Abdullah Fatah importir dari Malaysia saban bulan rutin meminta 10.000 botol masing-masing 125 ml. Ekspor juga merambah ke Singapura, 4.000 botol dan Rumania 2.000 botol per bulan. Malahan Singapura tak tanggung-tanggung menaikkan volume impornya: 10 ton sebulan.
Di samping dalam bentuk minyak, permintaan VCO juga berupa kapsul seperti yang diinginkan Benin. Negeri seluas Pulau Jawa di Afrika barat itu minta pasokan 3 juta kapsul. Permintaan bertubi-tubi itulah yang menyebabkan perusahaan di Bausasran, Yogyakarta, kerap lembur. Bagian produksi di Galur, Kulonprogo, 57 km dari kantor pusat, ikut menambah jam kerja. Untuk memenuhi permintaan pasar, perusahaan itu mengandalkan pasokan 80 plasma yang tersebar di Kulonprogo.
Salah satu pemasoknya adalah Endang Sumarsih. Perempuan itu mengolah kelapa menjadi VCO di dapur dengan cara amat sederhana. Parutan daging buah kelapa diperas menjadi santan. Lalu ia menambahkan minyak kelapa murni sebagai pemancing. Perbandingannya 3 : 1. Dalam waktu 10 jam, ibu 3 anak itu memetik hasilnya. VCO itulah yang dipasarkan kepada PT Patria Wiyata Vico. Dalam sehari rata-rata mantan penjahit itu menyetor 10 liter.
Eksportir lain PT Miracle Virgin Oil memproduksi minyak kelapa murni dengan mesin supercanggih. “Mesin ini seperti dukun (tahu apa yang akan terjadi, red),” ujar Jaka Dama Limbang, pemilik PT Miracle Virgin Oil.
Jaka membeli 3 mesin. Di kawasan Asia Pasifi k mesin mutakhir itu baru satu-satunya. Seluruh produksi diekspor ke Jerman sejak 2002 melalui Singapura. Alumnus Teknik Mesin Universitas Tarumanagara itu mengekspor dalam bentuk VCO curah. Volume rata-rata 1 kontainer setara 11.077 liter per bulan.
Tren
Di Indonesia setelah diperkenalkan awal 2004, popularitas virgin coconut oil terus melambung. Meningkatnya tren minyak perawan juga tengah melanda Filipina dan India. Secara empiris olahan kelapa itu menyembuhkan beragam penyakit. Siti Zaitin Noor yang mengidap diabetes mellitus, asam urat, darah tinggi, gangguan ginjal, dan kolesterol membuktikannya. Sembilan tahun lamanya perempuan pengacara itu mencari kesembuhan ke Australia, Amerika Serikat, dan Singapura. Namun, kesembuhan yang diharapkan bagai menjauh. Minyak kelapa murnilah yang akhirnya menuntaskan rombongan penyakit itu.
Demikian pula yang dialami Rudy T Bachrie. Bobot tubuh berlebih—96 kg—mengantarkan pengusaha muda itu pada diabetes mellitus dan akhirnya disfungsi ereksi. Ketika obat dokter tak kunjung menyembuhkannya, pria 46 tahun itu menoleh ke VCO. Tiga bulan rutin mengkonsumsi minyak kelapa murni, bobotnya berangsur-angsur turun hingga 82 kg. Bersamaan dengan itu kadar gula darahnya juga normal dan disfungsi ereksi pun berakhir.
Orang-orang seperti Siti Zaitin Noor dan Rudy T Bachrie jumlahnya ribuan. Enam bulan terakhir saja, tercatat 1.112 orang—dengan berbagai jenis penyakit—sembuh. Itu data di klinik Alfred Silangen di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Efektivitas minyak murni dalam menyembuhkan beragam penyakit itulah yang memicu tren minyak perawan. Apalagi harga relatif terjangkau kian melambungkan popularitas minyak dara.
Citra buruk minyak kelapa akibat kampanye negatif Amerika Serikat berangsur-angsur sirna. Sebab kian banyak periset yang mengungkapkan keistimewaan VCO sebagai benteng kesehatan. Dr Conrado Dayrit, guru besar emiritus College of Medicine Manila mengungkapkan, “Prevalensi penyakit jantung dan kolesterol pada masyarakat yang mengkonsumsi minyak kelapa murni amat rendah seperti ditemukan di Polinesia.” (baca: Terjal Fitnah Sang Perawan halaman 28—29).
