Pantas orang nomor 1 di Kabupaten Magetan itu kepincut durian tawing. “Khas banget, beda dengan durian yang pernah saya cicip,” katanya. Rasa manis dan legit sedikit pahit. Daging buah tebal dengan biji sebagian kempes. Durio zibethinus itu pun jadi kebanggaan Kabupaten di kaki Gunung Lawu. Tak ingin kehabisan, para mania durian yang sebagian besar berasal dari Magetan sudah memesan sejak buah masih muda.
Maklum saat ini pohonnya hanya 2 batang. Keduanya terdapat di Dukuh Tawing, Desa Plumpung, Kecamatan Plaosan. Ditilik dari diameter batang yang mencapai 3,4— 3,7 m dan tinggi 30 m, diperkirakan pohon berumur lebih dari 300 tahun.
Konon, saking tuanya, kehadiran pohon anggota famili Bombaceae itu dianggap warga desa sebagai cikal bakal Dusun Tawing. Kedua pohon tumbuh berdampingan berjarak 7 m. Saking besarnya ukuran pohon, masing-masing tajuk bersentuhan.
Dua jenis
Bila diamati lebih seksama, buah dari kedua pohon itu agak berbeda. Tim Dinas Pertanian Kabupaten Magetan menyebutnya tawing hijau dan tawing kuning. Yang disukai bupati adalah tawing hijau. Cirinya warna kulit buah hijau dengan duri agak tumpul. Setiap juring rata-rata berisi 5—6 pongge. Hampir 76% pongge berbiji kempes sehingga daging buah sangat tebal. Pohon tawing hijau saat ini dimiliki oleh Mbah Niyah.
Tawing kuning tak kalah lezat, rasanya manis sedikit pahit. Warna kulit buah hijau agak kekuningan. Ia terlihat mencolok karena duri buah lancip. Daging buah tebalnya sedang karena hampir semua biji tumbuh normal. Pemiliknya saat ini sepasang suami istri, Mbah Darmi dan Mbah Sarmun. Keduanya masih famili Mbah Niyah.
Walau kedua pohon itu sudah berumur, tapi tetap produktif. Setiap tahun buah dipanen 2 kali, yaitu Maret—Mei dan November—Desember. Produktivitasnya pun tak tanggung-tanggung, 1.500—2.000 buah per tahun. Bobot rata-rata 0,75—1,4 kg per buah.
Gagal
Sebelum 2000, dinas pertanian setempat mencoba memperbanyak dengan cara okulasi, tapi gagal. Pun kerjasama dengan Tim Konservasi Flora Laboratorium Teknologi Lingkungan BPPT Pusat untuk melakukan perbanyakan kultur jaringan dan okulasi. Hasilnya, 100% kultur jaringan gagal, okulasi hanya 20%.
Sulitnya mendapatkan entres produktif penyebab utama kegagalan. Itu karena tinggi pohon 30 m dan diameter 3,4 m. Bibit hasil okulasi hanya tumbuh 40%. Tiga di antaranya ditanam di Desa Bulungagung. Diharap kelak dari 3 batang tanaman muda itu, diambil entres pengganti pohon induk.
Walau upaya pengembangan belum menunjukkan hasil memuaskan, kehadiran durian tawing di Magetan menjadi kabar baik buat dunia perbuahan Indonesia. Itu menjadi tantangan para peneliti buah dan pihak terkait agar buah berduri itu tidak hilang tertelan bumi. “Kami siap mendukung siapa saja yang berniat mengembangkan durian tawing,” kata Saleh Muljono. (Drs Iswahyudi Yulianto Msi, kepala Bagian Informasi dan Kehumasan Kabupaten Magetan)