
Penangkar ratusan ribu bibit. Sempat menjual rumah karena kehabisan modal.
Omzet Geru Wicaksono dari berjualan bibit jeruk mencapai Rp8-miliar per tahun. Sepanjang 2014 ia mampu menjual 700.000 bibit jeruk. Harga sebuah bibit beragam jenis jeruk setinggi rata-rata 60 cm mencapai Rp12.000. Produksi itu meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 500.000 bibit. Jarak tanam jeruk pada budidaya monokultur 3,5 m x 3,5 m sehingga total populasi 800 tanaman per ha. Adapun pada penanaman tumpangsari, pekebun membudidayakan jeruk berjarak 5 m x 5 m atau total populasi 400 tanaman.
Artinya penjualan 700.000 bibit itu setara penanaman 1.750 ha per tahun. Secara tidak langsung, Geru mendorong pengembangan tanaman anggota famili Rutaceae itu di berbagai sentra. Penangkar bibit berusia 40 tahun itu melayani permintaan para pekebun dari berbagai kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Geru memasarkan beragam jenis—40% di antaranya jeruk tejakula dan 30% keprok batu 55.

Inden
Geru mencoba “membangkitkan” lagi pamor tejakula yang redup ketika serangan CVPD Citrus Vein Phloem Degeneration. Jeruk asal Bali itu bukan hanya diminati oleh pekebun di Pulau Dewata, tetapi menyebar ke berbagai sentra seperti Lamongan, Tuban, Bojonegoro—semua di Provinsi Jawa Timur serta Sulawesi Selatan. Tejakula jeruk di dataran rendah, batu 55, dataran tinggi. Selain kedua jeruk itu, Geru menyiapkan beragam jenis jeruk seperti madura dan borneo prima (dataran rendah), pulung (menengah), soe, gunung omeh, garut, gayo, gergalebong (dataran tinggi).
Itulah sebabnya Geru Wicaksono mengelola Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT) terdiri atas beragam jenis jeruk itu sebagai sumber batang atas. Pohon-pohon induk itu tumbuh dalam greenhouse untuk mencegah serangan hama dan penyakit. Geru mengelola 4 BPMT di Kota Batu terdiri atas total ribuan pohon induk. Secara berkala—3 tahun sekali Geru juga menguji kesehatan pohon induk untuk mendeteksi keberadaan organisme pengganggu tanaman.
Dengan demikian Geru mampu menghasilkan bibit berkualitas. “Pembeli bibit saya rela inden untuk memperoleh bibit,” kata Geru Wicaksono. Setelah berkeliling ke berbagai sentra, Geru menyimpulkan setiap daerah punya keyakinan, “Jeruk terbaik adalah jerukku. Orang Garut ngomong jeruk garut yang paling baik. Orang Sumatera Barat bilang gunung omeh paling baik,” kata Geru Wicaksono.
Itulah sebabnya kunci sukses berbisnis bibit adalah menghasilkan bibit berkualitas tinggi. Namun, kemudian Geru Wicaksono menawarkan jeruk lain. Misalnya semula pekebun di Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, hanya mencari siam madu. Ketika Wicaksono menawarkan kelebihan tejakula, pekebun mau membelinya. Itulah sebabnya jeruk unggulan akhirnya banyak keluar dari sentranya.

Geru Wicaksono menghasilkan bibit unggul dengan menyeleksi benih secara ketat. Ia memanfaatkan benih jeruk jepang Citrus japonica sebagai bakalan batang bawah. Wicaksono memperoleh biji jeruk itu dari pedagang di Bali dan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai gambaran dari persemaian 300 kg biji jeruk jepang, yang lolos seleksi menjadi batang bawah hanya separuhnya.
Seleksi ketat
Wicaksono memanfaatkan Citrus japonica sebagai batang bawah karena kompatibel alias cocok dengan beragam jenis jeruk—keprok maupun siam—yang menjadi batang atas. Selain kompatibilitas yang tinggi, Citrus japonica itu juga tahan penyakit terutama blendok atau diplodia akibat cendawan Botryodiplodia theobromae. Jeruk jepang juga berakar serabut yang lebat.
Sayangnya ia sulit mengontrol mutu biji hasil perburuan para pedagang. Ketika permintaan biji melonjak, pedagang acap kali menampung sembarang biji termasuk biji berasal dari buah muda. Masyarakat menanam Citrus japonica sebagai pagar pembatas lahan. Sementara buahnya terlampau masam sehingga jarang yang mengonsumsinya. Wicaksono memanfaatkan Citrus japonica berumur 6 bulan sejak di polibag atau total 10 bulan sejak dari persemaian sebagai batang bawah.
Batang bawah siap okulasi setinggi 20 cm dan batang atas seperti keprok tejakula, batu 55, soe, dan gunung omeh. Sementara batang atas cukup satu mata tempel. Menurut Wicaksono seorang pegawai berpengalaman mampu mengokulasi hingga 500—1.000 bibit per hari—8 jam kerja. Bibit-bibit itulah menjadi sumber nafkah Geru Wicaksono yang menjadi penangkar setelah perusahaan tempatnya bekerja memutuskan hubungan kerja pada 2005.

Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang itu memanfaatkan pesangon Rp80-juta sebagai modal usaha budidaya tanaman hias antara lain palem raja dan waregu. Ia membesarkan bibit dan menjual. Sayang usaha itu gagal, setahun kemudian sehingga Geru menghentikan bisnis tanaman hias. “Dari karyawan menjadi wiraswastawan butuh adaptasi. Tak gampang orang yang biasa terima gaji rutin terus berubah jadi pengusaha,” kata Geru.
Geru pun menjual rumah dan mobil, meski istri protes. Keluarga muda itu kembali ke rumah orangtuanya di Batu, Jawa Timur. Dalam kondisi tak menentu itu, Geru berpindah-pindah kerja, antara lain di sebuah rumah sakit dan valuta asing. Namun, akhirnya uang hasil penjualan rumah juga habis. Ketika itulah ia berpikir untuk menekuni pembibitan jeruk. Ia merintis pembibitan jeruk sejak setahun sebelum pemutusan hubungan kerju. Pada awal usaha, jika mengokulasi 50 bibit yang tumbuh hanya 20 bibit.
Semakin berpengalaman, tingkat keberhasilan okulasi pun tinggi hingga 100%. Jika semula ia hanya menyewa 3.000 m2, tahun berikutnya makin luas 6.000 m2. Itu indikasi bisnisnya kian tumbuh. Bila semula produksinya hanya 100.000 bibit per tahun, kini mencapai 700.000 bibit. Tahun ini ia menargetkan 1-juta bibit. Dengan bibit jeruk itulah Geru “mengembalikan” rumah, mobil, bahkan lahan hingga 1 ha. (Sardi Duryatmo)