Trubus.id—Mi dan pasta ragam rasa menjadi menu andalan di kafe dan resto Sagolicious. Warna-warni penganan itu menggugah selera. Siapa sangka makanan siap saji itu berbahan sagu. Pangan pokok di Indonesia bagian timur itu lazimnya diolah menjadi papeda bersama ikan berkuah kuning.
Namun di tangan pemilik kafe Sagolicious, Jenny Widjaja, sagu bersalin rupa menjadi berbagai penganan kekinian. Nyaris seluruh menu di kafe seluas 1.000 m2 itu berbahan sagu. Sebut saja mi, pasta, kwetiau, bakso, keripik, dan churos.
Harga sajian itu beragam mulai dari Rp35.000 per porsi untuk mi. Produsen olahan sagu di Kecamatan Kelapa Gading, Kota Jakarta Utara, itu mengolah 0,5—1 ton sagu saban hari.
Pewarna alami
Menurut Jenny sagu itu sehat dan lezat. Kelebihan sagu tanpa gluten, rendah indeks glikemik, dan tanpa genetic modified organism (GMO). Selain itu tanaman sagu mudah dibudi dayakan dan pasokan memadai karena Indonesia memiliki 5,5 juta hektare lahan sagu.
“Sementara pemanfaatannya masih kecil,” kata Jenny.
Pasokan bahan baku sagu di Sagolicious berasal dari Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya dan Kota Jayapura, Provinsi Papua. Harga sagu di petani beragam yakni Rp10.000—Rp15.000 per kg.
“Sayang, bahan baku masih terkendala ongkos produksi,” kata Jenny.
Ia juga memproduksi mi dan pasta kemasan. Uniknya pewarna untuk mi dan pasta itu berbahan alami berasal dari buah naga, buah merah, kelor, kunyit, dan spirulina. Beragam rasa mi seperti kari, soto, karbonara, dan tomyam memanjakan lidah.
Harga beragam misal mi sagu instan Rp17.000 per 105 gram dan mi sagu boks Rp70.000 per 450 g. Mengolah mi sagu juga mudah. Rebus dengan 700 cc air mendidih selama 5—6 menit. Agar tidak lengket setelah diangkat, siram dengan air dingin.
Saat ini penjualan produk Sagolicious ke berbagai daerah melalui loka pasar dan pasar swalayan di Jabodetabek. Pada penghujung 2021, Sagolicious mendapatkan 2 penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri), sebagai pelopor mi, keripik, dan pasta serta pasta sagu varian milenial.