Sore itu matahari telah condong ke ufuk barat. Udara tidak terlampau menyengat ubun-ubun kepala. Dengan berbalut kaos putih, Jerry Hermawan Lo tengah asyik mengelus-elus Andalusite—nama ayam kebanggaan—di halaman rumput. Wajar, serama berbulu cokelat kekuningan itu peraih juara I di kelas dewasa B kontes serama Indonesia Satu, Pasar Seni Jaya Ancol, Jakarta Utara.
Begitu puas “bercanda” dengan Andalusite, ia mengambil Cat Eye dan Golden Barrel. Yang disebut terakhir adalah betina terbaik dan peraih best in show di kontes itu. Serama lain, seperti Dragon, Robocop, Lipanbara, Sri Kaha, Paparaca, dan Black Russian pun tak luput dari perhatiannya.
Serama-serama koleksi Jerry semuanya berkelas. Lihat saja Dragon ketika beraksi di meja. Dada menonjol hingga mampu “menggendong” anakan. Koleksi lain, Lipanbara yang dibeli Jerry seharga Rp40 juta, tak kalah menawan. Di kalangan hobiis, Intan Serama Farm, miliknya, memang disebut-sebut sebagai gudang serama terbaik. Makanya, siapa pun yang berkunjung ke showroom-nya di Pulomas, Jakarta Timur, selalu berdecak kagum.
Jerry tak sekadar mengoleksi, tapi juga menangkarkan ayam asal negeri jiran itu. Indukan dipelihara di kawasan elit Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Di sana 25 kandang berukuran 1,5 m x 3 m x 2 m berderet rapi, masing-masing berisi betina dan pejantan dengan perbandingan 3:1. Rencananya, 20 kandang bakal dibangun lagi. Selain di tanahair, ia mempunyai 8 pejantan dan 25 betina yang diternak di Desa Intan Serama, Trengganu, Malaysia.
Penasaran
Nama Jerry kini identik dengan serama. Bagaimana tidak, di mana pun ada serama bagus ia akan memburunya meski harus merogoh kocek dalam-dalam. Contoh datang saat ke tempat Abdul Hakim,—pedagang serama di Pulaumas, Jakarta Timur. Harga Rp10-juta untuk sepasang serama yang ditawarkan Ajong—sapaan Abdul Hakim—disepakati. Rasa banggamenyelimuti kelahiran Medan, 22 November 1957 ketika Cleopatra—nama ayam betina itu—menyabet predikat terbaik di kontes Rudi Pelung Farm pada awal Januari 2005. Sayang, betina berbulu cokelat muda itu hanya bertahan 2 minggu, mati mendadak tanpa sebab.
Keinginan untuk mendapatkan serama yang lebih bagus kian membuncah. Maka, pada akhir Januari 2005, ketua Forum Persaudaraan Anak Bangsa itu berangkat ke Malaysia. Selain memburu seramaserama jawara, ia berniat menyadap cara penyelenggaraan lomba di sana.
“Yang saya cari serama terbaik. Soal harga nomor dua,” ujar ayah Vinna, Venny, Tommy, dan Fonny itu. Dari peternak terpercaya, ia mendapat beberapa serama kelas satu. Tak cukup dengan beberapa ekor, ketua umum Majelis Tao Indonesia itu bolak-balik Indonesia—Malaysia setiap bulan. Apalagi ia ada alasan lain ke sana: menjalankan bisnis bersama teman-teman di Malaysia.
Gebrak pasar
Ibarat lokomotif yang menarik gerbong, kehadiran Jerry seolah membawa angin segar di dunia serama tanahair. Niat para hobiis untuk mempopulerkan ayam berjuluk the smallest bantam in the world itu semakin mendekati kenyataan. Langkah awal dengan membentuk Persatuan Pelestari Ayam Serama Indonesia (P2ASI) pada 13 Februari 2005 pun atas gagasannya. Jerry dipercaya menjabat sebagai ketua umum P2ASI.
Kerja keras peraih Visual Golden Award 2004 itu membangun organisasi terwujud dengan ditetapkan aturan dan tata cara penilaian serama di kontes. Buktinya, kontes serama Indonesia Satu di Pasar Seni Jaya Ancol pada awal Maret 2005 terbilang sukses. Sampai-sampai Kamaruzaman Izmail, peternak dan juri asal Trengganu, Malaysia, yang hadir terkesima melihat sistem penjuarian yang menggunakan komputerisasi dan lebih fair play.
Dengan melihat antusias penonton di kontes, Jerry memprediksi pasar serama masih terbuka luas. Bukan hanya pasar lokal, potensi ekspor kian terbentang. “Bukan tidak mungkin bila kualitas serama Indonesia meningkat. Nantinya Indonesia menjadi negara pengekspor,” ujar suami Rosmeiwati Soebandi itu.
Jatuh hati
Meski sibuk di berbagai organisasi, Jerry masih menyempatkan waktu untuk bercengkerama dengan serama. Sebanyak 3 betina dan 5 jantan menghiasi taman rumahnya di Permata Buana, Jakarta Barat. “Minimal 2—3 hari seminggu harus mengontrol kandang dan showroom,” kata pria yang dinobatkan sebagai tokoh nasional peduli anak bangsa itu.
Sejak kecil Jerry memang tak bisa dipisahkan dengan binatang kesayangan. Jauh sebelum mengenal serama, ia jatuh hati pada doberman. Bosan memelihara anjing macho itu, ia terpikat pada alunan kung perkutut. Saking senangnya, sebanyak 70 kandang ternak dibangun di Kedoya, Jakarta Barat. Hewan klangenan lain silih berganti mengisi rumahnya, mulai dari koi, cupang, lou han, burung, ayam hias, dan angsa.
Namun, begitu melihat serama, Jerry seolah lupa dengan klangenan lain. Lagi pula ayam sekepalan tangan orang dewasa itu tidak perlu kandang besar atau mewah. Ia cukup diumbar di halaman rumput. Saat berjalan gayanya memikat. Itulah pemandangan yang begitu menyenangkan bagi Jerry. Tak heran bila ia betah duduk berjam-jam di teras belakang rumah. Secangkir kopi menjadi teman sambil menikmati keelokan si mungil.(Nyuwan SB)