Harga tinggi itu diperolah Anda setelah terlibat tawar-menawar alot selama beberapa pekan. Wajar harga itu disematkan pada sang burung bercorak putih bak salju. Bulu tampak putih bersih berpadu dengan bingkai mata berwarna kuning muda. Kontras dan terlihat cantik. Kicauan suaranya pun terdengar merdu. Pantas saja pembelinya rela bersabar untuk mendapatkannya.
Jalak suren itu bukan burung pertama yang dijual Anda. Sebelumnya ia sudah menjual 33 jalak suren albino. Harga bervariasi tergantung umur, minimal Rp10-juta per ekor. Semua jalak itu dicetak dari sepasang induk berwarna normal. Lelaki kelahiran Surabaya 18 Juli 1970 itu memang terkenal sebagai penangkar jalak suren dan cucakrawa. Dari 20 kandang, 1 kandang rutin menelorkan albino.
“Begitu piyik pertama menetas ternyata berwarna putih, padahal induknya normal. Sampai sekarang terus begitu,” ujar Anda. Indukan itu didapat secara tidak sengaja. Sejak dijodohkan pada 2002 hingga sekarang kandang di Solo Baru itu sudah 11 kali menetaskan telur. Semuanya langsung laku terjual. Pembeli datang dari Jakarta hingga Surabaya. Jalak suren berwarna putih memang kondang sebagai burung eksotis.
Mata merah
Sebenarnya selain jalak suren, Anda masih memiliki burung albino lain, seperti perenjak, cendet, dan cucak jawa putih. Sosok mereka tak kalah cantik dibanding jalak suren albino. Perenjak hadir lebih dulu. Klangenan milik alumnus STIE YKPN itu tampil beda. Sosoknya bak golden snitch dalam permainan quiditch dalam cerita sihir Harry Potter. Tangkas dan lincah bergerak ke semua sudut. Keelokan burung berjuluk white snitch itu kian nyata saat ia mendongak. Perpaduan dengan sepasang mata berwarna merah terang laksana batu permata ruby membuat mata enggan terpicing.
Setiap pagi sebelum beraktivitas Anda selalu menyempatkan diri menengok sang perenjak. Sebuah sangkar khusus diletakkan di lantai 2 rumahnya. Setiap kali ada orang mendekat, perenjak “bule” itu langsung ramai berkicau. Suaranya terdengar nyaring dan merdu. Yang jelas tidak mudah untuk mendapatkan dari pemilik sebelumnya. Bapak 2 anak itu harus sabar menunggu. Awal 2003 perenjak putih itu bisa diboyong pulang dengan imbalan 2 pasang jalak suren seharga Rp8-juta.
Hampir setiap orang yang melihatnya melontarkan pujian. Bahkan sudah ada yang menawar hingga Rp10-juta. Namun, suami Dewi Savitri itu bergeming. “Emaneman. Susah dapetnya, sampai sekarang pun saya belum bisa menangkarkannya,” ujarnya. Anggota famili Sylviidae ini memang terkenal sulit diternak. Di alam sudah jarang ditemui. Itulah alasan Anda merasa sayang untuk melepasnya.
Kegandrungan mengoleksi burung langka tidak berhenti sampai di sini. Selang 1 bulan setelah membeli perenjak, Anda tertarik pada cendet putih. Sosoknya pendek dan mungil, lebih gemuk daripada perenjak. Selain albino, corak pink menyeruak dari paruh dan kaki. Sepasang bola mata berwarna hitam bertengger di atas paruh pendeknya, menambah kecantikan burung itu.
Oleh Anda kedua burung albino itu digantung di lantai 2. Penat seharian bekerja langsung hilang begitu melihat kelincahan sang klangenan. Suaranya terdengar ramai memenuhi ruangan. Untuk bisa membawanya, mantan pemasar obat itu harus melepas sepasang jalak suren seharga Rp4-juta sebagai penukar.
Bisa ditangkar
Pertengahan 2004 koleksi Anda bertambah dengan kehadiran cucak jawa. Begitu seorang kenalan menawarkan kepadanya, Anda langsung tertarik. Dibanding pendahulunya harga manuk krucuan—julukan cucak jawa di Jawa Tengah—itu memang lebih murah. Meskipun begitu penampilannya tak kalah apik. Tubuhnya didominasi warna putih dengan semburat kuning di dekat kaki. Ujung sayap dan ekor bagian atas berwarna cokelat susu.
