Pewaris warna merah adalah induk jantan Aglaonema rotundum. Greg—demikian sapaan Gregori Garnadi Hambali—memperolehnya dari Aryono, eksportir tanaman hias di Jakarta. Rotundum yang asli Sumatera bagian utara seperti Bukitlawang dan Aceh berdaun hijau tua. Warna merah darah hanya di permukaan bawah daun. Spesies yang sama sebetulnya ada di tangan penangkar Thailand sejak 1980. Nurseri Aditya—milik Aryono—rutin mengirimkan Aglaonema rotundum ke Bangkok.
Tak lama berselang Gregori juga mendapat 2 Aglaonema commutatum setinggi 20 cm dari Fajar Martha. Fajar pada 1982 dikenal sebagai penyilang lili. Ia membeli beberapa biji A commutatum dari Dowseeds di Singapura. Produsen benih itu mengumpulkan biji sri rejeki dari Mindanao dan Luzon—keduanya di Filipina. Aglaonema commutatum sebetulnya juga terdapat di Palu dan Gorontalo.
S a y a n g , tangkai terlampau p a n j a n g d a n c o r a k d a u n samar-samar menghilang. Merah muda yang semula menghiasi tangkai memudar. Kemolekan Aglaonema commutatum milik kita terkikis. Sudah begitu anakannya berkurang. Ini bukan fitnah! Jeleknya performa itu akibat pergaulan bebas dengan Aglaonema simplex yang berdaun putih polos dan enggan beranak. Lalat menjadi mak comblang perkawinan mereka. Padahal bunga aglaonema harum karena mengandung amilasetat.
Saudara sepupu
Nasib Aglaonema commutatum di Filipina lebih baik karena populasi A simplex tak begitu dominan. Mereka masih mampu menjaga diri untuk tidak terlampau intim. Setelah kedua indukan di tangan, ahli Botani itu menjodohkan. “Kalau disilang mestinya hasilnya bagus,” kata pria kelahiran Sukabumi 19 Februari 1949 sebelum melakukan persilangan. Greg terdorong untuk menyilangkan lantaran tanaman hias itu disenangi orang karena tahan banting.
Di ruangan berpendingin, cahaya redup, dan kelembapan rendah ia masih bertahan. Ketimbang dieffenbachia, misalnya, yang sama-sama anggota famili Araceae, aglaonema lebih unggul. Getah dieffenbachia gatal dan anakannya tak sebanyak aglaonema. Selain itu dieffenbachia bukan asli Indonesia, tetapi Amerika Selatan. Padahal untuk persilangan, dibutuhkan indukan dalam jumlah banyak.
Pada penghujung 1982 mulailah Gregori menyilangkan Aglaonema rotundum dan Aglaonema commutatum. Inilah pengalaman pertamanya dalam menyilang aglaonema. Greg sebelumnya lebih intens menjadi penghulu caladium dan alocasia yang masih sekerabat dengan aglaonema. Hasil silangan itu kemudian disilang balik dengan 2 induk berbeda. Pertama, kembali dijodohkan dengan sang ayah, Aglaonema rotundum dan menghasilkan tanaman berdaun merah menyala. Dialah pride of sumatera yang langsung mencuat.
Lalu, Greg juga mendaulat Aglaonema brevispathum untuk menjadi induk jantan. Persilangan ini menghasilkan donna carmen yang tak kalah sohor. Jadi, boleh dibilang antara pride of sumatera dan donna carmen masih sepupuan. Donna carmen lalu dititipkan pada nurseri Roby & Kerst di Bogor pada 1988. Harga per pot Rp2-juta. Sedangkan pride of sumatera dibeli PT Fitotek Unggul Rp3-juta per pot. “Saya tak pegang satu tanaman pun. Kalau pegang, saya panen uanglah,” ujar ayah 2 anak itu.
Siasat itu kemudian disadari Greg sebagai kekeliruan. Oleh karena itu selanjutnya ia memasarkan sendiri hasil silangannya. Misalnya dengan mengirimkan ke Tyford Inc di Florida, Amerika Serikat. Setelah evaluasi dan diterima, hasil silangannya diperbanyak untuk dipasarkan. Dari hasil penjualan itu Greg mendapat royalti.
Kerst, pemilik nurseri Roby & Kerst, yang dititipi aglaonema menghitung jumlah daun setiap tanaman. Lalu harga beli dibagi dengan jumlah daun sehingga diperoleh harga rata-rata per helai daun yang saat itu mencapai Rp300.000. Ketika itulah aglaonema dihargai per lembar daun. Hingga saat ini satu-satunya tanaman yang dijajakan dengan menghitung daun, ya aglaonema.
Dicuri
Lahirnya pride of sumatera memacu Thailand untuk menghasilkan produk serupa. Beberapa penangkar Thailand memburu pride of sumatera di Jakarta. Sedangkan Tati Soerojo, kolektor tanaman hias di Cilandak, Jakarta Selatan, mengekspor hasil silangan itu. Sitiporn, penangkar di Bangkok, sebetulnya menghasilkan balangthong yang juga keturunan Aglaonema rotundum. Hanya saja warna merah singgasana emas— maknanya dalam bahasa Thailand—di bawah permukaan daun.
Setelah era pride of sumatera, Thailand dan Indonesia berlomba-lomba menelurkan aglaonema merah. Indonesia beruntung memiliki orang seperti Greg Hambali. Dari tangan dinginnya lahir beragam aglao merah seperti tiara, juwita, scarlet, dan lipstik. Thailand tak mau kalah dengan meluncurkan lomphetch, greenfi re, dan bangkok red. Semua itu dipicu oleh pride of sumatera.
Memang sulit menyimpan kekaguman setiap kali mengamati sosok pride of sumatera yang merah menyala. Mungkin julukan chinese evergreen tak lagi relevan sejak mereka lahir. Warnanya merah, bukan lagi hijau. Kecantikannya memancar di setiap lembar daun. Berkat sosoknya yang molek berkali-kali mereka menyabet jawara. Contoh pride of sumatera yang merebut kampiun kedua di kontes tanaman hias di Vijhuizen, Haarlemmermeer, Belanda. Ia menyisihkan 400 peserta lain.
A p a l a g I ditunjang dengan harga wah, jadilah mereka incaran si tangan panjang. Bonggol donna carmen ternyata dipotong oleh orang dalam untuk perbanyakan. “Satu dua ruas sudah cukup untuk perbanyakan,” ujar Greg. Seorang tamu yang datang ke nurseri Roby & Kerst melapor ke Greg. “Aneh, daunnya melemah dan jatuh,” katanya. Kerst juga akhirnya menemui pria yang gemar mengenakan batik itu. Katanya, “Tanamannya ngga begitu kuat.” Ternyata pemotongan bonggol secara ilegal itu berlangsung berulang-ulang.
Ke Australia
Hal yang sama juga dialami PT Fitotek Unggul. Di kantor perusahaan yang berlokasi di Ciganjur, Jakarta Selatan, 30 pot amblas dibawa maling. Celakanya saat itu Indonesia belum mempunyai peraturan untuk menjerat pencuri varietas. “Polisi juga tak mau tahu kalau itu barang mahal,” ujar Elda D Adiningrat yang saat itu bekerja di Fitotek. Peristiwa itulah yang meruntuhkan hasrat Elda memperbanyak dengan teknologi kultur jaringan.
Betapa tidak, bertahun-tahun ia bereksperimen meramu media kultur. Belum juga formulasi ditemukan, komoditas yang akan diperbanyak secara massal dalam waktu singkat malah raib. Padahal, alumnus Biologi Institut Teknologi Bandung itu membutuhkan ratusan individu. Apa boleh buat impian mulia sulung 3 bersaudara itu kandas. Sejak pertama melihat sosok pride of sumatera saat ekshibisi di Cibubur pada 1988 ia memang ingin agar banyak orang yang menikmati keindahannya.
Langkah pertama setelah membeli varietas baru, ibu 3 anak itu mendaftarkan ke Plant Variety Right di Queensland, Australia. Ketika itu ia mesti menyerahkan US$4.000. Maklum, Indonesia baru memiliki UU Perlindungan Varietas Tanaman pada 2003. Bersamaan dengan itu permintaan dari penangkar di Australia juga membanjir, 10.000–20.000 tanaman.
Alih-alih memenuhi permintaan itu, Elda malah dirubung masalah teknis. Akhirnya percobaan perbanyakan itu berhenti pada 1995. Walau begitu impian lama itu kembali bersemi saat tren aglaonema menjulang tahun silam. “Saya merasa harus menjadi agen pemerataan,” kata pehobi memasak itu. Bentuk dari keinginannya itu adalah kembali menekuni teknologi kultur jaringan. Di bawah bendera PT Teknokultura, penghujung tahun ini bakal lahir aglaonema lewat “rahim” kultur jaringan. (Sardi Duryatmo)