Keberadaan pangan lokal sagu bukan menjadi hal baru bagi masyarakat Indonesia Bagian Timur seperti daerah Papua dan beberapa wilayah di Nusa Tenggara. Menurut peneliti di Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Alberth Solpanit, S.P., M.Si., “Selaian dikomersilkan keberadaan sagu di Kabupaten Jayapura lazim digunakan sebagai persembahan saat acara adat,”.
Masyarakat Sentani biasanya menggunakan sagu varietas Dowbeta untuk acara adat. Panen sagu Dowbeta dipersembahkan untuk saudara perempuan. Artinya konsumsi sagu di Kabupaten Jayapura sudah lazim dilakukan. Menurut Alberth masyarakat kerap mengolah sagu menjadi bubur papeda. Konsumen sagu juga menghendaki kualitas yang baik.
“Sagu yang mampu menghasilkan bubur papeda yang elastis menjadi pilihan,” tambah Alberth. Sebagai contoh sagu dari varietas Dowbeta dan Yebha menjadi pilihan. Harap mafhum, kandungan karbohidrat pada sagu yebha mencapai 92%. Sementara kandungan karbohidrat pada sagu Dowbeta sebesar 87%.
Keberadaan tanaman sagu di kabupaten Jayapura memang tidak dibudi dayakan secara intensif. Rata-rata tanaman tumbuh heterogen bersama tanaman lainnya seperti matoa. Biasanya masyarakat menyebut dengan hutan sagu. Yakni sebanyak 80% tanaman merupakan tanaman sagu.
Menurut Alberth penangan pascapanen juga sudah mulai berkembang. Beberapa pekebun sudah memiliki mesin pemroses berupa pemarut dan pemeras. Masyarakat menyimpan sebagian sagu hasil panen sebagai bahan pokok pangan. Sisanya dijual dalam bentuk pati basah di pasar tradisional.
Ahmad Arhan Rajab dan Munisyah dari program studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Cokroaminoto Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan, melakukan penelitian mengenai potensi olahan sagu untuk mendukung diversifikasi pangan. Sebanyak 60% sagu dunia berasal dari Indonesia.
Sebarannya berada di Indonesia Bagian Timur seperti Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, beberapa daerah di Nusa Tenggara, dan Papua. Namun, diversifikasi pangan berbahan dasar sagu mengalami keterpurukan. Sehingga mengakibatkan konsumsi sagu menurun. Permasalahan itu membuat Ahmad dan Munisyah resah.
Peneliti menggunakan sampel dari pemilik dan karyawan salah satu Usaha Kecil Menengah (UKM) dan konsumen yang berjumlah 15 orang. Semua sampel yang digunakan ada di Desa Poreang, Kecamatan Tana Lili, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling.
Artinya pengambilan sampel memberikan kesempatan yang sama dengan populasi untuk menjadikan sampel. Penentuan lokasi juga berdasarkan daerah diversifikasi pangan lokal berbahan dasar sagu. Hasil penelitian menghasilkan jenis produk olahan sagu baru. Diversifikasi pangan berbahan dasar sagu dengan produk yang kreatif.
Tentu saja hal itu dapat berpengaruh terhadap daya beli alias konsumsi olahan berbahan dasar sagu. Diversifikasi pangan lokal olahan sagu baru itu berupa bacci laung dan kerupuk sagu. Bacci laung merupakan kudapan khas Bugis. Proses pembuatannya pun sederhana.
Yakni mencampurkan pati sagu, kelapa parut, dan garam. Campuran itu diaduk diatas wajan yang panas. Masyarakat biasa menyantap bacci laung bersama dengan teh atau kopi. Selain itu olahan sagu menjadi kerupuk sagu juga digemari konsumen. Masyarakat biasa menjadikan sebagai camilan.
Sebenarnya olahan sagu lain yang beredar di pasar sudah beragam. Mulai dari mi, pasta, makaroni, dan stik. Biasanya olahan itu menggunakan bahan dasar berupa tepung terigu. Meskipun berbahan dasar tepung sagu tidak mengubah rasa dan kualitas produk.
Sebagai contoh olahan mi sagu. Rahmadhani Chan, Wahyu Margi Sidoretno, dan Rini Lestari dari Universitas Abdurrab, Provinsi Riau, melakukan penelitian mengenai penetapan kadar amilosa pada mi sagu. Amilosa merupakan polimer glukosa yang berbentuk linier. Kadar amilosa bisa dilihat pada pengolahan sagu, sebagai contoh mi sagu.
Jumlah amilosa menentukan rasa dan mutu mi sagu. Yakni berkaitan dengan sifat fisik yang dihasilkan. Peneliti menggunakan metode Spektofotometri UV-Vis dengan panjang gelombang maksimum standar amilosa sebesar 645 nm. Uji coba dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Hasil penelitian menunjukkan kadar amilosa pada mi sagu sebesar 4,25%.
Sisanya berupa amilopektin. Semakin tinggi kadar amilopektin akan berpengaruh pada sifat dan tekstur dari mi sagu. Kadar amilopektin membawa tekstur pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sementara pati dengan kadar amilosa lebih banyak sukar menggelatinisasi.