Saat ini cucak betina itu sudah mulai beranak-pinak. Di kandang setinggi 2 m ia disandingkan dengan cucak jawa cokelat muda. Perjodohan berjalan sukses. Terbukti hingga saat ini sudah 4 anakan berwarna sama yang dihasilkan. Semuanya langsung laku dengan harga Rp2-juta per pasang. Karena sudah bisa diternak, perlakuannya sedikit istimewa. Burung tidak pernah disentuh agar tidak stres. Anda pun harus puas memandangnya dari luar kandang.
Eksotis
Megananda Daryono, pemilik Mega Bird Farm juga mengoleksi 4 pasang love bird albino. Ia membelinya dari Belanda seharga Rp 10 juta per ekor. Setelah diternak, anakan pun albino. Berbeda dengan love bird umumnya, albino miliknya berbulu putih dan bermata merah. Yang mengincarnya tidak sedikit. Buktinya anakan umur 1,5 bulan laku dilepas dengan harga Rp2,5 juta per pasang.
Burung albino memang eksotis. Nilainya akan berbeda jika muncul pada murai batu, jalak suren, atau cendet. Menurut Dr drh Edi Boedi Santosa, MP dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, perenjak dan cendet albino memang langka. Kedua burung ini juga tidak gampang diternak. “Prestasi membanggakan kalau bisa menangkarkan perenjak dan cendet, apalagi jika mendapatkan albino,”ujar Edi, panggilan akrab doktor lulusan Jerman itu.
Sifat albino diturunkan dari induk betina yang memiliki gen albino. Induk albino 100% menurunkan keturunan albino. Si induk bisa saja bercorak normal, tapi beranak “bule” karena ada gen albino. Seperti jalak suren milik Anda, “Peluang untuk mendapatkan indukan seperti itu sangat kecil, 1.000:1,” kata Edi. Toh, tidak semua albino bernilai eksotis. “Kenari albino sudah tidak aneh, meski tetap unik. Sebab mereka mudah sekali diternakkan,” lanjut Edi. Nilai kelangkaan memang tergantung jenis burung. Jadi jangan heran jika perenjak dan cendet albino milik Anda Priyono berharga selangit. (Laksita Wijayanti/ Peliput: Nyuwan SB)
Lomba Terbang 900 km
Tak ubahnya Frank Martin dalam fi lm Transporter. Ia memacu kecepatan BMW agar paket yang dibawa tiba di tujuan tepat waktu. Itulah yang dilakukan Henry Yin ketika harus mengirim kardus berisi 2 merpati pos dalam waktu 4 jam. Jumat, 16 Desember 2004, batas akhir pengiriman. Escudo XLT kuning— mobil yang dipakai Henry—melaju cepat di jalan raya menuju kota Paris van Java.
Tepat pukul 11.15, Henry tiba di Barakuda Bird Farm, Taman Kopo Indah, Bandung, Jawa Barat. Seorang perawat burung menyambut kedatangan paket itu. Begitu kardus berukuran 20 cm x 30 cm dibuka tampak 2 piyik umur sebulan. Satu per satu diangkat, lalu dicek kelengkapan organ tubuh dan kesehatannya. Identitas setiap burung dicatat: nomor ring dan warna bulu. Columbidae sp itu peserta terakhir yang harus masuk ke kandang nasional.
Kandang berdinding tembok itu terbagi dalam 2 kamar, masing-masing berukuran 2,5 m x 4 m. Setiap kamar dihuni 100 merpati pos. Kandang itu dilengkapi tempat tidur terbuat dari papan kayu yang disusun secara paralel, masingmasing berukuran 20 cm x 20 cm. Setiap burung menempati 1 kamar. Pintu untuk keluar-masuk berada di depan kandang. Pakannya pun selalu tersedia sepanjang waktu di wadah terbuat dari tripleks.
Rencananya, piyik kiriman Henry Yin akan adu cepat terbang pada Juni 2005. Lomba itu bakal diikuti 200 burung dari berbagai daerah, seperti Bandung, Jakarta, Purwokerto, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Ponorogo. Bahkan, k o n t e s t a n d a r I B e n g k u l u p u n t u r u t
menyemarakkan jalannya lomba. Maklum, kontes adu terbang berskala nasional itu berhadiah total Rp30-juta. Dua merpati pos yang dibawa Henry milik Lang-lang Buana, klub penggemar merpati pos di Jakarta.
Latihan bertahap
Menurut Ridwan Heryanto kandang nasional itu menjadi inovasi baru di merpati pos. Lazimnya, burung yang dilepas di pos tertentu bakal pulang ke kandang masing-masing. Kini, merpati pos harus kembali ke kandang yang telah ditentukan, kandang nasional. “Dengan cara ini permainan semakin seru,” kata penanggung jawab kandang nasional.
