Sebuah pot keramik hijau berbentuk lonjong tampak dijejali 4—5 jenis sansevieria. Bagian depannya berisi jejeran sansevieria berdaun pendek kompak bercorak hijau. Agar penampilannya terkesan cantik, pada sisi belakang pot ditaruh beberapa laurentii berdaun panjang yang bercorak hijau-perak. Kombinasi apik lidah mertua itu tidak terbilang murah. Peminat rangkaian anggota famili Agaveceae yang disebut sekarsari itu perlu merogoh kocek Rp500.000 per pot.
Bila dianggap terlalu mahal, kreasi sederhana di dalam pot mungil bisa menjadi pilihan. Bentuk dan nuansa yang ditampilkan tak kalah elok. Sebuah sansevieria berdaun kompak dalam pot mini bercorak tinta. Kesan murahan ditepis dengan menaruh kerikil-kerikil putih sebagai penutup media. “Dengan penataan bagus ia bisa bernilai tinggi,” ujar Elda.
Jangka panjang
Bagi Elda, kesuksesannya mengatrol martabat sansevieria menjadi elemen mini garden yang disukai sudah diprogram jauhjauh hari. Pilihannya bukan tanpa alasan. Corak lidah mertua unik, ia “digadanggadangkan” sebagai penyerap polutan. Maka sebuah rencana besar pun disiapkan.
Dimulai 2 tahun silam, ibu 3 anak itu menanam 20 jenis sansevieria di lahan 10 ha. Ia juga menjalin mitra bersama puluhan pekebun dan mencetak bibit secara massal melalui kultur jaringan. Jerih payahnya tidak sia-sia. Terbukti setiap bulan PT Bumi Teknokultura Unggul (BTU) yang dipimpinnya mengirim minimal 3—4 kontainer sekarsari ke mancanegara.
Kerja alumnus jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung itu tak berhenti sampai di situ. Ia pun getol mengotak-atik tanaman tropis lain seperti aglaonema dan dracena. “Saya ingin tanaman hias tropis terangkat dan mempunyai nilai tambah bagi pekebun,” papar Elda. Ia berkaca dari pengalaman ketika memboyong sebuah klon pisang dari Philipina pada akhir 1980-an. Tak diduga, setelah diperbanyak, klon yang kemudian terkenal sebagai pisang abaca itu melejit dan menguntungkan banyak pekebun di pertengahan 1990-an.
Cerita manis itu terulang ketika istri Denni Pramudya Adiningrat itu mulai membibitkan jati genjah. Tanaman kehutanan itu pun populer hingga awal 2000-an. “Ternyata segala sesuatu itu perlu disusun untuk jangka waktu panjang supaya sukses,” ujar Elda. Itulah ilmu yang diadopsi dari Prof Edi Nurhadi, dosen pembimbing sewaktu duduk di bangku kuliah.
Wawasannya kian terasah saat berkarir di PT Kalbe Frama, Perum Perhutani, dan PT Fitotek Unggul. “Di ketiga tempat itu saya banyak mendapat ilmu. Mulai dari cara mengatur bisnis sampai membaca perilaku pasar,” papar kelahiran Jakarta 46 tahun silam itu.
Terencana
Bekal itulah yang kemudian mengantar Elda bersama kolega yang berpikiran sepaham, Frankie Tjokrosaputro, pada Juni 2000 mengibarkan bendera PT Bumi Teknokultura Unggul. Perusahaan yang berlokasi di Cikupa, Tangerang, itu memfokuskan diri pada tanaman hias tropis dan tanaman obat-obatan. “Negara kita sangat kaya akan ragam kedua jenis komoditas itu. Jumlahnya bahkan mencapai sekitar 1.400 jenis. Tugas kita bersamasama untuk mengembangkan sekaligus melestarikannya,” tutur direktur PT BTU itu.
Mistiball, salah satu tanaman hutan yang sebelumnya tidak memiliki nilai ekonomis misalnya, kini mulai dilirik untuk dikembangkan. “Jenis ini mulai disukai karena bunganya indah untuk tanaman hias,” ujar Elda. Jenis lain yang lebih banyak menghiasi pekuburan umum, puring, pun sedang merangkak untuk disebarluaskan. “Jenis ini sebetulnya istimewa, selain sosoknya cantik, ia juga beragam,” paparnya.
Demikian pula jenis lain yang belakangan marak di kalangan hobiis seperti dracena dan aglaonema ikut diperbanyak. Tanaman berkhasiat obat seperti mengkudu dan pinang tak ketinggalan. “Untuk aglaonema kami sudah mempunyai jenisjenis baru yang kini sedang diperbanyak,” tutur Elda.
Untuk memperbanyak tanaman secara cepat dan massal, Elda merasa perlu membangun laboratorium kultur jaringan. Laboratorium terbesar di Asia itu dibangun setelah melakukan studi banding ke beberapa negara. Untuk menggerakkan laboratorium itu fasilitas sangat lengkap dan puluhan tenaga terdidik dan terlatih direkrut. “Salah satu kunci sukses bisnis adalah memiliki sumber daya manusia yang andal di bidangnya,” papar Elda. Selain itu pengetahuan tentang bidang usaha yang digeluti pun penting. Elda tak sungkan turun langsung melakukan proses penanaman in plant pada media kultur jaringan.
Untuk menjaga napas bisnis tanaman hias dan tanaman obat yang ditekuni, Elda benar-benar mencermati kondisi pasar dalam dan luar negeri. “Kalau mau langgeng jangan pernah coba-coba melawan pasar,” ucapnya bijak. Begitu pula dengan kemunculan pesaing. “Saat semua mulai ramai-ramai terjun di jenis yang sedang menanjak, antisipasi secara cepat dengan mempersiapkan jenis lain untuk diangkat,” katanya bersemangat. (Dian Adijaya S)