Wajar jika di mana-mana muncul produsen yang berharap laba minyak dara. Alfred Silangen memproduksi 300 liter per hari di Manado, Sulawesi Utara. Sebagian besar produksi terserap di Jakarta dan sekitarnya melalui klinik di Cilandak. Keampuhan Miracle Oil—merek yang diproduksinya—beredar dari mulut ke mulut pasien. Menurut Alfred, poduksi itu belum memenuhi permintaan konsumen. Apalagi Australia juga menginginkan 2—5 ton; Jerman, 500 liter per bulan. “Di Australia ada 10 dokter yang minta pasokan, tapi belum terlayani,” ujar Alfred. Jangankan mengisi pasar eskpor, permintaan domestik pun belum terpenuhi.
Dr Joko Sulistyo di Bogor, Jawa Barat, turut mengendus peluang bisnis VCO. Bersama rekan- rekannya, doktor Enzimologi alumnus University of Tsukuba itu mengibarkan bendera PT Bogor Agro Lestari awal tahun ini. Produksinya baru 30 liter per hari, jauh dari permintaan lokal yang mencapai 3—4 kali lipat. Belum lagi permintaan Eropa yang mencapai 400 ton per bulan.
Visio—merek yang mereka produksi—dihasilkan dengan teknologi enzimatis. Menurut Joko, keistimewaan teknologi enzimatis mampu membuang senyawa terlarut yang tak berguna. Contoh, senyawa afl atoksin akibat ulah cendawan Aspergilus fl avus. Selain itu minyak perawan yang diproduksi juga kaya antioksidan. Dr Pingkan Adityawati yang sehari-hari dosen di Institut Teknologi Bandung juga memproduksi minyak kelapa murni. Bekerja sama dengan PT Anugerah Tiara Sejahtera, ia meluncurkan Peddler Virgin Coconut Oil.
Aral
Tak melulu di Jawa, di Pontianak PT Dewi Sri Madrim juga kepincut mengolah daging kelapa.Perusahaan itu lebih dulu mengolah sabut menjadi cocodust dan cocofi bre untuk memasok pasar Cina. Ketika minyak kelapa murni naik daun, ia pun tertarik mengolahnya. Berdasar lacakan Trubus produsen serupa juga tumbuh di kota-kota lain seperti Banjarmasin, Gorontalo, Jambi, Lampung, dan Ternate.
Impian produsen menangguk laba dari perniagaan VCO tak serta-merta terwujud. Rintangan senantiasa menghadang sejak produksi hingga pemasaran. Lihatlah Jaka Dama Limbang ketika membeli mesin pengolah VCO. Meski uangnya mencukupi untuk membayar 3 mesin yang total nilainya lebih dari Rp6-miliar, Jerman menolak. Negeri itu enggan melepas mesinnya jika konsumennya dari Indonesia. Menurut Jaka nama Indonesia kerap dipandang sebelah mata dalam dunia perdagangan. Toh pria 42 tahun itu panjang akal. Rekannya yang notabene orang Jepang diminta untuk membelikan mesin supercanggih.
Aral produksi dialami PT Selaras Agro Lestari. Tiga bulan pertama, produsen VCO di Pengadegan, Jakarta Selatan, itu menuai kegagalan. “Minyak yang dihasilkan keruh dan agak tengik,” ujar kepala Divisi Pengembangan Bisnis Asep S y a e f u d d i n . Terlampau lama—lebih dari 1 jam—membiarkan parutan kelapa juga menyebabkan minyak terasa kecut. Itu acap menimpa Endang Sumarsih pada awal memproduksi VCO. Ia batal memetik minyak lantaran rasio pemancing terhadap santan terlampau kecil.
Bila hambatan produksi terlampaui, bukan berarti jalan mulus terbentang. Banyak produsen terpaksa membagi-bagikan minyak kelapa murni gratis kepada kerabat dan handai taulan. Dody Baswardojo, pemilik PT Indo Coco di Surabaya, nongkrong di tempat-tempat olahraga. “Mereka yang kecapaian dan pegal saya tawarkan VCO,” ujarnya (baca: Pahitnya Rintis Jual VCO halaman 24—25). Buruknya infrastrukstur juga perintang. Saat mantan dosen Universitas Brawijaya itu mengirimkan ke Pekanbaru via darat, 120 botol pecah.