Burung wajib “indekos” di kandang itu sejak Oktober 2004 hingga Juni 2005. Bak pemain bulutungkis yang akan berlomba, setiap kontestan harus mengikuti latihan. Maklum, burung yang masuk umumnya belia dan baru belajar terbang. Mereka beradaptasi terlebih dulu dengan lingkungan selama 5 bulan. “Burung harus nyaman tinggal di sana. Setiap burung punya kamar sendiri,” kata Ridwan.
Setelah melewati masa penyesuaian, latihan dilakukan pada April 2005. Latihan mental dan adu cepat menjadi menu peserta setiap minggu. Lokasi pertama dipilih Tanjungsari, Sumedang, yang berjarak 29 km dari Bandung. Setelah itu lokasi dipindah ke Nyalindung, Sumedang yang berjarak 55 km, lalu dilanjutkan ke Kadipaten, Majalengka (68 km). Latihan terakhir di Losari, Cirebon berjarak 138 km. “Meski baru latihan, mereka sudah diuji kecepatan waktu dan ketepatan lokasi,” kata salah satu personil Elang Klub, organisasi penggemar merpati pos di Bandung, Jawa Barat.
Pengalaman Ridwan semua peserta pasti kembali ke kandang. “Umur 6 bulan dianggap cukup untuk mengenali kandangnya. Biasanya mereka terbang terlalu jauh atau ketinggalan akibat hujan atau angin, sehingga menghambat kecepatan terbang burung,” tutur pemain merpati pos puluhan tahun itu.
Jaga stamina
Kondisi merpati pos harus sehat. Jadi, burung yang masuk ke kandang harus diperiksa kesehatannya. Bila terlihat sakit langsung ditolak untuk mencegah penularan keburung lain. “Burung wajib divaksin terlebih dahulu,” kata pemasok bahan kimia itu.
Selama masa penggemblengan, kesehatan burung diperhatikan setiap hari. Peran perawat berpengalaman sangat diperlukan untuk mengkontrol kondisi setiap burung. “Kalau terlihat gejala sakit segera dipindah ke kandang karantina,” katanya.
Menurut Ridwan masa rawan penyakit pada Desember—Januari. Pada musim penghujan biasanya muncul penyakit, seperti berak darah, patek, dan kutil. Ghoham alias tenggorokan putih dan berak hijau pun kadang mengintai burung. Penyakit itu masih bisa disembuhkan dan tidak mengganggu kondisi burung. Dengan perawatan intensif, burung masih layak ikut kontes. Tapi, kalau terserang ND atau berak darah, burung harus diganti,” tuturnya.
Stamina burung harus terjaga dengan baik. Pakan bernutrisi lengkap diberikan sebagai menu sehari-hari. Ridwan meramu pakan, antara lain jagung 50%, beras merah 25%, gabah 10%, kacang tanah 7,5%, dan kacang hijau 7,5%. Pemberian minuman sarat multivitamin juga ditambahkan untuk menunjang burung tetap fi t.
Siap tanding
Setelah digembleng selama 1,5—2 bulan, merpati pos pun siap bertanding. Kelak, pada lomba yang digelar pada Juni 2005, mereka harus melewati 3 pos, Semarang, Lasem, dan Surabaya. Rencananya, sprinter itu dilepas pada pagi, pukul 07.00 di setiap pos. Dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam—120 km/jam, setiap kontestan diperkirakan tiba 3—4 jam kemudian di kandang.
Setiap burung yang “mendarat” pertama segera diambil. Cincin hijau yang ada di kaki dicopot satu per satu, lalu dimasukkan ke lubang jam burung Benzing yang khusus diimpor dari Belgia. Begitu cincin karet dimasukkan ke lubang, maka secara otomatis pada cincin tertera waktu, jam, menit, dan detik. Jadi, waktu kedatangan burung sama sekali tidak bisa direkayasa.
Repotnya bila burung yang datang lebih dari seekor. Untuk itu penentuan sang pemenang diserahkan pada seorang juri profesional yang ditunjuk Persatuan Olahraga Merpati Pos Seluruh Indonesia (POMSI). “Permainan ini semakin seru dan lebih menegangkan. Apalagi, semua hobiis kumpul di sini (Bandung, red),” ujar Ridwan.
Maklum, pertandingan merpati pos termasuk hobi mahal dan bergengsi. Untuk ikut bermain, hobiis harus rela merogoh kocek Rp250.000/burung. Biaya itu sudah termasuk ongkos perawatan, latihan, dan pelepasan di 3 pos. Namun, pengorbanan itu sebanding dengan kepuasaan dan kebanggaan bila jagoan menang. Hadiah puluhan juta rupiah masuk ke kantong. Harga burung pun terdongkrak bila menang. (Nyuwan SB)