Trubus.id–Seiring berjalannya waktu berbagai komoditas satwa pamornya kian mentereng. Budi daya burung walet misalnya. Majalah Trubus edisi Februari 2003 menopikkan budi daya walet kali pertama.
Bahkan Majalah Trubus membuat satu artikel khusus walet di rubrik Satwa pada setiap edisi. Berbagai inovasi dan teknologi serta tren budi daya walet tersaji pada artikel seri walet itu.
Hingga kini budi daya walet terus berkembang dan menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat. Walet bukan komoditas satu-satunya yang trennya makin berkembang.
Beberapa komoditas yang pamornya makin mentereng setelah dimuat Trubus yakni ikan louhan dan ayam serama. Siapa yang tak kenal ikan louhan dengan tonjolan besar di kepala dan motif unik di tubuh?
Saat itu pada 2003 banyak orang dari berbagai kalangan memelihara ikan asal Malaysia itu. Banyak kontes digelar dan ada louhan yang berharga mencapai ratusan juta rupiah. Kini tren louhan masih terjaga. Kontes juga masih rutin dilakukan setiap bulan.
Majalah Trubus menopikkan tren louhan beberapa kali. Ikan hias lain yang memiliki tren baik yakni arwana.
Informasi seputar arwana Indonesia yang menguasai pasar global tersaji pada Majalah Trubus edisi Oktober 2002. Tren ayam serama pun menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.
Ayam mungil itu sebelumnya sohor di Malaysia lalu berlanjut di tanah air. Selain louhan dan serama, tren lobster air tawar pun cukup ramai.
Majalah Trubus menopikkan lobster air tawar pada edisi April 2003 dan Februari 2006. Pembudidaya yang belum banyak dan permintaan yang tinggi mendorong munculnya tren budi daya lobster air tawar saat itu.
Majalah Trubus juga menuliskan inovasi perikanan yang terjadi di tengah masyarakat seperti budi daya udang vannamei air tawar. Inovasi budidaya vannamei yang semula di air asin kini beralih ke air tawar. Berikut 24 satwa yang pernah menjadi tren dan tetap eksis.
- Februari 2001: Susi Susanti seperti tambang emas yang terus mengalirkan gemerincing rupiah kepada H. Mochamad Huzaini. Demikian pula Darusalam yang menggelembungkan pundi-pundi Kie Hui dan Ronny. Antrean panjang para penangkar menanti jatah keturunan kedua burung itu. Harganya tak tanggung-tanggung, Rp25 juta harus disetor penginden jika pasangan perkutut itu bertelur. Tren perkutut mewabah saat itu. penangkar tetap konsentrasi di pasar lokal.
- Mei 2001: Membudidayakan koi menjadi salah satu sumber pendapatan andalan masyarakat. Contoh Sisharbudi yang meninggalkan profesi guru SMU yang sudah ditekuninya selama 17 tahun. Keputusan itu diambil setelah menghitung cermat keuntungan yang ia peroleh Rp35·juta/ha/3 bulan. Jumlah fantastis yang tak mungkin diperoleh seorang guru.
- Oktober 2001: Budi daya gurami menguntungkan. Hanya perlu menebar pakan pagi dan sore sudah bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp22,5 juta. Itu pengalaman Oyib yang memanen 3 ton gurami berbobot 0,5 kg/ekor dari kolam seluas 1.250 m2. Ia tak merasa susah payah untuk mencari tabungan sebesar itu.
- Februari 2002: Ikan lou han kini mewabah di Indonesia, hingga seorang hobiis berani membeli seekor lou han Rp160 juta. Berdasarkan lacakan Trubus lou han itulah yang memegang rekor termahal di tanah air. Siklid berjidat super besar itu lebih dahulu sohor di Malasysia.
- Juli 2002: Tren lou han terus berlangsung di tanah air. Dari ruang tamu sempit 3 m x 4 m Ten Kim Kiang meraup pendapatan Rp224 juta per pekan. Itu hasil penjualan 1.000 lou han ukuran 2—3 inci hasil pembesarannya. Harganya bervariasi mulai Rp400.000—Rp2 juta per ekor.
- Oktober 2002: Penangkar dan eksportir di Pontianak, Kalimantan Barat, PD Bintang Kalbar., rutin mengekspor minimal 400 super red ukuran 12—15 cm ke Jepang. Dengan harga ratarata US$400— US$500 per ekor, omzet penjualan perusahaan mencapai Rp1,4 miliar per tahun. Padahal Singapura dan Hongkong juga minta pasokan.
- Desember 2002: Johny Moentoro senang bukan kepalang. Lou han kamla yang menjadi peserta kontes di Plaza Glodok, Jakarta Barat, menjadi kampiun di kelas 24 cm ke atas. Kegembiraan Johny kian menjulang karena seorang pehobi membeli ikan jawara seharga Rp100 juta. Ia pun meraup laba bersih Rp20 juta dua hari setelah membeli ikan pemenang itu.
