Petunjuk adanya nikel dalam tanah, alat kontrasepsi, hingga antiketombe hanya beberapa faedah buah Sarcotheca. Indonesia memiliki 8 dari 11 spesies Sarcotheca di seluruh dunia.
Bagi kebanyakan orang, nama asam kalimbawan masih asing. Ahli geologi berutang budi pada tanaman kerabat belimbing itu karena menjadi petunjuk kandungan nikel dalam tanah. Sayangnya, masyarakat masih asing dengan asam kalimbawan sehingga pemanfaatannya minim. Oleh sebab itu masyarakat belum membudidayakan tanaman itu secara maksimal. Padahal, asam kalimbawan S. diversifolia bisa bernilai ekonomi tinggi.
Keruan saja faedah buah piang—nama lain asam kalimbawan—bukan hanya itu. Buah tanaman bernama ilmiah Sarcotheca diversifolia itu juga bahan makanan dan kaya antioksidan. Kebun Raya Bogor mengoleksi asam kalimbawan dan S. macrophylla. S. macrophylla tumbuhan endemik Borneo. Ia terdistribusi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Belum ada catatan bahwa S. macrophylla dijumpai di Kalimantan Selatan.
Mirip belimbing
Indonesia memiliki 8 spesies dari total 11 spesies Sarcotheca yang ada di dunia. Salah satu marga tumbuhan anggota famili Oxalidaceae itu tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Keberadaan asam kalimbawan tersebar di Kalimantan dan Sumatera. S. diversifolia banyak ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat, terutama di Kota Sambas. Masyarakat setempat menyebutnya asam kalimbawan.
Pohon itu tumbuh di hutan sekunder dan lereng berketinggian 0—500 m dengan tanah pasir atau lempung. KRB menyimpan 2 spesimen hidup S. diversifolia, yang saat ini masih berada di pembibitan. Keduanya hasil eksplorasi buah di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Seperti kerabatnya, peneliti KRB juga membawa anakan (seedling) dari biji. Asam kalimbawan di KRB belum berbunga dan berbuah hingga kini.
Tanaman itu termasuk tumbuhan menahun atau tumbuhan keras. Ia dapat tumbuh hingga umur 20 tahun. Tinggi batang mencapai 10—15 meter. Perakarannya tunggang dengan batang berkayu. Daun tumbuhan itu berbentuk lonjong dengan ujung daun meruncing. Panjang daun 4—7 cm dan lebar 2—4 cm. Daun muda berwarna merah muda lalu beralih menjadi hijau muda seiring pertumbuhan tanaman.
Permukaan bagian atas daun halus. Bunga asam kalimbawan berwarna merah marun. Kelopak dan mahkota bunga berjumlah 5 helai. Buah S. diversifolia berbentuk bulat lonjong, panjang 2—4 cm dan diameter 2—2,5 cm. Ketika belum masak buah berwarna hijau lalu menjadi cokelat ketika masak. Permukaan kulit buah halus. Daging buahnya mirip dengan belimbing dan bercita rasa masam.
Hampir semua bagian tanaman asam kalimbawan berguna. Untuk menikmatinya, buah dapat dimakan langsung atau ditambah garam. Selain konsumsi langsung, buah dapat dibuat manisan seperti dilakukan masyarakat Kabupaten Sambas. Untuk membuat manisan, mereka menggunakan buah asam kalimbawan mentah. Manisan buah S. diversifolia itu banyak ditemukan di pasar lokal.
Buah dan daun asam kalimbawan kaya antioksidan sehingga mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Kayunya juga cocok menjadi bahan furnitur atau konstruksi. Tanaman itu terbukti multiguna. Sementara masyarakat hanya memanfaatkan tumbuhan itu sebatas ketersediaan buahnya saja. Oleh karena itu perlu dilakukan studi lebih dalam terhadap S. diversifolia. Dengan begitu pemanfaatan dan budidayanya dapat lebih dimaksimalkan lagi.
