Tin lebih tahan penyakit dan kehujanan setelah disambung dengan lo.

Pohon tin sangat rentan penyakit. Pada musim hujan, tin Ficus carica rawan terserang busuk akar dan pada kemarau rawan kekeringan. Karena kondisi itu pehobi tanaman buah di Kota Depok, Jawa Barat, Adi Wirawan, menyambung tin dan pohon lo alias loa. Keduanya masih saudara dekat, sama-sama anggota famili Moraceae bergenus Ficus. Pohon lo Ficus glomerata banyak tumbuh liar di pinggir sungai dekat rumahnya.
Pertumbuhan loa sangat bandel. Terutama pada musim hujan akarnya tahan terendam air. Akar dan batang lo pun tidak mudah terserang penyakit busuk akar. Ia membuktikan sendiri, memotong cabang lalu menancapkan ke tanah tanpa perlakuan khusus, lo tetap tumbuh. Bahkan setek yang telah sobek kulitnya pun bisa tumbuh.
Enam pekan
Karena bandel, banyak pebonsai memanfaatkan lo sebagai bahan bonsai. Menurut ahli bonsai di Jakarta, Ujang, lo berbatang keras dan pertumbuhan bandel sehingga cocok sebagai bahan bonsai yang hanya butuh wadah dan media minim. Tapi ada kelemahannya yaitu tidak tahan kekeringan. Wawan, sapaan Adi Wirawan memanfaatkan tumbuhan itu dengan menempelkan tin pada batang dan cabang lo. Ia menempel mata tunas tin pada 2 batang bawah loa asal setek.

Wawan memanfaatkan batang bawah berumur 2 bulan. Ia membuang kayu entres tin yang akan ditempel sehingga hanya tersisa kulit bermata tunas. Kolektor tin itu kemudian menempel entres ke batang loa, lalu membalut dengan plastik. Setelah 6 pekan, sambungan menyatu. Ia pun membuka plastik lilitan. Waktu itu lebih lama dibandingkan dengan menyambung sesama tin yang hanya perlu waktu 3 pekan.
Padahal, pada uji coba pertama ia gagal. Ketika itu tanaman gagal menyatu dan mati. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nasional Jakarta itu menduga, terlalu cepat menempel. Batang bawah belum tumbuh sempurna karena akar masih terbatas sehingga tanaman pun mati. Selain itu, cara penempelan pun kurang tepat. Hingga awal Agustus 2016, Wawan berulang-ulang sukses menyambung tin dan loa.

Sukses dengan teknik okulasi, Wawan mencoba dengan teknik sisip, sambung atau grafting. Semua teknik itu berhasil menyambungkan tin pada loa. Untuk teknik sambung (grafting), setelah entes menyatu, ia membuka plastik sungkup. Sebulan kemudian lilitan dibuka. Masalah dalam perbanyakan okulasi dan juga grafting adalah pertumbuhan loa lebih cepat daripada tin sehingga mendominasi.
Untuk menghambat pertumbuhannya, Wawan selalu membuang semua tunas liar yang muncul sehingga tin lebih optimal memanfaatkan nutrisi. Pada penyambungan berikutnya, ia menempelkan entres tin pada mata tunas lo yang ketiga dari bawah sehingga hanya sedikit tunas yang dibuang. Cabang lo di atas tempelan harus segera dipangkas agar aliran nutrisi fokus pada tin.
Tumbuh dominan
Bila menerapkan teknik sambung atau grafting, maka mulailah menyambung dari cabang paling bawah. Kemudian beralih ke cabang di atasnya dan seterusnya. Ukuran cabang ideal lo berdiameter 1 cm atau lebih. “Setelah kedua ficus bersambung, asupan nutrisi ke tin lancar. Sebab, akar dari loa kan besar,” kata pria kelahiran Surabaya 50 tahun silam itu. Bila teknik penyambungan tepat, tingkat keberhasilan sambung mencapai 90—100%.

Menurut ahli buah di Kota Bogor, Jawa Barat, Dr Mohamad Reza Tirtawinata, tanaman dari satu genus, yakni tin dan lo relatif mudah bisa disambung. Namun, perlu melihat kompatibilitas atau kecocokan antara kedua tanaman. Biasanya ada yang pertumbuhannya lebih kuat sehingga mengalahkan tanaman yang lain. Bila lo lebih dominan, maka tin yang ditempelkan tidak berkembang. Kendala lain yang bisa mengganggu ialah adanya getah sehingga idealnya menyambung pada sore hari saat getah sedikit. Pemasangan entres pun harus tepat di mata tunas batang bawah.
Untuk mengatasi problem itu, maka setiap lo mengeluarkan tunas baru, harus segera dipotes sehingga tidak sempat membesar. Meski pohon tin tumbuh di tempat terbuka tanpa naungan, Wawan tidak khawatir tin mengalami busuk batang. Apalagi ia menggunakan media yang cukup porous berupa sekam mentah, tanah, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1 yang telah disterilkan. (Syah Angkasa)