Jeruk keprok baru tanpa biji, cita rasa manis, dan berbuah sepanjang tahun.

Trubus — Buah jeruk makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian konsumsi jeruk di Indonesia pada 2016 mencapai 3,41 kilogram per kapita per tahun atau setara dengan 882.689 ton. Angka yang termasuk fantastis. Jeruk biasa dihidangkan sebagai pencuci mulut, karena bercita rasa manis dan sedikit masam sehingga segar di lidah. Namun, acap kali kehadiran biji mengganggu. Konsumsi buah jeruk pun kurang praktis.
Kini para pencinta jeruk tak perlu merasa terganggu, karena topazindo agrihorti hadir sebagai jeruk keprok unggul tanpa biji. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) merilis topazindo agrihorti—namanya mengingatkan akan batu permata terdiri atas fluorin— sebagai varietas unggul pada awal 2019 dengan SK Nomor: 012lKpts/SR .12O /D.2.7/1/ 2019.
Rasa manis

Jeruk keprok dikatakan tanpa biji atau seedless bila dalam satu buah hanya terdapat maksimal 5 biji. Varietas jeruk tanpa biji sebelumnya biasanya mempunyai warna kurang menarik. Bandingkan dengan topazindo, sosoknya amat elok dan besar. Bobotnya mencapai 453 gram per buah tentu sangat mencolok dibandingkan dengan varietas lain. Jeruk itu berbalut kulit buah yang berwarna jingga.
Permukaan kulit buahnya kasar, tampak kelenjar minyak, dan tipis. Meskipun menjadikan jeruk itu sedikit sulit untuk dikupas, cita rasanya tetap juara. Rasa manis sedikit masam dengan derajat kemanisan 12o briks. Rasa nikmat dari jeruk topazindo dapat kita nikmati kapan saja. Artinya, jeruk itu dapat berbuah sepanjang tahun. Hal itu terlihat dari terdapat bunga, pentil buah, dan buah masak pada waktu yang sama.
Pada umumnya, warna kulit jeruk keprok akan lebih mencolok bila ditanam di dataran tinggi. Petani layak mengembangkan topazindo di kebun dan pekarangan rumah. Apa lagi topazindo tidak membutuhkan perlakuan khusus, budidaya sama dengan standar jeruk lainnya. Tanaman jeruk topazindo dapat digunakan sebagai penghias pekarangan karena dapat ditanam di dalam pot.
Jeruk topazindo juga cocok ditanam untuk agrowisata, karena tanaman anggota famili Rutaceae itu mampu berbuah susul-menyusul. Namun, pekebun perlu memperhatikan kehadiran varietas lain di lahan da sekitarnya. Hindari menanam topazindo bersamaan dengan varietas lain. Bila terdapat jeruk jenis lain, dikhawatirkan dapat mempengaruhi pembentukan biji, sehingga topazindo tidak lagi tanpa biji.
Bibit
Masyarakat terbukti menggemari topazindo. Hasil uji sensori oleh Lizia Zamzami, M. Agribus menunjukkan 86,67% panelis menyukai jeruk besar itu. Alasan utama karena jeruk tidak berbiji, diikuti dengan ukuran buah yang besar, dan warna kulit buah yang menarik. Para pengunjung wisata petik jeruk di Balitjestro sangat antusias terhadap topazindo. Sayangnya saat itu Juli 2017, jeruk itu belum dirilis, artinya benih belum dapat disebarluaskan.

dalam pot.
Kesegaran buah juga terjamin karena penyimpanan dapat memakan waktu hingga 53 hari setelah panen bila disimpan pada suhu ruang di dataran tinggi seperti Kota Batu, Jawa Timur. Menurut tokoh perjerukan, Ir. Arry Supriyanto, M.S., entres jeruk topazindo berasal dari petani dan kolektor jeruk di Kota Medan, Sumatera Utara, pada 2009. Setelah melewati proses pembersihan penyakit, kemudian entres itu menjadi sumber daya genetik pada 2010.
Topazindo memiliki beragam keunggulan, sehingga diharapkan dapat berkembang di Indonesia. Karakteristiknya mampu bersaing dengan jeruk impor yang biasanya digadang-gadang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan produk lokal. Benih jeruk topazindo baru tersedia di Balitjestro, sehingga para peminat dapat memesan jeruk itu sesuai dengan prosedur. (Anis Andrini, SP.,M.Si. Penanggung jawab pengelola sumberdaya genetik jeruk dan buah subtropika, Balitjestro)