Memasarkan ke mancanegara tak sepenuhnya gampang. PT Patria Wiyata Vico sempat tersandung sertifi kat organik. Memang pada umumnya kelapa di Indonesia dibudidayakan secara organik. Masalahnya di Indonesia belum ada institusi yang mengeluarkan label organik dan diakui dunia. Standar mutu ekspor juga ketat. Pada umumnya pasar internasional menerima VCO berkadar asam laurat 43—53%, kaproat (0,4—0,6%), kaprat 4,5—8,0%), peroksida (3 meq/kg), arsenik (0,1 mg/kg), tembaga (0,4 mg/kg).
Ceruk lebar
Jika sederet hambatan teratasi, pundi-pundi produsen bakal kian menggelembung. Zainal Gani salah satu contohnya. Dokter alumnus Universitas Brawijaya itu memproduksi 30 liter per hari. Ketika pertama kali membuat VCO 8 bulan silam, produksinya 20 l sepekan. Sekarang, “Permintaan mencapai 100 liter per hari,” ujar kelahiran Banyuwangi 10 November 1946 itu.
Minyak itu dikemas dalam botol bervolume 350 ml yang dipasarkan Rp35.000—Rp50.000. Satu liter VCO diperoleh dari 10—15 kelapa tergantung ukuran. Dalam sehari herbalis di Malang itu menangguk omzet Rp2.975.000–Rp4.250.000. Setelah dikurangi biaya produksi Rp1.080.000, ia meraup laba minimal Rp1-juta sehari. Biaya produksi terbesar untuk pembelian bahan baku Rp1.000 per buah yang didatangkan dari Bali.
Para produsen merasakan betul lonjakan permintaan seiring tren VCO. Tiga ton produksi PT Kokonat Produsen Prima di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lazimnya terserap dalam 1 bulan. Namun, belakangan ini volume produksi itu habis dalam 2 pekan. “Permintaan per bulan naik 25%,” ujar Toto Soedarto, kepala Divisi Pemasaran Kokonat Produsen Prima. Peningkatan itu hanya untuk melayani pasar domestik.
Permintaan pasar mancanegara bukannya nihil. Awal 2005 saja Jerman berharap pasokan 130.000 liter per tahun. Hingga saat ini peluang itu belum terpenuhi. Toto lebih berkonsentrasi pada pasar lokal yang kian gemuk. Menjamurnya produsen tak mengkhawatirkan para pemain minyak dara. “Kalau kita bicara pasar, baru 0,0001% yang terisi. Jadi pasar masih cukup besar,” ujar Patria Ragiatno.
Hal senada diungkapkan beberapa produsen lain yang dihubungi Trubus secara terpisah. Menurut data Asia Pasifi c Coconut Community ratarata kebutuhan Amerika Serikat mencapai 1.000 ton per tahun. Dari jumlah itu baru 600 ton yang terpenuhi hasil impor dari Filipina. Inggris dan Denmark masing-masing memerlukan 500 ton dan 250 ton per tahun. Tren gaya hidup sehat alamiah yang melanda negara-negara maju, menyebabkan permintaan VCO terus melambung.
Turunan
Untuk memperluas pasar beberapa produsen mengkapsulkan minyak kelapa murni. Harap mafh um, tak semua orang nyaman mengkonsumsi minyak. Selain itu kapsul juga lebih praktis, tidak tumpah dan mudah dibawa ke mana-mana. Itulah yang ditempuh PT Miracle Virgin Oil dan PT Patria Wiyata Vico. Perusahaan lain membuat diversifi kasi produk seperti sabun, sampo, dan minyak telon yang semua berbasis VCO.