- Februari 2003: Semula masyarakat memanen sarang burung walet liar di gua-gua atau tempat lainnya. Ternyata walet bias diternakkan. Sarang walet hasil budi daya pun terserap pasar dalam dan luar negeri.
- April 2003: Delapan belas akuarium masingmasing berukuran 80 cm x 50 cm x 40 cm menghiasi sebuah rumah di Ciledug, Kota Tangerang. Pemiliknya, Ir. Triwi Santoso, M.M., menaburkan pelet sebelum ke kantor. Setiap bulan ia menangguk Rp2 juta dari penjualan lobster air tawar itu.
- Agustus 2003: “Pasar maskoki kelewat bagus,” kata Jap Khiat Bun. Setiap bulan eksportir kawakan di Cibinong, Bogor, itu mengirim 20.000 maskoki antara lain ke Prancis, Belanda, Italia, Australia, dan negaranegara di Timur Tengah. Jumlah itu hanya 20% dari total permintaan yang mencapai 100.000 ekor per bulan. Harap mafhum, mencari maskoki bermutu terlampau sulit.
- September 2003: Bandara Baiyun dan Don Muang kian sering disinggahi importir ikan hias. Selama 6 bulan terakhir mereka mondar-mandir ke Guangzhou, Tiongkok, dan Thailand untuk berburu ranchu. Sang ratu maskoki itu kini lagi naik daun. Rancu thailand dan cina berebut pasar di Indonesia. Ratusn juta rupiah terkuras untuk membeli ranchu unggul.
- Agustus 2004: Gairah memelihara serama berkualitas prima makin menyala di Indonesia. Para penangkar pun antusias mendatangkan serama dari negeri asalnya, Malaysia. Hal itu tak lepas dari permintaan pasar yang begitu besar.
- September 2004: Budi Hartanto sejak 3 tahun silam menangkarkan 17 pasang murai batu yang di alam hampir punah. Pendapatan tambahan minimal Rp21 juta hasil penjualan piyik-piyik burung berkicau itu diraup Abun—begitu sapaannya—setiap bulan. Pamor burung berkicau tengah menguat saat itu.
- Februari 2006: Penelusuran Trubus selama 6 bulan terakhir menunjukkan, kekhawatiran bisnis lobster air tawar hanya berputar di kalangan peternak saja tidak terbukti. Restoran dan hotel papan atas di Bali, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, kini meliriknya sebagai menu spesial. Terutama untuk acara-acara khusus seperti peluncuran produk tertentu atau perayaan Tahun Baru.
- April 2009: Tiga tahun berselang usai purnakarya sebagai tenaga medis di Kalimantan Timur, Marliana Marzuki ,membangun kolam lele di atas lahan tak terurus. Ia menebar 12.000 bibit lele paiton di penghujung Desember 2008. Berjarak 2 bulan, akhir Februari 2009, Ia memanen 4,5 kuintal lele senilai Rp4,5juta.
- Mei 2009: Setiap Ahad sejak 2006 Warsim memiliki aktivitas baru di luar kesibukan menjaga kios telepon selulernya di Pasar Jatitujuh, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia rajin menyambangi los ikan di pasar Itu, bercakap-cakap dengan satusatunya penjaja belut di sana. Hasilnya, pada Februari 2009, Warsim memanen 75 kg belut senilai Rp1 juta dari lolam seluas 10 m2.
- Desember 2014: Lele baru: cepat panen, ukuran seragam, irit pakan, tahan penyakit, dan adaptif di berbagai jenis kolam. Pembudidaya dapat memanen lele 50 hari setelah menebar benih ukuran 7—8 cm.
- Mei 2015: Para pembudidaya sidat baru bermunculan karena tergiur permintaan dan keuntungan tinggi.
- September 2015: Kolam 1 m3 mampu menghasilkan 250 kg lele, lazimnya hanya 31 kg. Panen lele kini meningkat 700%.
- Juni 2016: Kabar gembira! Beberapa orang sukses membudidayakan gabus dan pasarnya pun bagus. dan pasarnya pun bagus.
- Agustus 2018: Potensi magot sebagai sumber protein alternatif pakan ternak. Peternak menghemat biaya hingga jutaan rupiah. Permintaan magot sangat besar sehingga membuka peluang bisnis
- Maret 2019: Inovasi budidaya udang vannamei yang semula di air asin kini beralih ke air tawar. Peluang menghasilkan vannamei untuk memasok tingginya permintaan pasar.
- Mei 2019: Para pembudidaya memelihara ikan dewa yang harganya fantastis, hingga Rp1 juta per kg. Mereka menyiasati masa budidaya yang lama dengan segmentasi. Pasar ekspor pun terbuka.
- September 2019: Muncul itik pedaging yang genjah dan disukai pasar. Para peternak pun bermunculan. Apalagi pasar itik pedaging juga kian berkembang.