Memicu mimisan
Suku Dayak Kenyah menyebut S. macrophylla dengan sebutan pengo. Nama lokal lainnya belimbing manik, kaju kim, kerumbai merah, min, dan ramajan. Pengo tergolong tumbuhan semak, tingginya dapat mencapai 15 m dengan diameter batang 10 cm. Saat ini, tinggi pohon pengo koleksi KRB mencapai 1,5—4 meter. Daunnya berbentuk oblong sampai lanceolate. Panjang daun 16—28 cm dan lebar 6—10 cm dengan warna hijau tua.
Permukaan atas daun mengkilap, vena daun terlihat sangat jelas, dan terasa apabila diraba. Ukuran bunganya relatif kecil dengan panjang sekitar 0,5 cm dan lebar 0,6 cm. Mahkota bunga berwarna merah dan berjumlah 5 buah. Sementara benang sari berwarna kuning dengan jumlah 10 buah. Bunga yang muncul itu kemudian menjadi buah kecil berbentuk bulat.
Panjang buah 0,6—1 cm, lebar 0,5—0,8 cm dan bobotnya sekitar 0,25 gram. Buah berwarna merah marun ketika belum masak, berubah menjadi hitam ketika sudah masak dan bercita rasa masam manis. Hampir semua bagian tanaman S. macrophylla dapat dimanfaatkan. Masyarakat setempat kerap menyantap langsung. Di alam monyet, orangutan, dan mamalia lain acap memakan buahnya.
Meski demikian, terlalu banyak makan buah pengo menyebabkan mimisan sehingga konsumsinya harus dibatasi. Selain untuk konsumsi segar, buah S. macrophylla juga bisa menjadi pengganti sampo untuk mengatasi ketombe. Masyarakat lokal biasa mengambil buah, menghaluskan atau meremasnya lalu mengusapkan ke kepala. Para periset di peneliti di KRB tengah meneliti kandungan senyawa kimia pengo dan potensi sebagai sampo.
Tidak hanya buahnya yang bermanfaat, etnis Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur, memanfaatkan daun S. macrophylla untuk upacara adat. Daun pengo salah satu daun yang harus ada dalam upacara tradisional. Potensi lain, akarnya bisa menjadi alat kontrasepsi. Penelitian Haryono dan Najamudin dari Universitas Palangkaraya terhadap mencit Mus muculus menyebutkan ekstrak akar pengo mengandung zat antikesuburan.
Eksplorasi
S. macrophylla koleksi KRB adalah hasil eksplorasi tumbuhan di Katingan, Kalimantan Tengah, pada 2014. Sejak 2015 KRB, menanamnya di vak. XXIV.B. 151-151a yang terletak di vak tanaman obat. Beberapa peneliti KRB membawa anakan (seedling) asal biji dari habitat aslinya. Sebelum menanam bibit di kebun, peneliti mengaklimatisasi dan meregistrasi bibit di kebun pembibitan KRB. Cara itu adalah prosedur baku penambahan tumbuhan koleksi KRB.
Habitat asli S. macrophylla di hutan primer dan sekunder dataran rendah dengan ketinggian 0—200 m di atas permukaan laut (dpl). Ia dapat tumbuh di sekitar sungai dan hutan terbuka. Semula diperkirakan perbedaan lingkungan habitat asli dan KRB akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Nyatanya, S. macrophylla di KRB tumbuh baik, bahkan mulai berbunga pada umur 6 bulan. Sudah begitu, pohon berbuah sepanjang tahun.
Padahal, di habitat asalnya S. macrophylla jarang berbunga. Perbedaan itu kini sedang diteliti oleh peneliti KRB. Sebagai tumbuhan endemik Kalimantan, sebagian besar masyarakat belum mengenal S. macrophylla. Studi mengenai tumbuhan itu pun masih sangat terbatas. Potensi tanaman dan catatan lainnya diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat setempat.
Saat ini pengkajian terhadap S. macrophylla sedang dilakukan oleh beberapa peneliti KRB dan mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian lebih dalam terhadap S. macrophylla seperti studi fenologi, budidaya, anatomi, fisiologi, dan analisis kandungan senyawa kimianya. Dengan begitu potensi yang dimiliki dapat diungkap lebih banyak lagi. (Frisca Damayanti, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)