Saat hari masih dini kehadiran air bekas mandi, mencuci pakaian, dan memasak itu tak jadi masalah. Namun, cobalah lewat ke dekat selokan itu di siang hari. Uh! Bau busuk langsung tercium.
Air limbah rumah tangga nonkakus kerap menjadi masalah di areal pemukiman. Maklum grey water—begitu istilah untuk limbah asal kamar mandi, dapur yang mengandung sisa makanan, dan tempat cuci—dibuang langsung ke selokan tanpa diolah sedikit pun. Akibatnya ketika mengalami proses dekomposisi oleh bakteri pengurai, bau busuk tidak dapat dihindari. Udara pun menjadi tak segar, terlebih pada musim kemarau.
Negara-negara di Eropa memanfaatkan tanaman air untuk membersihkan polusi air. Itu lantaran akarnya mampu menyerap zat pencemar dalam air seperti nitrogen (N) dan fosfor (P). Kehadiran kedua zat itu menyebabkan bau.
Tanaman yang lazim dipakai antara lain tifa Typha angustifolia. Berdasarkan fakta itu maka dilakukan ujicoba memanfaatkan beragam tanaman air untuk mengatasi polusi akibat kehadiran grey water di lingkungan perumahan.
Kantong kassa
Ujicoba dilakukan di lingkungan Perumahan Bumi Asri Padasuka, Bandung, pada 2004. Semula ada 11 tanaman air yang dimanfaatkan. Namun, hanya 6 jenis yang beradaptasi baik dengan kondisi grey water. Mereka adalah tifa, jeringau alias irish-irishan, Pontederia cordata berbunga ungu, lidi air Hippochaetes lymenalis alias futoy ruas, melati air Enchinodorus paleafolis, dan lili air Sagitaria japonica.
Sebagai persiapan, parit sepanjang 5 m, lebar 20 cm, dan kedalaman 30 cm dibersihkan dari sampah-sampah seperti plastik dan ranting. Lalu siapkan kantong kasa nilon dengan panjang 60 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm. Kantong itu berfungsi sebagai wadah tanaman air. Satu wadah dapat diisi sekitar 5 tanaman. Tanaman beserta media tanam dipindahkan dari polibag atau pot ke dalam kantong kassa. Untuk mengisi parit sepanjang 5 m dibutuhkan 8 kantong kassa.
Bila tetap ditanam di dalam polibag, pertumbuhan akar tanaman terhambat. Lagipula sulit terjadi interaksi antara akar tanaman dengan air limbah. Akibatnya tujuan untuk memanfaatkan kekuatan akar tanaman dalam menyerap zat pencemar tidak tercapai.
Setelah diisi tanaman, kantong kassa diletakkan di dalam selokan. Caranya dengan memaku atau mengikat sisi-sisi luar kantong ke bibir selokan. Posisi kantong menggantung tepat di tengah-tengah kedalaman selokan. Kantong tidak dibuat sedalam selokan agar air limbah tetap dapat mengalir lancar.
Turun
Dua bulan kemudian, tanaman tumbuh subur dengan akar menutupi kantong kassa. Berbarengan dengan itu dilakukan pengukuran kadar zat pencemar. Parameter yang diukur adalah nilai Biological Oxygen Demand (BOD), jumlah detergen, Suspended Solids (SS), dan bau.
Nilai BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan zat-zat organik dalam air. Semakin rendah nilai BOD berarti semakin turun kadar pencemaran. SS menunjukkan banyaknya zat organik dan anorganik tersuspensi yang melayang, terapung, maupun mengendap dalam air. Padatan tidak terlarut itu menyebabkan air keruh. Semakin minim jumlah zat tersuspensi dalam air semakin baik. Sementara indikator bau dilihat dari kadar amonia dalam air. Limbah domestik dikatakan berbau bila kadar amonia minimal 6 mg/l.
Hasilnya, nilai BOD berubah dari 30 mg/l pada air limbah sebelum melewati deretan tanaman menjadi 20 mg/l melalui akar tanaman. Berarti terjadi penurunan sebesar 33%. Banyaknya detergen melorot dari 0,087 mg/l menjadi 0,075 mg/l (14%). Nilai SS turun dari 50 mg/l ke 30 mg/l (40%), sehingga jumlah oksigen terlarut bertambah. Sementara kadar amonia turun dari 10,5 mg/l menjadi 5,3%.
Itu berarti bahan pencemar dalam limbah rumah tangga turun. Secara kasat mata air telihat lebih jernih dan bau menusuk berkurang. Semakin lama perlakuan—tanaman tumbuh dewasa dan beradaptasi di lingkungan air limbah—efi siensi penyerapan zat pencemar semakin tinggi. (Ir Ratna Hidayat, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum)