Keesokan hari, keletihan dan kepenatan Yani—demikian ia disapa—sirna berganti keceriaan dan kebahagiaan. Pengorbanan semalam suntuk berbuah untung lantaran keripik jamur diborong tamu. “Setiap bulan ada kunjungan. Mereka senang makan keripik jamur sampai ada yang tidak kebagian,” kata Yani sembari tersenyum. Hanya mengandalkan kunjungan tiap bulan saja, ia mampu meraup omzet Rp5- juta—Rp10-juta dengan menjual keripik Rp50.000/kg.
Tak heran bila rutinitas kelahiran Bandung 38 tahun silam itu meningkat sejak 5 tahun lalu. Ia tertarik lantaran peluang bisnis olahan jamur menjanjikan. Menurut Yani modal per kilogram keripik berkisar Rp35.000—Rp40.000 untuk mengolah 4 kg jamur segar menjadi 1 kg keripik. Setelah dikurangi biaya jamur, tenaga kerja, dan bumbu, ia meraup untung bersih Rp10.000—Rp15.000 per kg keripik atau Rp500-ribu—Rp1-jutaper minggu.
Meningkat
Kelezatan aneka olahan jamur bergizi tinggi itu membuat permintaan semakin tinggi. Awalnya permintaan hanya 2—5 kg per minggu. “Dulu cuma 1—2 kios saja yang dipasok,” katanya. Kini ia rutin memasok 5—10 kg per minggu ke beberapa kios pusat jajanan. Cafe organik milik Wieke Lorenz di bilangan Maribaya tak luput untuk disasar 5—10 kg keripik per minggu. Permintaan meningkat menjelang hari raya dan liburan sekolah.
Tak heran bila omzet ratusan ribu hingga jutaan rupiah ditangguk. Bersama kelompok Annisa Mushroom, Cisarua, ia dan puluhan pekebun jamur kini intensif mengolah Pleurotus ostreatus. Di tangan mereka, jamur bersalin rupa menjadi aneka jajanan seperti es cendol, pindang isi jamur, skotel, sup, hingga campuran sayuran lain.
“Respon konsumen cukup bagus. Di pameran dan seminar banyak yang pesan,” ujar Ika Kartika, yang mengolah jamur menjadi es cendol. Menurut kelahiran Bandung 45 tahun silam itu cita rasa es cendol jamur tak kalah dengan es cendol pandan atau es kelapa muda.
Menjamur
Industri olahan jamur memang tengah marak. Trubus mengamati hampir di setiap sentra jamur seperti Lembang, Cisarua, Solo, Wonosobo, Blitar, dan sentra lain terdapat pengolahan jamur. Nun di Wonosobo, Jawa Tengah, UD Cendawan Mas mengusahakan keripik jamur campignon, kuping, dan tiram sejak 15 tahun silam. Perusahaan pengolahan jamur di bilangan Bismo, Kauman Selatan, itu rata-rata membutuhkan pasokan minimal 2 ton jamur champignon segar per bulan. Bila lebaran dan musim liburan tiba, kebutuhan membengkak hingga 5 ton per bulan.
Menurut Toto Iswanto, staf pemasaran, permintaan keripik jamur naik sejak 2000. Awalnya, permintaan hanya 1 kuintal per minggu. Kini, pengiriman 2 kali seminggu ke beberapa pusat jajanan di Jawa Tengah dan Jawa Timur meningkat hingga 3 kuintal sekali kirim. Permintaan itu belum termasuk kebutuhan 50 kg selama pameran yang acap dilaksanakan di Jakarta.
Tak pelak, kebutuhan bahan baku pun bertambah. Biasanya 50 kg jamur segar per hari diolah menjadi keripik. Namun, permintaan yang menggunung memaksa Mujiatun, manajer operasional terus meningkatkan pasokan jamur segar. “Kebutuhan naik terus. Sejak 3 tahun silam naik dari 1 kuintal menjadi 3 kuintal lebih per hari,” katanya. Bahkan menurut perempuan 29 tahun itu kebutuhan bahan baku meningkat hingga 5—7 kuintal per hari.
Omzet pun semakin membengkak. Dengan menjual keripik seharga Rp30.000/ kg, perusahaan milik Hj Chotijah Soeripto itu menangguk omzet Rp4.800.000 per hari. Setelah dikurangi biaya produksi, maka keuntungan bersih sebesar Rp5.760.000 per bulan ditangguk.
Tak hanya jamur tiram yang mampu menarik pundi rupiah ke dalam kantong. Di Solo, H Parjimo sukses menjajakan aneka olahan jamur lingzhi. Kini tak hanya ramuan obat, laba dari keripik kuping dan tiram pun besar. Produksi jamur tiram segar 50 kg per hari diolah menjadi 12,5 kg keripik tiram. Setelah dikemas 100 g hingga 1 kg per kemasan, ia pun menjualnya Rp40.000 sekilo. Artinya, omzet Rp14-juta diraup hanya dari keripik jamur tiram dan kuping. “Dari semua olahan jamur, omzet bisa lebih dari Rp50-juta per bulan. Penghasilan terbesar dari olahan lingzhi,” katanya.
Kendala
Omzet tinggi dan laba besar tak berarti bebas masalah. Besarnya permintaan membuat Yani kelabakan mencari pasokan bahan baku. Maklum, mengikuti pameran selama seminggu di Jakarta membutuhkan 5—10 kg keripik. Artinya untuk pameran saja ia harus menyediakan 20—40 kg jamur tiram segar. Padahal, total kebutuhan untuk seluruh permintaan mencapai 160 kg jamur segar seminggu untuk keripik. Itu belum termasuk kebutuhan untuk pepes jamur, risoles, dan olahan lain mencapai 40—50 kg seminggu.
Untuk menghindari kekurangan pasokan bahan baku ia bekerjasama dengan pekebun lain di sekitar tempat tinggal. “Minimal stok pasokan bahan baku 50 kg per minggu,” katanya. Menurut ibu Al Mauliddio Muhammad Nauvaldy itu untuk bisnis olahan jamur minimal 200 kg setiap minggu.
Kesulitan jamur segar juga dialami UD Cendawan Mas. Kumbung-kumbung pemasok jamur di daerah Dieng, Jawa Tengah, gulung tikar. Padahal ia membutuhkan minimal 5 kuintal jamur untuk keripik. Tak pelak, ia harus mengambil dari Brebes dan Mojokerto demi memenuhi kebutuhan konsumen.
Selain bahan baku, Yani mengaku kesulitan memenuhi permintaan 1 ton per minggu keripik ke Timur Tengah lantaran teknik pengolahan dan pengemasan yang tidak memadai. Tak hanya itu, teknik pengemasan menjadi tuntutan utama. “Harusnya pengolahan keripik menggunakan vacum fryer agar kadar minyak bisa dikurangi,” ujar mantan sekretaris di sebuah perguruan tinggi di Cimahi itu.
Menurut Yani, dengan pengolahan, jamur tiram, kuping, lingzhi tidak membanjiri pasar. Artinya, keripik jamur turut andil menstabilkan harga jamur segar di pasaran. Namun, keripik itu kini terganjal teknik pengolahan dan kemasan. Jadi, bukan mustahil bila laba besar dari keripik jamur dan olahan lain tidak lagi menjamur. (Rahmansyah Dermawan/Peliput: Pupu Marfu’ah dan Laksita Wijayanti)