Produk-produk itu diperuntukkan pasar dalam negeri; mancanegara, minyak kelapa murni. “Disinyalir permintaan VCO yang cukup tinggi untuk diolah menjadi ekstrak asam laurat. Itu yang diimpor oleh industri farmasi dan kosmetik (di Indonesia, red),” ujar Andy Nur Alam Syah STP, MT, periset di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Artinya yang menikmati nilai tambah dalam perniagaan VCO pihak mancanegara. Sebab, harga jual VCO di pasar internasional hanya US$3—US$5 per liter. Sedangkan produk turunan minyak dara jauh lebih mahal. Itulah sebabnya alumnus Institut Teknologi Bandung itu menyarankan, “Kita harus mempunyai teknologi untuk pengolahan VCO.” Investasi yang dibutuhkan sekitar Rp500-juta.
Hal senada diungkapkan Amrizal Idroes dari Divisi Pengembangan Pasar Asia Pasifi c Coconut Community. “Masa depan VCO sangat tergantung industri lanjutan. Sebab, konsumen langsung tak seberapa besar,” katanya. Sedangkan industri farmasi, makanan, kosmetik, dan toiletries dalam negeri selama ini mengandalkan impor untuk memperoleh ekstrak asam laurat.
Dengan adanya industri ekstraksi VCO, diharapkan pasar tak akan jenuh lantaran tingginya kebutuhan akan produk turunan minyak perawan. Para produsen yang dihubungi Trubus menuturkan, tren minyak perawan bakal berlangsung lama. Djoko Sulistyo memprediksi, popularitas VCO bertahan hingga minimal 10 tahun ke depan. “Ini lahan masa depan negara tropis. Orang Indonesia akan sehat dan sejahtera dengan VCO,” katanya Lahan Cocos nucifera terluas di Asia—3,8-juta ha—menjadi modal untuk mewujudkan impian itu. (Sardi Duryatmo/Peliput: Dewi Nurlovi, Evy Syariefa, Oki Sakti Pandana, & Rosy Nur Apriyanti)
Mesin Genius
Tak percuma Jaka Dama Limbang membayar mahal—Rp2-miliar—untuk sebuah mesin supercanggih. Mesin pengolah virgin coconut oil sistem komputerisasi itu amat pintar. Daging kelapa yang sudah dipisahkan dari tempurung, dimasukkan ke dalam mesin. Operator tinggal menekan tombol sebagai perintah agar mesin mencuci bersih endosperm. Dalam satu jam mesin bikinan Jerman itu mampu mengolah 10.000 butir kelapa. Kemudian daging kelapa itu memasuki sebuah ruang sterilisasi.
Dalam beberapa detik kelapa direndam dalam air panas bersuhu 110oC. Tujuannya agar bebas dari mikroba patogen. Meski daging kelapa dipanaskan, “Mutu minyak yang nanti dihasilkan tak berubah,” ujar pria 42 tahun itu. Peranti mutakhir itu lalu memarut daging kelapa. Setelah itu mesin menginformasikan kualitas minyak yang bakal dihasilkan. Di layar monitor tertera “bocoran” mutu minyak perawan. Jadi kadar kimia minyak seperti asam laurat, asam oleat, dan asam kaproat sudah terbaca sebelum minyak itu jadi.
Laporan
Bukan cuma itu, nilai gizi VCO pun sudah dapat disampaikan oleh mesin genius itu. Untuk sekadar tahu berapa kadar kalori, protein, serat, dan fosfor bukan hal sulit baginya. Jumlah bakteri patogen yang mungkin dikandung oleh minyak pun dapat terdeteksi. Sebelum diproses menjadi minyak kelapa murni, mesin jujur itu bertanya, “Apakah proses pembuatan minyak akan dilanjutkan?” Jika operator menolak, misalnya karena standar mutu tak sesuai dengan kualifi kasi ekspor, mesin bakal menghentikan produksi sebelum menjadi minyak. Kemudian parutan daging kelapa dikeluarkan.
Pascaoperasi hingga VCO itu dihasilkan, mesin pun akan memberikan laporan tertulis dalam bentuk print out. Di sana tertulis kandungan kimia, gizi, bakteri patogen, dan waktu pemrosesan. Secanggih apa pun, ternyata mesin itu juga mempunyai kelemahan. Contoh, ia menghindari kelapa hibrida. “Minyaknya lengket,” kata Jaka Dama Limbang. Menurut pakar kelapa dari Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Sudradjat, rendemen kelapa hibrida jauh lebih rendah ketimbang kelapa dalam. Endosperm kelapa dalam rata-rata 2 cm; hibrida 1—1,5 cm. (Sardi Duryatmo)