Saat ujung styrofoam putih diangkat, tampak umbi kentang sebesar bola golf menggelayut di sela-sela akar. “Ini kentang aeroponik,” ujar Ir Syafruddin Siata MS, kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Sontak decak kagum dan tepuk tangan membahana di dalam greenhouse seluas 80—100 m2 itu. Tak hanya pekebun dari 9 kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkagum-kagum, pekebun kentang asal Sulawesi Barat, Jawa Barat, dan praktisi pertanian asal Jerman pun terpana. “Wow, ini hebat. Umbi kentang melayang tergantung di akar,” ucap beberapa pekebun. Bahkan Han Choong Sik, direktur Korea International Coorporation Agency (KOICA) langsung mendekat sambil mengamati umbi kentang aeroponik itu.
Wajar saja mereka terperanjat. Lazimnya sistem aeroponik diaplikasikan untuk selada, kangkung, bayam, dan sayuran daun lain. Apalagi keberhasilan teknologi itu hanya menggaung kencang di Pulau Jawa. Kini sistem penyemprotan nutrisi pada akar menggantung itu berhasil diterapkan pada tanaman berumbi seperti kentang. “Dengan teknik aeroponik kita bisa memproduksi bibit kentang G0 secara massal, praktis, dan bebas hama penyakit,” ujar Park Jong Sub, tenaga teknis aeroponik asal Korea Selatan.
Spon hitam
Awalnya Hasyim—begitu panggilan Park Jong Sub—dibantu KOICA membangun greenhouse di Kecamatan Ulu Ere, kawasan pegunungan 1.100 m dpl yang berjarak 138 km dari Makassar. “Kentang membutuhkan suhu rendah. Iklim pegunungan sangat cocok untuk pertumbuhan,” ujar Hasyim. Lalu di dalamnya dibangun 2 bak sederhana yang dilengkapi 100 nozel. Sebagai media, dasar bak diisi sabut kelapa steril secara merata untuk menjaga kelembapan akar dan kondisi tanaman.
Seluruh permukaan bak ditutup styrofoam setebal 3—5 cm. Di setiap styrofoam berukuran 0,6 m x 1 m itu terdapat 15 lubang tanam dengan jarak tanam teratur. “Satu bak berisi 600 tanaman yang 24 jam disemprot nutrisi,” kata bungsu 3 bersaudara itu. Artinya dalam greenhouse terdapat 1.200 tanaman terdiri dari varietas granola, atlantik, raja, nikola, bejo, dan hertha.
Agar tanaman berkualitas tinggi, Hasyim bersama Dinas Pertanian Bantaeng bekerjasama dengan laboratorium Bioteknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin, untuk pengadaan planlet kentang. “Planlet itu hasil kultur jaringan sehingga bebas hama dan penyakit karena telah diseleksi dan diteliti,” kata Dr Baharuddin, pengelola laboratorium. Menurut doktor Phytopathology alumnus University of Goettingen, Jerman, 5 varietas kentang itu berasal dari kultur meristem sehingga bebas patogen. Planlet yang digunakan berdaun 2—3 helai dan telah berakar.
Budidaya aeroponik kentang berbeda dengan sistem serupa untuk komoditas lain. Planlet kentang aeroponik dibungkus dengan spon hitam. Lazimnya, tanaman sayuran daun ditutup spon putih. Spon berfungsi menahan tanaman dan melindungi akar dari cahaya matahari. “Kalau cahaya masuk umbi yang terbentuk jelek dan terhambat,” tutur alumnus jurusan Hortikultura di Kon Kuk University, Korea Selatan itu.
Menurut Yos Sutiyoso, praktikus aeroponik di Bogor, sebenarnya kentang umbi batang yang bermetamorfosis. “Di batang terdapat klorofi l sehingga bisa berfotosintesis,” ucapnya. Selain itu, sinar yang masuk dapat memacu pertumbuhan ganggang di dalam media aeroponik. Akibatnya, umbi berwarna hijau karena Chlorophyta itu mengeluarkan racun penghambat pertumbuhan umbi.
Kalium tinggi
Pembentukan umbi berlangsung lebih cepat, 2 minggu setelah tanam. Pada umur itu jumlah akar tanaman yang menggantung banyak dan mulai ditumbuhi umbi. Calon bibit kentang itu tumbuh membesar hingga seukuran uang koin ratusan 2 bulan kemudian. Bila umbi telah berumur 3—4 bulan atau seukuran bola golf, itu artinya umbi kentang G0 siap panen.
Menurut Yos pembentukan umbi kentang sangat dipengaruhi unsur kalium. “Kalium berperan sebagai pengatur atau mandor dalam pembentukan umbi,” ucap alumnus Institut Pertanian Bogor. Menurut konsultan aeroponik dan hidroponik itu untuk mendapatkan umbi sebaiknya konsentrasi kalium diperbesar hingga 1,6 x total nitrogen. Lazimnya kebutuhan kalium hanya 1,2 x total nitrogen. Selain itu unsur magnesium, fosfor, dan besi juga diperbesar tetapi tidak sebesar peningkatan unsur kalium.
Dengan sistem aeroponik produksi ratarata setiap tanaman 20—50 umbi dengan bobot rata-rata 10—15 g. Sangat mencolok dibandingkan hasil umbi pada media arang sekam yang hanya 5—10 umbi. “Hasilnya bisa 4—5 kali lipat dibanding dengan teknik konvensional. Semua tergantung pada media dan nutrisi yang diberi,” ucap Hasyim. Bahkan sebuah tanaman mampu menghasilkan 280 umbi dengan bobot serupa.
Menguntungkan
Aeroponik pada kentang sebenarnya bukan teknologi baru. Nun di Korea Selatan teknik itu telah digunakan secara besarbesaran. “Produksi umbinya lebih banyak dan pemeliharaan mudah,” kata Hasyim. Musababnya, nutrisi dan kebutuhan tanaman lain terpenuhi secara tepat dan otomatis.
Di Indonesia penggunaan aeroponik untuk kentang terbilang baru dan jarang dilakukan. Itu lantaran biaya produksi sangat tinggi dibandingkan dengan teknik konvensional. Namun, dengan aeroponik produktivitas bibit sangat tinggi dan menguntungkan. “Memang diperlukan biaya besar. Makanya digunakan untuk perbanyakan bibit bukan untuk kentang konsumsi,” ucapnya. Menurut pehobi tenis itu sekali panen dari populasi 1.200 tanaman saja dihasilkan 25.000—30.000 umbi G0. Dengan harga jual Rp2.500/umbi diperoleh minimal Rp62,5-juta. Sedangkan produktivitas dapat ditingkatkan dengan penanaman 3 kali setahun.
Keberhasilan teknologi aeroponik pada kentang tentu membawa harapan besar dalam pengadaan bibit berkualitas. Maklum, kebutuhan benih kentang nasional mencapai 100.000 ton/tahun. Hal itu sulit dicapai dengan produktivitas kentang yang hanya berkisar 10 ton/ha. “Luar biasa. Dengan teknik ini pemenuhan kebutuhan bibit kentang di Sulawesi Selatan bahkan kawasan timur Indonesia dan nasional dapat tercapai. Ini harus dikembangkan terus untuk produksi bibit secara massal,” kata Drs H Azikin Solthan, MSi, Bupati Kabupaten Enrekang saat membuka acara itu. (Rahmansyah Dermawan)