Kalau diperhatikan dengan seksama, di antara dominasi merah dari onggokan buah berambut agak panjang itu tersembul warna hijau kekuningan. Itulah ciri khas rambutan firba. Meski matang, ujungujung rambut tetap hijau. Mirip seperti warna-warni rambut trendi gaya nge-punk. Karena rambut yang tetap hijau para pedagang mempunyai kesempatan menjual lebih lama. “Rambutan lain dalam 2 hari bulu-bulunya menghitam, tapi firba bisa tahan sampai empat hari,” kata salah satu pedagang di Jl. Gajah Mada, Pontianak.
Sejalan dengan bertambahnya wakturambut-rambut memerah sebelum akhirnya menghitam. “Jika rambut memerah rasanya kurang enak, walau masih bisa dimakan,” kata Anton Kamaruddin, staf perbenihan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat. Makanya pekebun memanen firba saat kulit bersemburat kuning. Kala itu manisnya sudah optimal. Selain penampilan fisik sangat menarik firba manis luar biasa. “Ibarat gadis, firba cantik luar dalam,” puji Anton.
Koplak
Bentuk buah lonjong, besarnya seperti binjai, sekitar 40 g/buah. Kulitnya tipis, tampak daging putih kristal mengkilap ketika dibuka. Daging buah kering dengan ketebalan 0,5—0,7 cm. Saat digigit terasa bunyi kres, kres, kres. “Teksturnya memang renyah dan lembut. Ini sangat berbeda dengan rambutan–rambutan lain di Kalimantan Barat yang berkadar air tinggi,” ucap Abubakar, pemilik pohon sekaligus pengepul.
Kesempurnaan firba seakan lengkap dengan daging yang nglotok. Tanpa digigit daging lepas dari biji. Di antara biji dengan daging buah ada rongga udara sebagai pemisah. Mereka mengistilahkan koplak—biji berbunyi saat buah digoyanggoyang. Kekhawatiran terbawanya kulit biji saat dimakan bisa dihindari. Biji berukuran kecil, bahkan sebagian besar kisut. “Kadang-kadang pembeli menggoyang-goyangkan buah di dekat telinga untuk memastikan koplak atau tidak. Anggapan mereka yang koplak lebih enak,” tutur Abubakar.
Berdasarkan pengalaman Anton kualitas firba relatif seragam. Penampilan fisik dan rasa buah yang dipanen dari lahan gambut dan lahan biasa sama. Namun, mahasiswa pascasarjana IPB itu tak menjamin konsistensi genetik jika ditanam di luar provinsi. Alasannya, rambutan garuda yang ditanam di Pontianak ukurannya menjadi kecil dan masam. Demikian lebak bulus dan antalagi, asamnya lebih banyak bila dibandingkan dengan yang di Jawa.
Rp500/ikat
Nama firba tak bermakna apapun. Ia bukan varietas baru, melainkan sudah dikembangkan sejak 1950-an. Penyebarannya hampir di seluruh Kalimantan Barat. Mulai dari kota Pontianak hingga Paritbaru di Sungairaya—perjalanan 3 jam dari Pontianak. Sayang hingga kini belum ada yang mengebunkan intensif. Firba masih sebagai tanaman pekarangan, per rumah paling 1—2 pohon. Memang ada yang menanam 10—20 pohon di kebun-kebun tumpangsari dengan durian dan duku.
Masyarakat menyenangi rambutan bertajuk rindang itu lantaran produktif. Setiap tahun tanaman berbuah dengan produksi tinggi. Ia mulai berproduksi umur 2 tahun dari bibit cangkok. Dari pohon berumur 7—8 tahun bisa dituai 2 kuintal. Buah relatif bebas serangan hama dan penyakit, seperti kutu putih dan penggerek buah.
Sebenarnya di Bumi Khatulistiwa tak hanya ada firba. Namun, rambutan varietas lain tidak ngelotok. Varietas kalimantan misalnya, daging tipis dan kurang ngelotok. Padahal rambutan berkulit merah cerah itu sudah manis sejak muda dan juicy. Tak aneh kala panen raya tiba, ke mana mata memandang firba yang terlihat. Saat itu harganya hanya Rp500/ ikat isi 15—20 buah. Sebaliknya di musim selang harga melambung hingga Rp3.000/ ikat. (Karjono)