Pengalaman pekebun membuktikan, produksi tanaman mencapai 7—8 ton jagung kering pipil per ha—setara jagung hibrida. Kualitasnya sebagai pipilan pun lebih bagus daripada hibrida lantaran warnanya yang kuning kemerahan.
Pada Pameran Pekan Nasional XI KTNA di Tondano, Minahasa, jagung yang dipajang di depan stan Provinsi Gorontalo itu menyedot perhatian pengunjung. Maklum, warna bulir sangat mencolok—kuning merah tua dan mengkilap, enak dipandang. Sosok tongkol pun tak kalah dibanding jagung hibrida. Meski panjang hanya mencapai 15 cm, tongkol bernas dan berukuran seragam.
Menurut Joppy Herbert Tasik, pekebun di Desa Mananggu, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, umur panen lamuru FM relatif cepat. Hanya 95 hari setelah tanam. Padahal, jagung hibrida saja umur panen mencapai 105—110 hari. Karena alasan itulah ia memilih lamuru dalam 3 musim tanam terakhir. Malah tak tanggung-tanggung. Dalam musim tanam kali ini sekitar 100 kg benih ditebarnya di lahan seluas 6 ha.
Diminati pekebun
Gelar “FM” di belakang nama jagung itu sengaja disematkan sebagai penghargaan untuk Fadel Muhammad, orang nomor 1 di daerah bekas wilayah Provinsi Sulawesi Utara itu. Maklum, kehadiran jagung temuan Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain (Balitjas) Maros, itu di Gorontalo tak lepas dari campur tangan sang gubernur.
Menurut Dr Ir Djamaluddin MS, kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, lamuru baru direkomendasikan penanamannya oleh Fadel Muhammad pada 2 tahun lalu. Karena hasilnya memuaskan, ia pun diminati pekebun. Kini penanaman meluas ke semua sentra penanaman. Mulai dari Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, hingga Bone Bolango.
Perkiraan Djamaluddin luas penanaman lamuru saat ini mencapai 15.000—20.000 ha. Atau hampir separuh dari luas lahan jagung di Gorontalo yang mencapai 40.000 ha. Maklum, ia kini mulai menjadi idola pekebun di kawasan agropolitan jagung itu. “Popularitas jagung hibrida pun mulai tergeser oleh kehadiran lamuru,” tutur doktor keluaran IPB Bogor itu.
Menurut Djamaluddin, lamuru amat pas untuk mendukung target produksi 1-juta ton/tahun yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Gorontalo. “Untuk tahun ini lamuru diperkirakan dapat tertanam di lahan seluas 60.000—70.000 ha,” katanya. Apalagi daerah kering seperti Gorontalo memang sangat cocok untuk pengembangan lamuru.
Rendah ongkos
Sebagai jagung komposit, lamuru memang tak menuntut banyak perhatian dalam budidaya. “Pemupukannya tak perlu sebanyak hibrida,” papar Joppy. Tak heran jika banyak pekebun tertarik.
Selain mudah dibudidayakan, harga benih juga murah, hanya Rp10.000/kg. Bandingkan dengan benih hibrida yang di atas Rp30.000/kg. Padahal, kebutuhan bibit sama, 15—20 kg per ha.
Rendahnya harga benih lamuru, menurut Djamaluddin, lantaran kebutuhan benih tidak bergantung pada perusahaan benih. Sebab, sebagai jagung komposit, hasil panen pekebun dapat dipakai sebagai bibit.
Dari hitung-hitungan Joppy, lamuru memberikan keuntungan finansial lebih tinggi dibanding hibrida. “Sebab, biaya usahatani lamuru tak lebih dari Rp700.000/ha. Itu sudah termasuk biaya benih, pupuk, dan ongkos kerja. Berbeda dengan hibrida yang mencapai biaya produksi Rp1,5-juta per ha. Padahal, pendapatan hasil panen keduanya sama, berkisar Rp7-juta—8-juta per ha. Karena itu, “Buat apa tanam benih hibrida kalau ada komposit yang produksinya sama,” tuturnya. (Fendy R Paimin)